Resistensi Ultras Raja Casablanca

Resistensi Ultras Raja Casablanca

Casablanca, kota terbesar dan terpadat di Maroko. Bagi sebagian besar orang, tempat ini dikenal sebagai salah satu destinasi wisata yang bertaburan akan kemewahan. Namun, dibalik segala kemewahan dan keindahannya, kota ini juga menjadi rumah bagi salah satu klub sepak bola terbesar di benua Afrika, serta penggemar mereka yang terkenal dengan sifat membangkang terhadap bentuk kekuasaan dan keserakahannya. Mereka adalah Ultras Raja Casablanca dan Ultras Green Boys.

 

Sejak awal terbentuk, Raja Casablanca telah membanggakan dirinya sebagai klub rakyat dan telah menjadi detak jantung kota. Mantra ini telah berperan besar dalam mengikat hubungan tim asal kota Casablanca ini dengan para pendukungnya yang diterima secara luas dan menjadikan mereka sebagai salah satu suporter paling bergairah di Afrika.

 

Klub ini didirikan pada bulan Maret tahun 1949. Bukan tanpa alasan, berdirinya klub ini rupanya didirikan sebagai saluran aspirasi bagi pemuda kelas pekerja kota tersebut untuk menunjukkan kebencian mereka pada struktur politik negara saat itu dan juga sebagai oposisi langsung terhadap rival kota Wydad Athletic Club, yang cenderung mewakili kelas menengah ke atas. Sentimen ini disorot oleh lambang elang, yang menandakan ideologi kekuatan dan perlawanan, sementara pilihan warna hijau klub melambangkan harapan. Tidak ada yang bisa membantah semua argumen dan niat dari para pendiri tim tersebut.

 

Ultras Raja Casablanca

Seperti halnya di banyak wilayah, Raja Casablanca lebih dari sekadar sebuah tim. Kesebelasan yang berusia 74 tahun ini berfungsi sebagai cara bagi kaum muda untuk mengidentifikasi diri mereka dengan berkumpul dengan hal yang mempersatukan mereka. Tidak mengherankan, jika klub membanggakan diri sebagai media bagi suatu perlawanan tertentu. Namun satu hal yang pasti, tim sepak bola selalu menjadi media yang tepat untuk menyalurkan aspirasi.

 

Saat awal terbentuk, Raja Casablanca adalah sebuah monumen penghormatan yang tepat bagi para penggemarnya karena perjuangan di luar lapangan tercermin dengan sempurna di dalamnya. Faktanya, klub tidak berhasil meraih gelar liga Maroko pada debut mereka sampai tahun 1988. Meskipun menuai hasil yang kurang maksimal, para pendukung tetap setia dan perlahan-lahan dianggap sebagai salah satu kelompok suporter paling terkenal di negara itu. Gairah dan latar belakang yang digaungkan oleh Raja Casablanca rupanya menjadi pemantik dan faktor tersendiri bagi Ultras Raja Casablanca.

 

Ultras di Maroko mulai berkembang sekitar pertengahan 2000-an. Ini ditandai dengan lahirnya Green Boys 2005 yang pertama kali mencuat ke permukaan pada laga Liga Champions Afrika antara Raja Casablanca melawan wakil Tunisia, ES Sahel di Casablanca, Juni 2005.

Sejak saat itulah mereka memproklamirkan diri sebagai penghuni tribun selatan Stade Mohammed V. Meskipun, dalam perkembangannya mereka akhirnya berbagi tempat dengan dua kelompok lain, yaitu Ultras Eagles 06 dan Derb Sultan 1949 untuk berdampingan menghuni tribun yang dikenal dengan nama Curva Sud Magana.

 

Dengan keterikatan yang sangat erat, Stade Mohamed V, stadion sekaligus rumah kedua bagi ribuan warga Casablanca berubah menjadi kuali yang sangat besar yang dilengkapi dengan gemuruh nyanyian yang lantang seakan semua itu dapat menembus udara di lautan asap hijau. Ribuan orang melompat dengan semangat di atas tribun, mengenakan warna kebanggaan sebagai panji yang mereka banggakan.

 

Resistensi Ultras Raja Casablanca.

Saat Arab Spring melanda Timur Tengah, ultras di Maroko juga terkena dampaknya. Setelah gerakan 20 Februari yang bisa dikatakan sekarat akibat represi dari pemerintah, rakyat Maroko mendapat secerca harapan dari atas tribun stadion.

