Skip to main content

Jolly Roger Naik Tiang, Apakah Merdeka Hanya Tinggal Kenang?

Jolly Roger Naik Tiang, Apakah Merdeka Hanya Tinggal Kenang?

 

Di Indonesia, gambar tengkorak bukan hanya sekadar lambang kematian atau sesuatu yang menakutkan. Gambar yang sering didefinisikan sebagai sesuatu yang menakutkan ini bahkan muncul di mural lorong kota, desain kaos, helm anak motor, hingga spanduk di tribun sepak bola. Di negeri yang konon religius dan menjunjung norma, justru simbol tengkorak yang sering diartikan sebagai pemberontakan dan kemarahan, malah tumbuh subur dalam ruang-ruang kultural anak muda. Selain dari itu, di stadion juga sering terlihat gambar tengkorak tersebut. Namun, gamabr yang sering dikaitkan dengan nama Jolly Roger berkibar bukan untuk menakuti musuh seperti di zaman bajak laut, tapi untuk menyatakan sikap: kami bukan sekadar penonton, kami oposisi terhadap sistem yang beku dan kaku.

 

Belakangan ini, saat Indonesia bersiap menyambut Hari Kemerdekaan dengan upacara, lomba makan kerupuk, karnaval yang dilabeli sebagai pesta rakyat, dan jargon nasionalisme sablonan, sebuah peristiwa terjadi: sekelompok masyarakat menginisiasi untuk mengganti bendera merah putih dengan bendera bajak laut One Piece, si tengkorak tersenyum dengan topi jerami. Netizen terbagi: ada yang marah karena dianggap menodai simbol negara, ada yang geli karena menganggapnya kelucuan khas Gen Z, ada pula yang diam-diam merasa “Lho, kok... relevan, ya?” bahkan ada pula yang setuju, dan memasang bendera bajak laut One Piece di depan rumahnya. 

 

 

 

Karena memang itulah kenyataannya. Bagi sebagian masyarakat hari ini, bendera negara adalah formalitas, ia dikibarkan karena diwajibkan. Sementara Jolly Roger, bahkan versi manga-nya, membawa makna yang lebih nyata: solidaritas kru, hidup melawan sistem, dan mimpi tentang kebebasan yang tak bisa dibeli. Maka, ketika tengkorak tertawa itu menggantikan sang saka, kita sedang menyaksikan sebuah pesan diam: bahwa mungkin, bagi generasi ini, kebebasan tak lagi bersimbol pada merah putih, melainkan pada simbol bajak laut yang menolak tunduk. Lalu, sebenarnya apa arti bendera bajak laut tersebut? Dan apa itu Jolly Roger?

 

Dari Lautan Karibia ke Kepala Kita: Evolusi Jolly Roger

 

Jauh sebelum Jolly Roger berkibar di depan rumah masyarakat Indonesia, atau di beberapa kendaraan, ia lebih dulu menggetarkan lautan dunia. Sekitar akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18 yang dikenal sebagai Golden Age of Piracy, bendera ini menjadi simbol perlawanan dari mereka yang disebut bajak laut, penyamun laut, kriminal, sekaligus tokoh legendaris. Tapi, seperti banyak hal dalam sejarah, siapa yang disebut kriminal sering kali hanyalah mereka yang menolak tunduk pada sistem.

 

Asal-usul istilah “Jolly Roger” sendiri masih penuh teka-teki. Sebagian sejarawan masih meyakini bahwa istilah ini berasal dari bahasa Prancis, yaitu jolie rouge, yang memiliki arti “merah cantik”. Merujuk pada bendera berwarna merah solid yang dipakai oleh bajak laut Prancis untuk menyatakan bahwa tidak akan ada ampun bagi lawan. Teori lain menyebut bahwa nama itu berasal dari bahasa Inggris kuno, "Old Roger", julukan untuk setan atau iblis. Maka, “Jolly Roger” menjadi eufemisme ironis: si iblis yang berseri-seri. Ada pula yang menganggap nama itu sebagai julukan pelaut untuk semua jenis bendera bajak laut, terlepas dari desainnya.

