Harmonisasi Inggris Dan Jerman Dalam Subkultur Football Casuals

Harmonisasi Inggris Dan Jerman Dalam Subkultur Football Casuals

Inggris dan Jerman, salah satu negara yang berada dibenua Eropa ini memang memiliki banyak cerita dan nilai sejarah. Kedua negara ini memiliki catatan bersejarah dalam perang dunia 1 dan perang dunia 2. Pertempuran ini diawali pada 16 Desember 1914 ketika dimana pasukan angkatan udara Jerman menyerang angkatan laut Inggris secara tiba-tiba. Serangan ini terjadi di Hartlepool dan Scarborough, kota pelabuhan utara Britania. Hal ini terjadi selama 90 menit dan menyebabkan banyaknya jatuh korban pada saat itu dan Inggris mengecam Jerman atas apa yang angkatan udara Jerman lakukan. Inggris tidak tinggal diam, mereka melakukan serangan balik pada angkatan perang Jerman dan pertempuran besar pun terjadi.

Selain daripada itu kedua negara ini memiliki catatan yang baik dalam dunia sepak bola. Dalam beberapa kali pertemuan, sialnya Inggris lebih sering menelan kekalahan dalam pertempuran ini. Dalam permainan sepak bola, Jerman bermain santai dan dapat dikatakan selalu telat panas dalam setiap pertandingannya sedangkan Inggris selalu bermain menyerang dengan permainan kick and rush nya hal ini juga yang menciptakan perbedaan pendapat dimana bagi Jerman bertahan adalah sebuah seni dan bagi Inggris permainan bertahan adalah sebuah bentuk anti sepak bola, mungkin hal ini juga yang melatar belakangi istilah “pertahanan terbaik adalah menyerang”. Banyak hal yang mengakibatkan perpecahan ini terus meluas dalam kehidupan diluar lapangan seperti halnya bagi sebagian banyak masyarakat Inggris mereka masih meyakini bahwa Jerman adalah rival bagi mereka, berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat Jerman, mereka sama sekali tidak merasa Inggris sebagai rival abadi nya.

 

Dalam dunia sepak bola, kedua negara ini memiliki prestasi yang cukup gemilang dalam berbagai perhelatan. Nilai histori dan kejayaan yang mereka ukir juga membuat kedua negara ini secara tidak langsung menjaga eksistensi, prestasi dan nilai-nilai yang sudah terukir sebelumnya. Tetapi lupakan itu semua karena pada ulasan kali ini kami akan mengulas sisi lain dari kedua negara ini yang bersinggungan langsung dengan subkultur Football Casuals.

Sepertinya fashion menjadi hal yang wajib dalam subkultur Football Casuals ini. Beberapa brand asal Eropa mendominasi pasar yang mencakup dunia subkultur Football Casuals ini. Selain daripada Italia, Perancis dan Skotlandia ternyata Inggris dan Jerman pun memiliki peranan besar dalam dunia fashion, khususnya bagi subkultur Football Casuals. Tiga brand yang akan kami bahas kali ini adalah brand yang memiliki konsentrasi dalam dunia footwear atau sepatu. Adidas, Clarks dan Dr Martens menjadi brand yang cukup digilai dalam subkultur Football Casuals ini. Dapat kita lihat ketika distadion sekumpulan suporter dengan menggunakan produk-produk tersebut, tetapi ternyata tidak hanya dilapangan sepak bola saja, dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai para penggiat subkultur Football Casuals yang menggunakan tiga brand tersebut.

Dr Martens, salah satu brand yang mendominasi beberapa subkultur yang lahir di Inggris ini memang menjadi salah satu brand yang memiliki identitas bagi para pecintanya. Berawal dari istirahatnya pasca mengalami patah kaki pada saat perang di Munich, Jerman Dr Klaus Maertens seorang prajurit perang berusia 25 tahun membuat sol sepatu dengan sol yang memiliki karakter empuk dengan bantalan udara. Sol sepatu ini pada awalnya hanya untuk ia gunakan sendiri untuk digunakan dimasa pemulihan patah kakinya tersebut. Tetapi setelahnya ia menunjukan hasil karyanya pada salah satu teman lamanya yaitu Dr Herbert Funk. Setelah memperlihatkan hasil penemuannya Dr Klaus Maertens dan Dr Herbert menjalin kerja sama untuk membuat sepatu dengan inovasi sol yang dibuat oleh Dr Klaus Maertens dengan menggunakan sepatu bagian atas yang digunakan oleh militer. Pada tahun 1947 mereka berdua memulai memperjual belikan sepatu hasil karyanya, pada tahun ini juga penjuaalan sepatu ini sangat pesat dengan target pasar wanita yang memiliki umur lanjut usia. Melihat penjualan yang sangat pesat pada tahun 1959 mereka mencoba keberuntungan dengan memasang iklan di beberapa majalah ternama dibeberapa negara.

