This Is Our Opinion: Football Casuals, Skena Tanpa Nahkoda

This Is Our Opinion: Football Casuals, Skena Tanpa Nahkoda

Ay Bruv, kali ini mungkin pembahasan yang bakalan saya bahas hanya mengenai keluh kesah atau apa ya curcol kali ya dari anak kemaren sore yang sosoan mau ngomongin subkultur yang baru saya kenal kurang lebih lima tahun kebelakang. Jadi, ditulisan kali ini isinya kurang lebih cuma apa yang ada di kepala saya aja sih mengenai subkultur yang mungkin saya suka pada saat ini. Gak cuma keluh kesah, mungkin ada kritik yang bakalan saya utarakan buat para penggiat yang ada di skena ini, bebas kalian mau nilai tulisan ini semau kalian, judgement dan tanggapan sangat amat saya persilahkan mengingat hakikatnya manusia sebagai individu yang memiliki pemikiran luas, tak terbatas dan tersendiri, sekali lagi saya tegaskan, individu berfikir bebas!

 

Tapi sebelum saya nulis curcol ini, saya udah dapet izin juga sih dari beberapa orang yang emang saya percaya udah ada di skena ini belasan tahun, orang subkultur ini juga baru berusia belasan tahun di negara ini, mungkin secara masif ya, kalau tahu nya mah mungkin gak sedikit orang juga yang tahu skena ini dari tahun 2000-an, mungkin. Jadi ide penulisan ini awalnya dari obrolan ringan nan santai sih sama salah satu penggiat skena atau subkultur ini, obrolan warung yang akhirnya jadi obrolan serius, tapi kalau dia sih udah lama ada di skena ini, mau dibilang top boys dia gamau, gak dibilang top boys juga ya masa iya sih hahaha, tapi ah lupain masalah gituan doang kok jadi masalah ya.

 

Balik lagi, jadi waktu saya lagi ngobrol sama si penggiat subkultur ini mengenai bagaimana sebenarnya subkultur ini pada awal kemunculannya dan menjamur sampai kaya sekarang, saya pikir bagi saya sendiri mengenali suatu skena atau subkultur bukan kaya kita kenal temen baru di ruangan kelas, kamu cukup tanya nama dan kenal, walaupun dalam konteks pertemanan gak sedikit juga orang yang pengen lebih tau karakter orang itu kek gimana. Kurang lebih lima tahun saya kenal sama subkultur ini, bagi saya pribadi ini bukanlah waktu yang cukup untuk mengenali apa-apa saja yang ada didalamnya, mengingat subkultur football casuals ini banyak banget intrik dan drama yang ada didalamnya, hal ini yang menjadi pemantik bagi saya untuk membuka obrolan bersama salah satu penggiat subkultur ini., terlebih saya memiliki tanggung jawab dalam menulis artikel yang pembahasannya mengenai subkultur football casuals ini, hmmm berat sih tapi seru kok, saya sendiri banyak mengenal hal baru ketika kurang lebih lima tahun terus cari tahu sebenernya apa aja yang ada didalam subkultur ini, karena saya orangnya gak suka nongkrong dan memiliki lingkungan baru, agak susah buat masuk ke dalam circle baru, jadi saya lebih suka cari informasi dari beberapa literasi yang saya suka, hehehe curcol pertama nih.

 

Ngomongin tentang subkultur football casuals mungkin gak akan bisa lepas dari gimana awal terjadinya di dataran Britania Raya, mau gak mau segala sesuatu harus ada penjabaran dari orang-orang yang menggeluti subkultur ini di awal kemunculannya, OG nya kali ya mereka tuh. Melihat perkembangan subkultur ini di Indonesia emang keliat menjamur banget. Berbagai kalangan dengan bangga nya melabeli diri dengan kata ‘Casuals’. Jadi sebenernya si casuals itu apa sih? Kalau dijelasin disini bakalan cukup panjang, tapi kalian bisa baca di artikel sebelumnya, judulnya “Football Casuals, Si Anak Bungsu Dengan Spirit Para Pendahulunya” atau beberapa interview yang ada di web www.prungtw.com atau di channel youtube nya Prung Station, banyak juga disana yang ngejelasin tentang football casuals dan subkultur lainnya.