 

 

 

Namun, lambat laun, bendera hitam dengan simbol tengkorak dan tulang silang menjadi standar de facto. Namun, warna hitam tersebut rupanya bukan cuma dekorasi gelap, melainkan pernyataan sikap: “Kamu sedang berhadapan dengan kekuatan yang menolak hukum raja.”

 

Simbol tengkorak dalam bendera bajak laut rupanya bukan sembarangan simbol. Pada masa itu, simbol seperti ini sangat politis. Pada masa itu juga, simbol tengkorak menyimbolkan kematian. Namun, selain itu juga ia memiliki arti kesetaraan: karena di hadapan kematian, semua orang sama. Tak peduli apakah kamu bangsawan, pedagang kaya, atau pelaut biasa. Dalam konteks bajak laut, bendera tengkorak adalah sindiran telak kepada dunia yang penuh ketimpangan sosial.

 

Meskipun sering dikategorikan atau digambarkan sebagai penjahat, rupanya para bajak laut bukan sekadar perompak serakah. Banyak di antara mereka adalah pelaut miskin yang muak dengan sistem kolonial, seperti hal nya mantan tentara bayaran yang tak dibayar, atau budak yang kabur dari tuan yang serakah dan jahat. Di kapal bajak laut, mereka membentuk komunitas egaliter. Ada aturan main yang lebih demokratis dibanding kapal dagang milik kerajaan: kapten dipilih lewat voting, rampasan dibagi merata, dan pelanggaran bisa dikenai hukuman oleh dewan kru. Sebuah bentuk “utopia terapung” yang mengancam sistem feodal yang langgeng berada di daratan.

 

Meskipun bendera Jolly Roger atau yang lebih umum terdengar dengan sebutan bendera tengkorak ini diasosiasikan dengan bendera bajak laut, beberapa tokoh-tokoh bajak laut seperti Blackbeard (Edward Teach), Bartholomew Roberts, atau Calico Jack Rackham memiliki versi Jolly Roger masing-masing. Blackbeard memakai bendera bergambar iblis memegang tombak yang mengarah ke hati yang dipenuhi darah, tapi bukan karena dia anak emo, tapi karena dia paham: perang psikologis bisa lebih efektif dari peluru. Sedangkan Bartholomew Roberts, salah satu bajak laut tersukses sepanjang sejarah, malah punya dua versi bendera: satu menunjukkan dirinya berdiri berdampingan dengan sosok kerangka (simbol kematian), dan satunya lagi menendang kepala raja dan paus. Dan Calico Jack Rackham dengan versi klasik tengkorak dan dua pedang bersilang, yang kemudian menjadi desain paling populer dan banyak diadopsi hari ini.

 

Mengapa bendera ini dibuat sedemikian rupa? Salah satu faktornya adalah faktor psikologi. Bajak laut menggunakan simbol menakutkan bukan untuk perang, tapi untuk menghindarinya. Saat kapal dagang melihat Jolly Roger, mereka sering menyerah tanpa perlawanan. Ini menghemat peluru, tenaga, dan risiko luka. Jadi, Jolly Roger adalah alat negosiasi brutal: tampilannya memproyeksikan kekerasan ekstrem agar justru tidak perlu digunakan.

 

 

 

Bendera Jolly Roger bukan hanya bendera kebesaran atau simbol dari kesiapan menghadapi perang. Ia juga menjadi simbol bahwa kapal bajak laut beroperasi di luar yurisdiksi hukum mana pun. Dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh monopoli dagang seperti VOC atau East India Company, para bajak laut adalah anomali, glitch dalam sistem globalisasi awal. Mereka menyerang kapal-kapal kaya, tapi juga kadang membagikan rampasannya pada penduduk pulau miskin yang dirampas oleh kolonialisme.

 

Namun, seperti biasa, sistem yang berkuasa selalu tidak suka dengan sesuatu yang liar. Seiring waktu, bajak laut diburu, ditangkap, digantung, dan dikubur dalam sejarah sebagai penjahat. Bendera mereka dilarang, bahkan di beberapa pelabuhan bisa dihukum mati hanya karena membawanya. Tapi seperti ide-ide yang tak bisa dibunuh, Jolly Roger tetap hidup, meskipun dalam ancaman, ia tak pernah berhenti untuk terus bertransformasi.

