Who Said Pop Is Dead? Kancah Musik Pop Kota Bandung.

Who Said Pop Is Dead? Kancah Musik Pop Kota Bandung.

Bandung, kota yang identik dengan banyaknya pusat perbelanjaan dalam hal fashion atau kuliner ini rupanya sudah sejak lama menjadi idaman para wisatawan, baik wisatawan lokal maupun internasional. Kota yang memiliki iklim pegunungan yang lembab dan sejuk ini memang memiliki banyak daya tarik sendiri selain daripada banyaknya factory outlet dan makanan khas kota yang biasa disebut dengan Bumi Parahyangan ini. Wisata alam pun menjadikan daya tarik tersendiri bagi kota yang memiliki ikon Gedung Sate dan beberapa wisata alam yang tersebar dikota ini.

 

Selain daripada itu, kota Bandung juga memiliki anak muda yang sangat kreatif sejak dahulu kala. Beberapa karya dari seniman kota Bandung sudah cukup melegenda hingga saat ini. Siapa yang tidak mengenali sosok yang cukup nakal seperti Deddy Sutansyah yang mungkin lebih akrab disapa dengan Deddy Stanzah. Tidak hanya Deddy Stanzah, kota yang berjuluk kota kembang ini juga memiliki band legendaris kawakan seperti The Rollies, Bimbo, Giant Step. Tidak hanya itu, Bandung juga rupanya menjadi kota lahirnya musisi fenomenal seperti seniman kontemporer Harry Roesli, Harry Moekti dan pemusik disabilitas yang cukup melegenda yaitu Braga Stone yang memiliki nama asli Supeno.

Sebelum Deddy Stanzah mengepakan sayapnya bersama The Rollies, ditahun yang sama tepatnya pada tahun 1967 Bandung memiliki media yang berhasil mencapai keberhasilan dalam memberikan informasi dan media bagi musisi di Indonesia, khsusnya kota Bandung. Media cetak yang pada saat itu dibentuk oleh Denny Sabri Gandanegara putra dari  Sabri Gandanegara, wakil gubernur Jawa Barat pada masa itu. Denny Sabri masih kuliah ketika ia dan beberapa kawannya menerbitkan Aktuil, majalah musik dan seni lainnya, di Bandung. Namanya diambil dari.nama majalah musik di Belanda, Actueel.

 

Bersama sastrawan kelahiran Makassar Yapi Panda Abdiel atau yang lebih dikenal dengan mana Remy Sylado, Denny menjalankan majalah musik dan seni di Bandung. Setelah Remy Sylado bergabung, Denny pergi ke Jerman untuk melanjutkan kuliah. Selama ia mengenyam pendidikan di negeri Panzer Denny juga membangun jaringan di kancah musik internasional. Hal inilah yang menjadi sebab Aktuil termasuk menjadi pelopor media Indonesia yang melakukan reportase langsung dari event2 musik dunia, termasuk hadir di London pada masa ledakan punk pada pertengahan 1970-an. 

 

Dari Jerman, Denny menguntit band Deep Purple sebagai kru. Dia juga belajar manajemen band. Tak butuh waktu lama, dia berhasil meyakinkan Deep Purple untuk konser di Jakarta. Setahun setelah peristiwa Malari 1974, Denny dan Buena Vista Group manjadi sosok yang berjasa dalam mencatatkan konser rock terbesar dalam sejarah Indonesia dimana mereka membawa dan menampilkan band tersebut dalam dua hari, dari sinilah kita bisa menduga siapa saja sosok yang membawa masuk pop culture Barat pasca-Soekarno.

 

Independensi Pop Culture di Bandung Era 90-an

Gayung bersambut, setelah melewati dua dekade kebelakang, rupanya muda-mudi Bandung tidak melunturkan sisi kreatifitasnya, khususnya dalam hal musik. Medio 90-an menjadi titik awal independensi kreatifitas muda-mudi kota kembang dalam mengekspresikan kesenangan dan eksistensinya dalam dunia musik. Gelaran festival dan beberapa event independent di era 90-an turut mewarnai kancah musik dari berbagai aliran musik yang diprakarsai oleh generasi yang lebih segar dan membentuk ekosistem baru di kota Bandung.

 

Pada era ini, ketiga band yang menjadi pemantik dikenal dengan 3P, Pas, Puppen dan Pure Saturday. Romansa keberagaman musik dikota Bandung terasa sangat beragam dan sangat bervariasi walaupun hingga saat ini kancah musik kota Bandung didominasi oleh band cadas yang juga membawa nama kota Bandung semakin berbunga dan mendunia.

