Sepak Bola dan Kaum Kelas Pekerja

Sepak Bola dan Kaum Kelas Pekerja

Jika kita berbicara tentang sepak bola, olahraga atau permainan yang sangat populer dan digemari oleh hampir seluruh masyrakat di berbagai Negara. Jauh sebelum sepak bola menjadi permainan yang sangat diminati seperti saat ini, pada abad ke 18 di Inggris Raya, kaum kelas pekerja, atau kaum buruh lah yang menjadi sosok yang memprakarsai atau membangun sepak bola. Seiring perkembangannya, sepak bola mau tidak mau harus di akui sebagai simbol olahraga para kaum kelas pekerja yang bekerja di sektor industry, maupun para pekerja kasar dan para buruh lainnya. Namun rupanya, bukan hanya para penikmat dan pendukung, tapi juga klub, wasit, para penyedia peralatan bahkan para pemain yang berlaga pun semua berasal dari satu latar belakang yang sama, yaitu kelas pekerja atau buruh.

Beberapa hari kebelakang, tepatnya pada 1 Mei, para kaum kelas pekerja atau yang lebih kita kenal dengan kata “buruh” merayakan hari buruh internasional atau Labor Day atau yang sering kita kenal dengan sebutan “May Day”. Tidak hanya di Indonesia, banyak Negara di seluruh dunia merayakan “Hari Buruh Internasional”, atau yang sering disebut dengan “May Day” tersebut. Hari Buruh diperingati untuk menghormati hak pekerja dan pengabdian mereka dalam meningkatkan kualitas hidup dan kondisi kerja mereka.

May Day sendiri berasal dari bahasa Inggris "Mayday", yang merupakan panggilan darurat dalam situasi berbahaya. Namun, dalam konteks perayaan May Day, "May" merujuk pada bulan Mei yang biasanya dihubungkan oleh beberapa golongan atau kelompok sebagai kebangkitan musim semi dan kegembiraan.

Namun, May Day yang dirayakan oleh kaum buruh berbeda dengan perayaan kebangkitan musim semi dan kegembiraan yang biasa dilakukan oleh beberapa kelompok di Eropa. May Day yang dirayakan oleh kaum buruh pada tanggal 1 Mei ini rupanya adalah sebuah perayaan yang biasa dirayakan dengan turun ke jalan guna menyampaikan aspirasi dan melakukan protes atas segala bentuk diskriminasi.

Tetapi, Hari Buruh Internasional bukan sekadar peringatan atau demonstrasi semata. Ini adalah penghargaan kepada peran penting para pekerja dalam membangun masyarakat. Peringatan ini juga menyoroti isu-isu yang relevan dengan pekerjaan, seperti upah, jam kerja, keselamatan kerja, dan perlindungan hak-hak pekerja. Hal ini juga memberikan pekerja peluang untuk mengkritisi kebijakan pemerintah dan pengusaha yang mereka anggap merugikan atau tidak mendukung hak-hak para kaum kelas pekerja. Namun, bagaimana hubungan antara sepak bola, kaum kelas pekerja dan perayaan hari buruh internasional atau yang sering kita kenal dengan May Day?

Sejarah May Day

Semuanya bermula pada saat setelah terjadi revolusi industri di Inggris dan revolusi politik di Perancis pada abad ke-18. Keberlangsungan masyarakat borjuis modern pada saat itu didasarkan pada penindasan atas kaum yang lebih lemah dari mereka, atau biasa dikenal dengan masyakarat proletariat. Penindasan itu terlihat dan terasa sangat kejam, sehingga, para kaum proletariat yang berstatus sebagai kelas pekerja atau kaum buruh hanya bisa bekerja untuk memenuhi kehidupannya di hari tersebut guna mempertahankan kehidupannya agar bisa bekerja di keesokan hari.  Akibat penindasan yang terus berlangsung tersebut, para kaum buruh yang berada di pabrik mulai melakukan perlawanan. Perlawanan tersebut meliputi pada pengurangan jam kerja per minggu.

Pada tahun 1791, tepatnya di Philadelphia, Amerika Serikat, sekumpulan tukang kayu melakukan aksi pemogokan kerja dan mereka menuntut 10 jam kerja sehari, yang dimana sebelumnya mereka bekerja 12 jam sampai 16 jam perhari. Tidak berhenti sampai disitu, pada tahun 1835, kaum buruh Philadelphia juga kembali mengorganisir dan terlibat langsung pada sebuah pemogokan masal, yang dipimpin langsung oleh buruh tambang batubara Irlandia. Dalam aksi pemogokan tersebut, mereka membentangkan spanduk yang berisikan tuntutan “From 6 to 6, ten hours work and two hours for meals.” Lalu, empat tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1839, di tempat yang sama, yaitu Philadelphia, tuntutan 10 jam kerja sehari telah menjadi tuntutan umum dan hampir semua buruh menyetujui hal tersebut.