 

Selain dari itu semua, yang menarik dari Jolly Roger adalah: tak ada yang bisa mematenkannya. Ia bukan simbol resmi, bukan sebuah yang dilindungi. Ia milik semua orang dan sekaligus tak seorang pun yang dapat memilikinya. Inilah yang membuatnya ia begitu kuat. Ia bisa dimaknai ulang, disesuaikan, dan disematkan dalam berbagai konteks.

 

Bagi satu kelompok, ia adalah sindiran untuk federasi. Bagi yang lain, ia adalah cerminan identitas sosok yang keras kepala. Dan bagi sebagian yang lebih filosofis, ia adalah bentuk eksistensi yang jujur: hidup ini keras, kepala ini bising, tapi kami tetap di sini, tertawa, menangis, dan menyanyikan lagu yang tak pernah diputar di iklan.

 

 

 

Reinkarnasi Jolly Roger di Dunia Modern

 

Setelah era bajak laut meredup dan sedikit terlupakan, Jolly Roger sempat “hilang” dari ruang publik, kecuali di buku anak-anak dan film yang terus melakukan propaganda bahwa bajak laut adalah sosok yang jahat. Namun di abad ke-20, simbol ini hidup kembali, kali ini ia terlahir kembali dalam bentuk yang lebih banyak menyindir daripada mengancam.

 

Pada Perang Dunia II, beberapa kapal selam Inggris mulai mengecat lambang tengkorak di badan kapal mereka sebagai simbol keberanian dan ketidakterikatan terhadap konvensi. Selain itu, Jolly Roger juga diadopsi oleh berbagai kelompok anti-otoritarian: mulai dari punk, geng motor, aktivis anti-kapitalis, hingga kelompok teknologi peretas (hacktivists). Bahkan kelompok pembajakan digital seperti Pirate Bay menjadikannya logo utama, sebagai bentuk penolakan terhadap kepemilikan informasi oleh segelintir korporasi dan berbagai kelompok tandingan budaya. Mereka mengadopsi Jolly Roger bukan karena ingin merompak kapal, tapi karena merasa identitas mereka tak diakomodasi oleh arus utama. Tengkorak menjadi lambang kehidupan pinggiran, kebebasan mutlak, dan keengganan untuk tunduk.

 

Dalam dunia pop, Jolly Roger juga sering hadir dalam bentuk yang lebih “aman”: tokoh kartun bajak laut, logo merchandise, bahkan tema pesta ulang tahun. Tapi bagi banyak orang, ia tetap membawa jejak perlawanan yang lebih lembut, seolah berbisik: Aku ada di sini, dan aku tak seperti kalian.

 

Jolly Roger juga menjelma menjadi “meme visual” yang kuat dalam budaya populer. Ia menandai batas antara hukum dan kebebasan, antara kontrol dan kreativitas liar. Ia bisa muncul di jaket denim anak SMA, bendera di panggung konser, atau mural di gang-gang kumuh. Dan tentu saja, ia muncul dengan penuh gaya dalam manga One Piece yang membawa Jolly Roger pada generasi baru, bukan sebagai ancaman, melainkan impian.

 

 

 

 

One Piece dan Imajinasi Pembebasan 

 

One Piece, karya fenomenal dari Eiichiro Oda, pertama kali hadir sebagai manga pada tahun 1997 di majalah Weekly Shonen Jump. Ceritanya mengikuti petualangan Monkey D. Luffy, bocah yang memakan Buah Iblis Gomu Gomu no Mi dan menjadi manusia karet, dalam usahanya menjadi Raja Bajak Laut dan menemukan harta legendaris bernama “One Piece.” Anime-nya kemudian tayang mulai 1999 oleh Toei Animation dan hingga 2025 telah mencapai lebih dari 1100 episode. Sejak awal, One Piece menonjol karena dunianya yang sangat kompleks dan kaya akan detail, mencakup sejarah tersembunyi, ketimpangan sosial, serta berbagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan absolut. Ini bukan sekadar cerita petualangan, melainkan sesuatu yang sarat simbol perlawanan terhadap otoritarianisme dan glorifikasi kebebasan mutlak.

 

Dalam anime dan manga One Piece, Jolly Roger tidak sekadar simbol bajak laut. Ia adalah identitas, semangat kolektif, dan mimpi besar: kebebasan sejati. Monkey D. Luffy, sang protagonis, tak tertarik menjadi raja dalam pengertian kekuasaan. Ia ingin jadi Raja Bajak Laut hanya agar bisa menjadi manusia paling bebas di dunia.