 

Kembali ke era 90-an. Ditengah maraknya musik cadas, British Invasion rupanya merasuk dalam tubuh Pure Saturday yang pada saat itu memutuskan untuk memainkan musik yang identik dengan nuansa musik Inggris era 80 dan 90-an. Band yang secara resmi terbentuk pada tahun 1994 ini digawangi oleh Suar Nasution, Aditya Ardinugraha, Yudistira Ardinugraha, Ade Purnama dan Arief Hamdani ini membawa suasana baru dalam kancah musik Bandung pada saat itu. Namun ada fakta menarik dibalik band ini yaitu dengan nama awal Tambal Ban, namun nama tersebut dirasa kurang menarik lalu Pure Saturday menjadi pilihan yang tepat bagi kuintet asal kota Bandung ini dan fakta menarik lainnya adalah dimana ketika mereka merilis debut albumnya yang bertajuk Self Titled pada tahun 1996 yang terjual sebanyak 5000 kopi, sungguh pencapaian yang sangat luar biasa!

Pada tahun yang sama juga rupanya sudah ada band yang menunjukan tajinya. Band tersebut adalah Kamehame, band yang terbentuk pada kisaran tahun 1993-1994 ini sudah mulai memainkan music seperti Inspiral Carpet, Manic Street Preachers, Weezer dan The Cure. Selain daripada Pure Saturday dan Kamehame, pada medio 90-an juga Bandung memiliki beberapa band yang mengusung suasana indies seperti Cherry Bombshell, Pocket Monsters, Peanuts, The Bride, The Dreamers, New Market, Dua Sejoli, Koala, Charlies Angel (yang beberapa tahun kemudian berganti nama menjadi Maymelian), Kapal Terbang, E.T.A, Electrofux, Plester Kuning dan beberapa bang yang (maaf) luput dari perhatian.

 

Beberapa band yang dituliskan diatas menjadi pemantik kancah indies pada tahun 90-an, event Frantic Indie’s Party pada tahun 1996 menjadi salah satu event yang cukup memukau, dan pada era ini juga band yang sudah melakukan perjalanannya berhasil menghasilkan karya sendiri khususnya dalam bentuk rilisan fisik seperti Cherry Bombshell dengan album Waktu Hijau Dulu pada tahun 1997, E.T.A dengan mini album Eksperimen pada tahun 1998 dan salah satu kompilasi kancah indies Bandung pada saat itu adalah This Is Bandung yang diisi oleh Peanuts, The Bride, Charlies Angel, Kapal Terbang, Electrofux, Kolaborasi antara Nicko (gitaris Peanuts) dengan Her alm (Vokalis Kapal Terbang) dan kolaborasi antara The Bride dengan Andi (Keyboardis Kapal Terbang) album kompilasi ini berada dibawah naungan Red Wine Records yang dirilis 500pcs.

 

Kancah Pop Culture Bandung Era 2000-an

Seiring berkembangnya zaman, kancah indies di Bandung tidak kian meredup. Pergerakan demi pergerakan terus berlangsung pada medio 2000-an. Eksistensi band di era 90-an semakin membara dan tak terbendung. Beberapa event seperti Resurrection I, Britpop’s Coming Home dan event lainnya yang bernuansa indies semakin marak di kota yang memiliki kreatifitas pemuda yang sangat menggelora ini.

Pada era ini muncul juga beberapa band yang mengusung musik-musik yang bernuansa Britpop yang membuat semangat indies semakin berwarna dikota Bandung. Blossom Diary, Twisterella, Astrolab, Another Dean, Sunny Summer Day, Mozcow, Karma, Leach me Lemonade dan Jodi In The Morning Glory Parade. Band-band tersebut tidak hanya meramaikan perkembangan kancah musik pop di Bandung, mereka juga sempat merilis karya dalam bentuk fisik seperti Blossom Diary dengan EP degan tajuk “About The Poor Boy” dibawah naungan Marmalade Records, lalu ada Astrolab dengan demo tape mereka pada tahun 2003 dan setelah mereka berhasil melahirkan demo itu lantas mereka bekerja sama dengan Cloudberry Records dan Maritime Records. Selain dari kedua band tersebut, beberapa band seperti Leach Me Lemonade, Sunny Summer Day, Twisterella, Sound Of Karma dan Mozcow berhasil merekam karya yang mereka publish melalui salah last.fm milik mereka masing-masing.

 

Namun diantara band-band diatas, ada satu band yang sangat menarik perhatian pada saat itu, Another Dean. Tanpa tedeng aling aling, dentuman bass ala Gary Mounfield a.k.a Mani dan suara gitar ala John Squire yang dibalut dengan penampilan yang sangat Madchester membuat mereka manjadi salah satu band yang cukup digilai pada saat itu. Bucket Hat, baggy style ala Madchester Scene di era 80-an, tracktop dan trainers Adidas mambalut Another Dean dengan apik dan sangat mempesona, aaaaaaa Another Dean berhasil membawa Madchester Scene dengan sedikit sentuhan 80’s football casuals yang cukup menarik pada saat itu.