Aksi yang dilakukan kaum buruh pada saat itu rupanya bukanlah hal yang sia-sia. Hal tersebut berdampak jelas pada kehidupan kaum buruh pada saat itu. Tercatat sejak tahun 1830 sampai tahun 1860, rata-rata jam kerja pada kaum buruh berkurang, yang dimana sebelumnya mereka bekerja selama 12 jam perhari, menjadi 11 jam perhari. Hal ini juga jelas berdampak pada semangat kaum kelas pekerja yang menuntut keadilan dan kesejahteraan mereka yang dimana pada tahun 1866, berlangsung Kongres Umum Pekerja di Baltimore, AS. Salah satu hasil dalam kongres tersebut adalah mendeklarasikan, “Tugas pertama dan mendesak saat ini, adalah membebaskan negeri ini dari perbudakan kapitalis, dengan jalan menjadikan tuntutan 8 jam kerja sehari sebagai hari kerja normal di seluruh pabrik di AS.” Catat Marx.

Setelah deklarasi tersebut muncul dan disetujui oleh para peserta kongres, munculah beberapa pengorganisiran yang menuntut 8 jam kerja dalam satu hari. Federation of Organized Trades and Labor Unions of the United States and Canada (FOTLU) menjadi federasi yang mengorganisir gerakan tersebut. Setidaknya, sekitar 350 ribu orang dari seluruh Amerika Serikat melakukan demonstrasi massal yang menuntut pengurangan jam kerja, dari 10 jam perhari menjadi 8 jam kerja perhari.

Tidak berhenti sampai disitu, pada 1 Mei, terjadi juga aksi yang diselenggarakan di Chicago, sekitar 90 ribu massa berdemonstrasi di jalanan, dimana sekitar 40 ribu dari mereka melakukan pemogokan. Namun, dua hari kemudian polisi membubarkan demonstrasi ini dengan kekerasan yang brutal, yang menyebabkan enam korban terbunuh. Sedangkan di kota New York, sekitar 10 ribu massa memenuhi jalanan dan melakukan long march menuju Union Square. Ketika aksi massa di Chicago dibubarkan paksa dengan brutal oleh polisi pada 3 Mei, keesokan harinya, tanpa mengenal rasa takut dan tanpa keraguan, kaum buruh kembali melakukan rally menuju Haymarket Square di Chicago. Dalam aksi damai tersebut, dengan mengejutkan polisi tiba-tiba melemparkan bom ke tengah-tengah barisan aksi massa tersebut, sehingga mengakibatkan delapan orang terbunuh dan 200 orang lainnya mengalami luka-luka. Tragedi ini kemudian dikenal dengan nama “Chicago Eight.”

Aksi massa yang menuntut 8 jam kerja tersebut, sungguh menjadi ancaman dan membuat kelas borjuis kebakaran jenggot. Dengan memanfaatkan dan mengendalikan koran-koran kenamaan, mereka melemparkan tuduhan bahwa aksi yang dilakukan oleh kaum buruh tersebut disusupi orang-orang Komunis. Tetapi, dengan sangat lantang, para buruh tidak memperdulikan hal tersebut. Samuel Gompers, pemimpin Knight of Labor, yang pada saat itu melakukan orasi di Union Square mengatakan, “1 Mei selamanya akan dikenang sebagai Deklarasi Kemerdekaan yang Kedua.”

Aksi massa dan gerakan tersebut dengan cepat menyebar dan mempengaruhi beberapa Negara di daratan Eropa. Lebih dari 400 delegasi bertemu di Paris, Perancis pada tahun 1889, bertepatan dengan peringatan 100 tahun Revolusi Perancis. Mereka berkumpul untuk turut serta dan hadir pada Kongres Sosialis Internasional yang pertama. Samuel Gompers yang juga hadir dalam kongres tersebut mengusulkan agar dilaksanakan aksi pada 1 Mei 1890. Selain dari itu, kongres juga menyatakan, bahwa 1 Mei sebagai hari buruh internasional yang kemudian populer dengan istilah May Day.

Tidak lama dari pertemuan di Perancis tersebut, tepatnya pada 1 Mei 1890, demonstrasi massal memperingati May Day berlangsung di Amerika Serikat dan juga dilakukan di beberapa Negara Eropa. Frederick Engels, yang saat itu melakukan aksi bersama dengan setengah juta pekerja di Hyde Park, London, pada 3 Mei, menulis,

“Ketika saya menuliskan ini, proletariat Eropa dan Amerika sedang menimbang kekuatannya; mereka memobilisasi untuk pertama kalinya dalam satu balatentara, di bawah satu bendera, dan berjuang untuk satu tuntutan mendesak: 8 jam kerja sehari.”