 

Griggs Company, salah satu pengrajin sepatu boots yang berada di kota kecil Wollaston, Northamptonshire Inggris ini selama enam dekade memiliki reputasi yang sangat baik karena hasil produksinya memiliki kualitas yang sangat baik, kokoh dan tahan lama. Perusahaan keluarga ini telah memproduksi sepatu boots sejak 1901. Pada tahun 1960 Griggs Company masih dijalankan oleh generasi ketiga dari keluarga ini. Bill, Ray, Colin dan Son Max sedang melihat majalah yang membahas penjualan sepatu. Pada saat itu mata Bill tertuju pada suatu iklan dari Jerman yang memperlihatkan iklan sebuah sepatu dengan sol yang dilengkapi dengan inovasi bantalan udara. Melihat iklan tersebut mereka meminta lisensi perilisan pada Dr Klaus Maertens dan mereka mendapatkannya.

Setelah mereka mendapatkan lisensi secara eksklusif dari Dr Klaus Maertens mereka memulai dengan memodifikasi sepatu yang dibuat sebelumnya. Bagian tumit dan bagian atas menjadi salah satu konsentrasi mereka adalah bagian tumit yang dibuat lebih nyaman, bagian atas yang dibuat lebih bulat dan jahitan kuning dibagian midsole dan beberapa bentuk lainnya dengan mempertahankan sol yang memiliki bantalan udara dan akhirnya sepatu ini resmi memiliki nama “Air Wair” yang juga dilengkapi dengan lingkaran berwarna hitam dan kuning dibagian tumit yang juga menampilkan inovasi sol terbarunya “With Bouncing Soles” dengan ditulis langsung oleh Bill Grigg. Gayung bersambut, pada tanggal 1 April 1960 mereka meresmikan sepatu boots pertama mereka dengan memiliki delapan lubang dan dengan nama resmi Dr Martens, disinilah awal perjalanan sepatu yang identik dengan beberapa subkultur di Inggris dimulai.

 

 

Dr Martens melakukan dobrakan, ketika mengingat pada tahun tersebut fashion dan aroma budaya di Inggris sepertinya tidak memerlukan sepatu boots yang fungsional. Fashion glamour dan segala yang berbau kemewahan menjadi fashion favorit di Inggris pada saat itu, tetapi rupanya Dr Martens tidak memperdulikan hal itu. Sepatu Dr Martens pada awalnya digunakan oleh postmen atau biasa dikenal dengan tukang pos dan para kaum kelas pekerja pada saat itu, namun waktu terus berjalan dan tibalah suatu gebrakan baru yang tanpa di inisiasi oleh Dr Martens sendiri. Dr Martens digunakan oleh penggiat subkultur skinhead dan beberapa turunannya dengan membawa semangat kelas pekerja mereka dengan bangga menggunakan sepatu boots ini. Tidak lama dari peristiwa ini Pete Townshend sebagai gitaris The Who yang sangat terkenal pada saat itu ikut mempopulerkan sepatu boots ini dengan semangat symbol kelas pekerja dan sikap pemberontakannya. Masa inilah dimana awal perubahan Dr Martens yang awalnya menjadi sepatu kelas pekerja menjadi sesuatu yang penting dalam pergerakan subkultur di Inggris pada saat itu. Dr Martens terus berkembang dengan banyaknya subkultur yang mengaplikasikan sepatu boots ini dalam fashionnya. Dengan mengikuti perkembangannya Dr Martens tidak hanya bagi kelas pekerja dan pengirim surat, sepatu boots ini juga digilai oleh para musisi, khusunya yang berada di Inggris dengan tidak melupakan semangat kaum kelas pekerja yang melatar belakangi terbentuknya sepatu ini. Musik, fashion dan subkultur yang digilai para anak muda pada saat itu melekat dengan Dr Martens hingga saat ini. Salah satu musisi yang sering terlihat menggunakan sepatu Boots Dr Martens ini adalah Damon Albarm, vokalis band asal Inggris yaitu Blur dan sampai saat ini Dr Martens menjadi sepatu yang memiliki identitas khusus bagi para pecintanya, khususnya subkultur skinhead dan juga subkultur Football Casuals.