 

2010: Pengaruh Football Casual pada Kancah Pop Culture di Bandung

Pada tahun 2010, kancah musik yang bernuansa Britpop semakin menjamur setelah hadirnya subkultur baru dikota Bandung. Subkultur yang tidak lepas dari British Invasion ini adalah 80’s football casuals. Subkultur yang secara langsung diadopsi oleh banyak anak muda dikota Bandung ini juga turut mengembangkan kancah musik bernuansa Britpop.

 

Kehadiran 80’s football casuals ini juga turut memberikan perubahan dalam segi fashion yang memang sebelumnya sudah mulai dikenakan oleh para pegiat kancah musik indies dikota Bandung. Sportswear, trainers shoes dan brand-brand ternama asal eropa berhasil merasuk ketubuh pemuda yang menggilai musik Britpop.

 

Beberapa band di era ini juga ikut hadir mewarnai kancah musik indies bernuansa Britpop. All Day I Dream And Shine, The Fish, Blue Corners, Senja Utara yang dengan gamblang mengadopsi subkultur football casuals hadir membawa suasana baru dengan bergaya ala para hooligan Inggris di era 80 hingga 90-an.

 

Beberapa band diatas terlibat dalam salah satu kompilasi yang bertemakan “The Most Essentials Terrace Anthem” pada tahun 2013 yang sebelumnya mereka memulai dengan event pada tahun 2011. Titik balik kancah musik pop kota Bandung di era ini memang bisa dibilang semakin berkembang dan menjamur dengan hadirnya subkultur baru yang didominasi oleh para pecinta sepak bola lokal kota Bandung.

Selain daripada band yang mengusung subkultur football casuals, ada beberapa band yang dirasa tidak terlalu mewakili sepak bola lokal kota Bandung seperti Swells, Little Smiths dan Taman Kota, Piccadilly, The Fifth juga memberikan warna baru dalam kancah musik pop kota bandung di era tersebut. Band yang muncul di kisaran tahun 2010 keatas pun tidak melupakan semangat band-band sebelumnya. Mereka merekam dan merilis karya mereka dan mendistribusikan rilisan fisik dengan cara indpenden, dan hal ini yang membuat semangat indies kota Bandung tetap ada di kota yang kaya akan kreatifitas anak muda nya.

 

Rilisan fisik dari band yang turut membangun kancah musik pop Bandung di era 90-an pun masih hadir seperti ketika Anoa Records merilis album dikografi Blossom Diary pada tahun 2016 dan Warkop Musik yang juga merilis kembali mini album milik E.T.A pada tahun 2018 dan Pure Saturday yang mengabadikan perjalanan mereka dalam album yang menghadirkan kembali Suar yang telah digantikan oleh Satria NB pada posisi vokal dan mantan personil lainnya yang pada era awal kemunculan Tambal Band yang akhirnya bertransformasi menjadi Pure Saturday.

 

Event dengan indies vibes pun masih banyak digelar dari tahun 2010 hingga sebelum pandemic menyerang Indonesia, khususnya kota Bandung. Event seperti Resurrection 2 yang menjadi ajang reuni para pegiat kancah indies 90-an, Sugar Coated Iceberg, Modern Life Is Rubbish, God Save The Scene, England Sound dan beberapa event cover band Britpop lainnya di kota Bandung. Event yang dirasa masih mewakili etos independen dan nuansa indies hadir juga ditahun 2018 yang bernama Bandung Calling, event ini juga masih menampilkan beberapa band pop asal tanah air, khususnya kota Bandung, namun sayang gelaran kedua dari event yang digagas oleh para pemuda kota Bandung ini terhenti oleh pandemic.

Tanpa disadari, beberapa band diatas banyak yang mati suri, namun ingat, mereka tidak bubar. Dengan banyaknya kesibukan personil masing-masing Band yang mengaharuskan mereka menghibernasikan band mereka, namun event God Save The Scene yang dirasa menjadi ajang nostalgia bagi para pegiat kancah indies kota Bandung menjadi gambaran bahwa pegiat di era 90-an  dan 2000-an masih membakar semangatnya dan Bandung Calling yang memberikan nuansa British Invasion mewakili pergerakan pemuda kota Bandung yang masih belum padam, khususnya independensi dalam dunia musik pop. Rupanya Bandung tidak membutuhkan kejayaan dalam kancah musik pop, namun satu pertanyaan besar yang mewakili banyak persepsi, who said pop is dead?! See you.

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.