Demonstrasi juga terjadi di Chile dan Peru. Di Havana, Kuba, kaum buruh melakukan aksi turun ke jalan yang pertama kali dalam memperingati May Day dengan tuntutan: “8 jam kerja sehari, hak yang sama bagi warga kulit hitam dan putih, dan persatuan kelas pekerja.” Sedangkan di Rusia, Brasil, dan Irlandia, May Day pertama kalinya dirayakan pada tahun 1891.

Sepak Bola dan Kaum Kelas Pekerja

Sepak bola merupakan salah satu bintang panggung dikalangan khalayak luas, termasuk masyarakat kelas buruh atau kelas pekerja. Mau tidak mau, di beberapa negara Eropa, Amerika Latin dan bahkan di Indonesia, sepak bola menjadi suatu olah raga atau permainan yang dapat dinikmati sebagai hiburan masyarakat kelas buruh.

Beribu-ribu kilometer yang jauh dari Indonesia, tepatnya pada abad ke-18, di Inggris raya sana, dimulailah perkembangan sebuah dimensi kehidupan yang kelak akan menjadi perhatian dan juga menjadi primadona bagi banyak umat manusia sejagad, primadona yang lahir di abad ke-18 itu adalah sepak bola.

Terlepas dari kontreversi siapa yang lebih dahulu menemukan permainan rakyat satu ini, tak bisa dipungkiri kalau sepa kbola modern yang kita nikmati sampai detik ini berasal dari Inggris. When football were invented in England, demikian klaim orang Inggris dengan bangga ketika menyebut sepakbola “berasal” dari tanah yang mereka tinggali.

Sepak bola dan era revolusi industri di Inggris disinyalir menjadi penghubung ikatan erat antara sepak bola dan kelas pekerja. Sepak bola menjadi alat perjuangan, kolektivitas antar buruh, selain tentunya menjadi hiburan bagi para kaum kelas pekerja. Pun ketika kita berbicara hari pertandingan, dimana hari Sabtu dan Minggu menjadi hari dimana diselenggarakannya suatu pertandingan sepak bola yang merupakan waktu libur kelas pekerja. Bahkan, hal ini menjadi tradisi, dimana pertandingan setiap akhir pekan itu terus berlanjut dan menjadi suatu warisan hingga saat ini, walaupun selalu ada saja beberapa pertandingan yang dilaksanakan di hari kerja, menyebalkan.

Oleh karena itu, jika kita berbicara keterikatan dan keterkaitan antara sepak bola dan kelas pekerja, maka sudah jelas, kita harus melihat sepak bola Inggris. Karena, di Inggris Raya lah permainan rakyat ini mulai muncul dan di modernisasai, juga kelas buruh lah yang ikut andil dalam mempopulerkan olahraga yang sangat popular ini. Keterikatan dan keterkaitan erat sepak bola dan kelas pekerja pun bisa dilihat dari klub sepak bola kenamaan saat ini, yang didirikan oleh kolektif buruh tempat mereke tinggal dan bekerja. Beberapa tim seperti Arsenal yang didirikan oleh pegawai royal gudang senjata di London, atau West Ham united yang didirikan oleh Arnold Hills dan Dave Taylor, dan susunan pemain awal saat itu di isi oleh pekerja atau pandai besi yang berkerja di perusahaan sang pendiri, dari sini sudah jelas mengapa logo palu yang melekar pada klub asal London ini bukan hanya sekedar logo, namun menjadi identitas klub. Pun begitu dengan klub seperti Manchester United yang didirikan oleh para pekerja Lancashire and Yorkshire Railway pada 1878, dan Liverpool sebagai yang mewakili buruh kota pelabuhan, dan masih ada beberapa klub lain yang didirikan oleh kaum kelas pekerja.

Tidak berhenti sampai di era tersebut, rata-rata pemain Inggris berasal dari kelas pekerja, penelitian yang dilakukan oleh Simon Kuper dan Stefan Szymanski dalam bukunya yang berjudul Soccernomics mencatatkan bahwa sepak bola Inggris tergantung pada pasokan pemain dari kelas pekerja. Hanya 15 % pemain tim nasional Inggris pada piala dunia 1998-2006 yang berasal dari kelas menengah. Sebut saja Jamie Vardy, bintang Inggris yang membela Leicester City. Sebelum ia dikenal menjadi pemain bintang di Inggris, dia harus menjadi buruh, berjibaku di dalam gedung pabrik alat-alat penyangga patah tulang.

Dari Inggris, sepak bola kemudian tersebar ke seluruh dunia dan dalam proses penyebaran itu, andil kaum pekerja sama sekali tidak bisa terbantahkan. Sama hal nya seperti di Brasil, meski awalnya diperkenalkan oleh sosok terpelajar bernama Charles Miller, sepak bola pada akhirnya dibesarkan juga oleh kalangan buruh.