 

Selain daripada Dr Martens, Clarks juga memiliki history yang menarik dengan semangat pergerakan anak muda yang mengagumi sepatu ini. Mengawali kiprahnya di kota Somerset Inggris, Cyrus Clarks mendirikan sebuah bisnis penyamakan wol dan produksi kulit dengan sepupunya, selain daripada itu ia juga menjual permadani yang terbuat dari kulit domba. Setelah bisnis ini berjalan, James, adik dari Cyrus Clark ikut bergabung dengan bisnis ini dan membuat ide baru dengan membuat sandal dari potongan permadani yang terbuat dari kulit domba. Produk pertama yang dibuat oleh James dan diresmikan juga oleh dirinya diberi nama Brown Petersburgh, sendal yang terbuat dari kulit domba ini terjual sangat pesat di Inggris pada tahun 1928. Mengingat banyaknya peminat hingga 1000 pasang per bulan dan dibuat langsung dengan tangan ini membuat Clarks bersaudara ini mulai menggunakan jasa pemotongan dan menjahit sandal ini. Pegawai yang mereka libatkan dalam perusahaan ini sebagian besar adalah penduduk setempat.

Melihat pesatnya penjualan Brown Petersburgh, dalam pameran yang diselenggarakan di Joseph Paxton’s Crystal Palace, Clarks bersaudara ini mendapatkan penghargaan atas pencapaian mereka dalam industri Inggris.

Clarks terus berinovasi dan berkembang, dengan mendapatkan pinjaman untuk mengembangkan usahanya Calrks juga mendapatkan nafas segar setelah James melibatkan putra bungsunya yaitu William. Waktu terus berjalan dengan segala inovasi yang terus dijalankan oleh Clarks. Mengingat kebanyakan ukuran kaki manusia yang berbeda antara kanan dan kiri Clarks meluncurkan inovasi baru ditahun 1883 dengan menyesuaikan dengan ukuran kaki yang berbeda ini dan hal ini juga yang membedakan Calrks dengan sepatu lainnya yang memiliki ukuran sama dalam ukuran kaki kiri dan kanannya. Pada tahun 1825 Clarks memperluas produksi nya, rupanya hal ini dilakukan untuk mempercepat produksi dalam waktu yang singkat dan jumlah yang banyak  dengan mempertahankan standar dan kualitas yang tinggi. Untuk meningkatkan penjualan yang sangat baik pada saat itu Clarks merilis iklan pertamanya dan mengakuisisi perusahaan Abbotts Shop pada saat itu.

 

 

Hugh Bryan Clark hadir dengan nama pertamanya yaitu Peter Lord hingga tahun 1990 an. Pada tahun 1950 Clarks meluncurkan sepatu legendarisnya yang dirilis hingga saat ini yaitu Clarks Desert Boots yang dirancang langsung oleh Nathan Clark, cicit dari James Clark. Clarks Desert Boots telah menjadi salah satu model sepatu yang paling populer selama hampir 70 tahun. Museum Desain memasukkan Desert Boot dalam koleksi "Fifty Shoes that Changed the World". Pada tahun 1960 Clarks Desert Boots banyak diminati oleh banyak subkultur di Inggris pada saat itu, khususnya subkultur mods di Inggris dan Rude boys di Jamaika.

 

 

Clarks kami rasa tidak puas dengan pencapaiannya. Pada tahun 1970 mereka resmi merilis Clarks Wallabee yang terinspirasi dari gaya sepatu moccasin. Clarks Wallabee sangat populer hingga saat ini dan menjadi salah satu produk ikonik dari Clarks. Clarks Wallabe memiliki sangat banyak peminat mulai dari artis, musisi hingga seniman lainnya. Johnny Marr menjadi salah satu musisi yang kerap terlihat menggunakan sepatu Clarks Wallabee ini. Clarks terus berkembang, dengan berbagai inovatif yang mereka lakukan menjadikan produk ini mendunia dan sangat terkenal diberbagai belahan dunia. Skena musik menjadi sesuatu yang sangat melekat dalam dunia entertainment hingga saat ini. Salah satu acara televisi terkenal yang melibatkan Clarks Wallabee ini adalah Breaking Bad. Karakter Walker White memakai Clarks Wallabee dihampir semua episode yang ditayangkan oleh film ini.

 

 

Setelah Dr Martens dan Clarks menjadi iconic subkultur di Inggris, satu brand yang sangat mewakili subkultur Football Casuals adalah Adidas. Berawal pada tahun 1920, di sebuah kota kecil Bavaria, Jerman. Pada tahun 1925Adolf Dasler yang pada saat itu berusia 20 tahun anak dari pengrajin sepatu menemukan inovasi baru dalam membuat sepatu sepak bola. Adolf Dasler menemukan sepatu berduri untuk digunakan dilintasan lari dan lapangan sepak bola.hal ini tidak terlepas dari kesukaannya pada olahraga sepak bola. Setelah menemukan inovasi terbarunya Adolf Dasler dan saudaranya Rudolph Dasler mendirikan perusahaan sepatu olahraga bernama “Jerman Gebrüder Dassler OHG” yang kemudian dikenal dengan Adidas.  