 

Di negara-negara seperti Maroko, Aljazair dan Tunisia, stadion sepak bola telah menjadi tempat berekspresi bagi kaum muda yang peduli dengan masa depan mereka, dan chant yang berbau penentangan pun dinyanyikan di tribun yang berisikan pesan bernuansa menentang pihak berwenang.

 

Pada saat itulah, kelompok ultras mengekspresikan kegelisahannya atas kenyataan sosial yang terjadi menggunakan spanduk, bendera, chant, tifo tanpa harus mengabaikan tugas pokok untuk mendukung tim kebanggaan.

Dengan amarah yang dibalut dengan kreativitas, terciptalah berbagai chant yang berlatar belakang politik, salah satunya adalah Fbladi Delmouni (Tertindas di negara saya) Chant tersebut berisi kritik atas represi pemerintah, isu narkoba di Ketama, hingga bahaya neo kolonialisme dari dikeruknya sumber daya oleh pihak asing.

 

Fbladi Delmouni (Tertindas di negara saya)

awwh shakwaa lirabi aleali, awwh ghayr hu ali dari

(Aku hanya bisa mengadu kepada Tuhan, Hanya dia yang tahu keluh kesah kita)

fahal albalid eayshin faghmamuhu, talibin alsaalimatu, ansurna ya maulana

(Di negeri ini kami hidup sengsara, kami hanya meminta keselamatan, tolong kami Tuhan)

sarfu ealayna hashish wakatamuhu, khalawna kaliatamaa, tatahasabuu fi alqiama

(Mereka membanjiri kami dengan ganja dan obat-obatan, membuat kami seperti anak yatim, mereka akan membayarnya di hari penghakiman)

almawahib dieituha, bialduwkhatahristuha, kayf bughituu tishufuha

(Bakat yang Anda bakar, dengan obat-obatan yang Anda hancurkan, bagaimana itu akan muncul ke permukaan?)

fulus albalid kae kilituha, lilbaranii eatituha, jinirasiuwn qamieatumuha

(Anda menghabiskan sumber daya negara, memberikannya kepada orang asing, menindas seluruh generasi.)

waqataluu al basyun wabaditu birfukasyun

(Anda membunuh gairah kami dan memulai provokasi.)

 

Puncak dari gesekan antara ultras dan pemerintah ini sebenarnya terjadi pada tahun 2016, yaitu ketika dikeluarkannya 09/09 Law yang berisi larangan untuk membawa spanduk, bendera, drum, pyro, smoke bomb, dan peralatan untuk kepentingan koreografi lainnya ke dalam stadion.

 

Meskipun para ultras sebenarnya masih diperbolehkan masuk ke stadion, banyak dari mereka lebih memilih untuk melakukan boikot. Kebijakan ini seakan menjadi public enemy yang pada akhirnya menyatukan hampir semua ultras di Maroko.

 

Menurut pakar ilmu politik Abderrahim Bourkia, ultras telah menjadi gerakan sosial. “Supporterisme di Maroko menjadi tempat ekspresi eksklusi sosial ekonomi kaum muda,” kata Bourkia kepada Fanack. “Ini adalah sarana ekspresi, protes dan di atas semua kerangka kerja yang benar untuk membangun identitas, menunjukkan keinginan kaum muda untuk dilihat, ada dan diakui dalam masyarakat di mana mereka merasa agak dikecualikan, tanpa melalui proses politik. partai atau asosiasi. Lingkungan politik dan olahraga telah menjadi sensitif terhadap mobilisasi ultras, setidaknya dari sudut keamanan, dan anggota kelompok yang mendefinisikan diri mereka secara sosial sebagai pendukung memanfaatkan kesempatan langka yang tersedia bagi mereka untuk membuat suara mereka didengar.”

 

Di luar peran sosial yang sekarang dimainkan para ultras, daya tarik mereka memiliki dimensi lain, seperti yang dijelaskan Bourkia: “Dalam waktu 90 menit, mereka mengekspresikan seluruh rentang emosi yang dapat dirasakan seseorang seumur hidup: kegembiraan, penderitaan, kebencian, kesedihan, kekaguman, ketidakadilan.”

Secara umum, sepak bola Maroko perlahan menghilang dari radar, terutama karena kegagalan tim nasional mencapai final Piala Dunia FIFA sejak edisi 1998. Keberhasilan klub kelas pekerja Raja Casablanca secara tidak langsung menjaga kredibilitas gairah akan mendukung tim kebanggan tetap hidup di negara yang penuh carut marut.

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.