Apakah hubungan sepak bola dan kaum kelas pekerja hanya terjadi di Inggris Raya? Jawabannya jelas tidak, klub asal Jerman yaitu Dortmund dan Schalke menjadi resprentasi kelompok buruh dan identitasnya tak luntur sampai dengan saat ini. Borussia Dortmund, menawarkan kursi gratis kepada para pekerja baja. Pekerja baja tersebut telah berjasa dalam pembangunan klub, mulai dari pembangunan stadion sampai kontribusi terhadap saham.

Sementara itu di Negara lainnya, AC Milan di Italia, Atletico Madrid, Athletic Bilbao di Spanyol, dan Boca Juniors di Argentina, semuanya adalah representasi sempurna klub kelas pekerja yang sama-sama lahir dari, oleh, dan untuk kelas pekerja.

Jika kita berbicara mengenai hubungan sepak bola dan kelas pekerja di Indonesia, peran buruh dalam sepak bola rupanya ditemukan juga di Indonesia, walau belum secara detail dan terperinci. Namun, dalam buku “The Communist Uprising of 1926-1927 in Indonesia” karya Harry J. Benda dan Ruth McVey, yang disadur Zen RS, diceritakan soal buruh dan sepak bola.

Dalam buku tersebut, dituliskan bahwa sekitar tahun 1927, berdiri sebuah kesebelasan bernama LONA. Markas mereka berada di Pasar Pariaman, Sumatera Barat. Lalu, sepak bola dan kaum kelas pekerja begitu erat keterikatannya ketika era kompetisi Liga Sepak bola Utama atau yang biasa kita kenal dengan nama ‘Galatama’ yang dihelat pada tahun 1979. Beberapa klub yang berbasis industri seperti Semen Padang FC, Petrokimia, Pardedetex, dan Barito Putera, menggunakan jasa para pekerjanya untuk memperkuat tim mereka.

Berbeda dengan ketika era Perserikatan, yang dianggap lebih ramai dan riuh dibanding ketika era Galatama yang sudah lebih dulu hidup, juga bersenyawa dengan kelas pekerja atau buruh. Hampir di seluruh pertandingan di era Perserikatan menjadi perhatian kaum buruh. Mereka menjadikan sepak bola sebagai hiburan selepas bekerja mencari nafkah.

Karenanya, muncul istilah di hampir seluruh penjuru dunia, sepak bola bersenyawa dan dihidupkan oleh buruh. Dalam hal ini buruh selalu identik dengan suporter. Walaupun sejatinya tak ada spesialisasi bahwa suporter adalah kaum buruh, tetapi tak bisa dipungkiri, bahwa para suporter yang mendominasi tribun adalah para kaum kelas pekerja.

Sayangnya, representasi suporter seringkali mendapatkan pandangan negatif. Kaum kelas pekerja kerap dipandang sebagai biang kericuhan dengan alasan yang tidak mendasar, yaitu pendidikan. Kaum buruh sering kali dicap sebagai orang yang tidak memiliki intelektual tinggi, dan karena itu kerap menjadi biang dari kericuhan yang terjadi dalam suatu pertandingan sepak bola.

Namun, boleh jadi kaum kelas pekerja adalah para penikmat dan penggemar sepak bola yang memprioritaskan rasa aman dan nyaman ketika mereka hadir dan menyaksikan suatu pertandingan. Sebab, mereka hadir dan menyaksikan suatu pertandingan sepak bola untuk mendapatkan hiburan, untuk bersantai dan melepas penat setelah lelah bekerja.

Oleh karena itu, sepak bola tidak akan pernah bisa dilepaskan dengan kaum kelas pekerja. Dimanapun dan disisi apapun, kaum kelas pekerja memiliki peran dan andil besar dalam suatu pertandingan dan berkembangnya sepak bola. Mulai dari menyumbang para pemain, pelatih berbakat, hingga penggerak disisi penikmat permainan rakyat asal Inggris ini. Dan jangan lupakan juga seluruh elemen penting dalam suatu pertandingan sepak bola, mulai dari bola, sepatu yang digunakan para pemain, pakaian hingga beberapa perangkat pertandingan lain yang juga diproduksi oleh para kaum kelas pekerja.

Dengan demikian, meski kaum kelas pekerja secara perlahan disingkirkan oleh sepak bola, permainan rakyat satu ini sebetulnya tidak pernah bisa mengenyampingkan atau bahkan menghilangkan jiwa kelas pekerjanya secara keseluruhan. Di balik gemerlapnya industri sepak bola, ada suatu warisan yang sulit untuk dilenyapkan begitu saja. Maka dari itu, saatnya kita memberikan dukungan dan keberpihakan terhadap kaum kelas pekerja di seluruh dunia seperti kita mendukung klub yang kita cintai dan tak henti-hentinya kita dukung.

 

Selamat hari buruh!

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.