Adidas mendapatkan keberhasilannya di ajang Olimpiade 1928 di Amsterdam. Pada saat itu sepatu Adidas mulai mendunia setelah Lina Radke salah satu atlet yang mengikuti olimpiade ini berhasil menyabet medali emas dalam olimpiade ini. Tidak berakhir sampai disitu, Adidas terus berkontribusi dalam dunia olah raga. Adidas kembali berhasil mencatatkan namanya dalam dunia olahraga setelah Jesse Owens mengenakan sepasang sepatu lari Dassler saat ia memenangkan empat medali emas untuk AS di Olimpiade Berlin 1936.

 

 

 

Kedua kakak beradik ini mengalami perselisihan selama perang, setelah sebelumnya mereka yang tergabung dalam salah satu pergerakan dijerman. Rudolf yakin Adolf telah mengidentifikasinya sebagai pengkhianat pasukan Amerika. Pada tahun 1948, Rudolf mendirikan apa yang kemudian menjadi Puma, perusahaan sepatu saingan Adidas.

 

Pada 18 Agustus 1949, Adolf Dassler memulai lagi bisnisnya pada usia 49, mendaftarkan "Adi Dassler adidas Sportschuhfabrik" dan memulainya dengan 47 karyawan di kota kecil Herzogenaurach. Pada tahun yang sama, ia mendaftarkan sepatu yang termasuk pendaftaran adidas 3 Stripes. Kembali mengukir sejarah setelah tim nasional sepak bola Jerman menjuarai piala dunia 1954 dengan menggunakan sepatu sepak bola Adidas. Nama Adidas semakin terdengar keseluruh penjuru dunia dengan produk sepatunya. Pada tahun 1967 Adidas menggaet salah satu pemain legendaris Jerman pada saat itu Franz Beckenbauer untuk menjadi artis dalam iklan produk pakaian olahraga ini. Adidas terus melakukan inovasi dalam memproduksi sepatu nya. Adolf Dasler sering mengunjungi para atlet untuk mengetahui apa-apa saja yang mereka butuhkan untuk melakukan aktifitasnya didalam dunia olah raga. Adolf terus dan terus mencari informasi tentang apa-apa saja keperluan yang diperlukan oleh para atlet hingga akhirnya ia mendapatkan kepercayaan dari para atlet. Pada saat itu para atlet mempercayai produk Adidas bahkan ada beberapa atlet yang memberikan statement bahwa Adidas adalah produk olahraga terbaik dari yang terbaik sekalipun.

Dengan pencapaian ini Adidas diperaya dalam beberapa perhelatan kejuaraan olah raga dan Adidas menjadi semakin terkenal dengan kualitas dan kenyamannya. Pada tahun 1972 ketika digelarnya Olimpiade di Munich, Adidas mengenalkan logo terbarunya yaitu Adidas Trefoil. Adidas Trefoil semakin dikenal setelah Olimpiade Munich ini diselenggarakan. Adidas Trefoil juga disebut dengan Adidas Originals yang memiliki hak paten dari Adolf Dassler. Adidas Originals terus mewakili identitas olahraga dengan kepercayaan dari penyelenggara dan arlet pada saat itu. Gayung bersambut, pada tahun 1980an Adidas Originals menjadi salah satu produk sepatu yang dihilai oleh anak muda di Inggris yang menjadi penggiat dalam subkultur Football Casuals. Adidas Originals menjadi salah satu identitas dengan gaya khas nya yang sangat menjaga model dan kenyamanan bagi para penggunanya.

 

 

Dengan mewabahnya subkultur ini menjadikan Adidas semakin menguasai pasar bagi anak muda dan dunia olahraga. Pada tahun 2013 di London, Adidas kembali menghadirkan inovasi baru dengan menggaet Gary Aspden yang menaungi Adidas Spezial. Adidas Spezial ini menghadirkan sejarah dari Adidas Originals dengan menggunakan desain dan siluet dari sepatu Adidas pada masa kejayaannya.   

 

 

Sampai saat ini ketiga brand yang berasal dari Inggris dan Jerman ini mendominasi pasar bagi banyak anak muda dan khususnya pada subkultur Football Casuals. Ketiga brand sepatu ini menjadi salah satu identitas bagi penggiat subkultur Football Casuals.

 

Penulis: Rifqi Maulana

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.