Berbicara tentang football casuals, emang gak akan bisa lepas dari beberapa rules atau aturan yang ada didalamnya, sebenernya males juga sih kalau ngomongin tentang aturan jadi kaya baku, kaku dan sempit aja gitu konteksnya, tapi ya balik lagi, mau gamau kalo kita adopsi sesuatu yang akhirnya jadi akulturasi harus ada roots nya juga kan. Salah satu roots dan rules yang ada di subkultur football casuals kan fashion ya, jadi emang harus di perhatiin banget masalah fashion dalam subkultur ini tuh, emang sih kalau secara harfiah si casuals ini artinya santai, tapi bakalan beda arti dan pemaknaan ketika kita merujuk pada football casuals, terus football casuals tuh apa? Sepak bola santai gitu? atau suporter yang nonton dan dukung tim sepak bola secara santai? Enggak gitu juga sih, baca aja ya di artikel yang saya saranin di atas hehe.

 

Kalau ngomongin masalah subkultur ini emang gak bakalan ada abisnya, fanatisme, persaingan antar firma, kerusuhan, musik, fashion dan masih banyak lagi pokonya. Tapi masalah fashion yang menurut saya sangat menarik untuk dibahas, apalagi ngeliat fenomena sekarang kan, berapa harga outfit lo? Halah kirik lah!.

 

Subkultur ini tuh emang merhatiin banget masalah fashion atau apa yang mereka pake, gak asal pake aja. Beberapa brand ternama emang jadi konsumsi mereka, bukan cuma di tribun, tapi udah jadi pakean sehari-hari mereka, every day is a casuals day!. Hal ini membuat subkultur ini memang sudah menjadi komoditi utama dalam pergerakan anak muda yang mencintai dunia fashion, khususnya para pemuda yang mencintai dunia sepak bola, fanatisme yang dibalut dengan fashion yang elegan menjadikan subkultur ini banyak digilai oleh kalangan anak muda, orang tua juga banyak sih, tapi mereka mulai nya waktu masih muda hahaha.

Setelah hadir dengan gaya berpakaian yang eksklusif, subkultur ini menyebar dengan sangat pesat bagai virus yang melanda suatu negara. Sering kita jumpai anak muda dengan sepatu Adidas yang memiliki segmen khusus, gak semua sepatu Adidas bisa dikaitkan dengan subkultur ini, ribet? Emang. Padu padan warna pakaian pun jadi salah satu sesuatu yang sangat amat diperhatikan, gak Cuma warna, brand nya juga diperhatiin, ribet? Banget. Tapi si ribet ini tuh udah jadi sesuatu yang biasa aja buat mereka, gak ada kata ribet, gak peduli harganya berapa, gak peduli gimana cara dapetin nya, tapi yang maling mah tetep aja brengsek, ngerugiin, yakali eksklusif dengan cara maling sih, kerja atau usaha lah biar bisa clobberan, tapi usaha nya gak maling juga haha.

 

Setelah berhasil masuk dalam suatu komoditi, subkultur football casuals ini digemari khalayak luas dengan berbagai latar belakang dan usia. Disinilah masalah yang muncul, menurut saya pribadi. Pada awal kemunculannya, subkultur ini memang sangat eksklusif, tapi ke eksklusifan ini menjadi senjata makan tuan bagi subkultur ini sendiri. Para penggiat di awal kemunculan memang terkesan egois dan enggan membuka akses bagi para pemuda lainnya yang juga ingin ikut serta dalam subkultur ini. Dengan dalih “eksklusif” mereka menutup diri dengan segala hal yang mereka tahu. Hal inilah yang menjadi bumerang bagi subkultur ini, muncul banyak pemuda dengan gaya “casuals” dengan se enaknya tanpa memperhatikan gimana sih harusnya orang yang ada dalam subkultur ini. Dampak yang terjadi akhirnya banyak banget orang yang bergaya casuals ini malah terkesan norak dan jauh banget dari esensi si football casuals itu sendiri. Mungkin gak sedikit juga orang yang mengalami fase perubahan dalam gaya berpakaian dan meninggalkan gaya berpakaian subkultur football casuals ini. Bahkan hal ini menjurus ke ejekan buat beberapa orang yang dulunya berpakaian casuals ini “dulu anak casuals ya?” kesannya kan kaya yang hina banget aja gitu jadi orang yang nge dress casuals tuh hahaha. Padahal subkultur ini secara penampilan dan fashion menurut saya elegan banget sih, rapih, bersih dan ya enak aja gitu loh, tap ya itu karena gak ada atau minim sumber literasi dan informasi yang gak didapetin sama segelintir orang jadi ya gitu.

 

Terus harusnya tugas siapa memelihara subkultur ini? Mungkin ini tugasnya orang-orang yang paham bener tentang subkultur ini dan beberapa orang yang hidup dari subkultur ini. Dalam pemikiran sempit saya pribadi, kalau emang bakalan gini terus, gak ada sharing atau berbagi informasi terbaru mengenai subkultur ini bakalan abis udah subkultur ini dengan tempaan yang terus-terusan, apalagi kalo ada ungkapan “ini kan bukan budaya kita” kalo buat saya pribadi sih cukup aja jawab “akulturasi sayang” toh kita juga gak sepenuhnya adopsi budaya dari sana kan, tim yang didukung tim lokal, timnas masih timnas Indonesia, ya cuma nambahin bumbu doang apa salahnya sih, orang sepak bola aja bukan budaya kita kan, budaya kita tuh cuma saling ngejek dan saling nyalahin, termasuk saya yang sangat amat mencintai budaya itu hahaha. Agak ribet emang ya kalo ngomongin masalah budaya, kayanya saya saranin baca tulisan para budayawan deh kalo mau ngomongin itu hehehe, balik lagi ke fashion football casuals ah, fenomena nya sampai saat ini.

 

Oke, pada awalnya subkultur ini masuk dari berbagai media seperti film dan musik. Green Street Hooligan, Cash, The Firm dan film lain yang menyajikan cerita tentang football hooliganism dan football casuals banyak digandrungi oleh banyak anak muda sebagai tolak ukur. Musik juga rupanya tidak dapat dipisahkan sebagai hal yang mempenaruhi masuknya subkultur ini di Indonesia. Gallagher Brother yang menggilai Manchester City, Gary Mounfield yang Manchester United banget dan Damon Albarn yang menjadi suporter Chelsea cukup memperkuat jaringan masuknya subkultur ini.

 

Karena menyinggung Chelsea, saya jadi pengen nyeritain hal yang menurut saya cukup lucu. Cerita ini diceritakan oleh salah satu teman saya yang menceritakan ketika dia sedang berada dalam perjalanan ke luar kota. Dengan tidak sengaja ia melihat seseorang yang menggunakan hoodie yang bertuliskan kota dengan kata “HEADHUNTERS” hmmm saya gak nyalahin itu sih cuma yak an lucu aja ngeliat kata headhunters yang identic dengan firma yang memiliki latar belakang fasisme dari kota London ini. Fyi logo yang headhunters gunakan yaitu simbol tengkorak dan tulang paha manusia yang memiliki nama ‘Totenkopf’ ini adalah simbol dari SS-Division Totenkopf, tentara bengis nazi Jerman. Divisi SS 3/Totenkopf adalah salah satu dari 38 divisi Waffen-SS dalam Perang Dunia II. Sebelum mencapai status divisi, kelompok ini dikenal dengan nama Kampfgruppe Eicke. Divisi ini terkenal karena berbagai kejahatan perang dan karena sebagian besar dari anggota awalnya adalah penjaga kamp konsentrasi. Sekali lagi, saya tidak menyalahkan firma yang ada di Indonesia menggunakan simbol ini, tapi ya lucu aja bangsa Indonesia menganut faham fasisme nazi yang udah jelas mereka menjaga kemurnian ras mereka hahaha, mungkin hal ini juga yang menjadikan literasi, edukasi dan sharing menjadi sesuatu yang sangat penting dalam memahami suatu hal, simbol khususnya, tapi terserahlah kalo misalkan firma itu emang mau jadi fasis yang menganut faham nazi hehehe.

Regenerasi memang sangat penting, karena mengingat eksistensi suatu kelompok dapat dilihat sejauh mana regenerasi nya berkembang. Literasi, edukasi dan berbagi informasi juga menjadi hal yang sangat penting dan harus berjalan beriringan dengan munculnya regenerasi ini. Marilah kita pelihara subkultur ini dengan berbagi informasi, kalau kata Wiji Thukul “Apa gunanya banyak baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu” cmiiw and see you Bruv!

 

Penulis: Rifqi Maulana

anajubovij

http://slkjfdf.net/ – Axileeja Aohuwu xxk.opil.prungtw.com.obu.ev http://slkjfdf.net/

saofituxad

http://slkjfdf.net/ – Uffariro Ehocov maf.nhuh.prungtw.com.lwa.qg http://slkjfdf.net/

ugveqarurmedi

http://slkjfdf.net/ – Avajoxaea Ojajeja pwd.bwji.prungtw.com.kzr.ck http://slkjfdf.net/

ofpavozet

http://slkjfdf.net/ – Ojiwaja Ocfojeyu rvx.fctv.prungtw.com.usn.sx http://slkjfdf.net/

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.