 

Kru Topi Jerami bukan kriminal karena mereka jahat, melainkan karena mereka melawan dunia yang bobrok—pemerintahan Dunia (World Government) yang korup dan otoriter. One Piece menjadi semacam fabel politik tentang bagaimana sistem bisa dibobol oleh orang-orang ‘buangan’, yang justru lebih adil dan berprinsip.

 

 

Sementara itu, tema-tema yang diangkat Oda makin berani dan politis: eksploitasi, kolonialisme, penyensoran sejarah, serta hilangnya kepercayaan terhadap institusi kekuasaan. Luffy tak hanya menjadi simbol kebebasan, tapi juga representasi dari individu yang menolak tunduk pada tatanan palsu bernama “kedamaian.” Dengan narasi yang mendekati klimaks, dunia One Piece kian menyerupai refleksi dunia nyata, menjadikan karya ini lebih dari sekadar fiksi, tapi juga semacam manifesto kebebasan dan penolakan terhadap penindasan yang dibungkus dalam kisah bajak laut.

 

Tak heran, banyak anak masyarakat, termasuk suporter sepak bola menjadikan One Piece dan Jolly Roger sebagai simbol identitas baru. Di tengah kekecewaan terhadap bangsa yang tak lagi terasa milik bersama, Jolly Roger menawarkan hal lain: solidaritas antar kru, semangat kolektif, dan keberanian menantang status quo.

 

Kemerdekaan yang Belum Rampung 

 

Hari kemerdekaan selalu hadir dengan perayaan yang megah dan ramai seperti parade, lomba, pidato pejabat, dan bendera negara yang berkibar di mana-mana. Tapi di beberapa tempat, kita dapat melihat langsung sesuatu yang tak biasa: masyarakat mengganti bendera merah putih dengan bendera Topi Jerami dari One Piece. Apakah ini bentuk penghinaan? Atau justru teriakan jujur dari generasi yang lelah untuk berpura-pura?

 

Fenomena ini bukanlah fenomena anti-nasional. Justru sebaliknya: ini kritik terhadap nasionalisme kosmetik. Mereka ingin merdeka dari kemiskinan struktural, dari harga tiket bola yang semakin hari semakin mahal dan semakin tak masuk akal, dari gaji pemain yang telat dibayar, dari stadion yang tidak memenuhi standar, dari pengurus federasi yang kebal hukum. Mereka tidak anti-negara, mereka hanya ingin negara yang lebih baik. Dan saat simbol negara terasa tidak jujur lagi, Jolly Roger menjadi bahasa baru: “Kami tak percaya pada janji-janji kosong. Kami akan bertahan di kapal kami sendiri. 

 

Jika dulu merdeka berarti lepas dari penjajahan asing, kini maknanya lebih kompleks. Merdeka adalah soal hak atas ruang hidup, akses terhadap hiburan yang layak, harga tiket pertandingan yang adil, stadion yang aman, dan keadilan di luar papan skor. Dan ketika semua itu tak terpenuhi, Jolly Roger berkibar sebagai sindiran telak: “Kami bajak laut bukan karena kami mau, tapi karena kapal negara kalian karam.”

 

 

 

Dan seperti Luffy, para suporter tak sedang mencari mahkota. Mereka hanya ingin ruang untuk bebas bersuara, tanpa diatur oleh federasi atau protokol yang tak paham semangat stadion. Jolly Roger mereka bukan ancaman, tapi pelampiasan dari rasa ingin menjadi merdeka yang belum pernah benar-benar dirasakan.

 

Ada sesuatu yang aneh namun menggoda dari melihat bendera tengkorak berkibar di antara bendera kebangsaan. Seolah-olah kita sedang menyaksikan pesta kematian, tapi dalam bentuk kehidupan. Sebuah perayaan kecil dari mereka yang tak pernah merasa cukup diwakili oleh negara, federasi, atau bahkan klubnya sendiri.

 

Jolly Roger bukan ajakan untuk membajak kapal, tapi pengingat bahwa sepak bola dan kehidupan selalu punya ruang bagi mereka yang tidak ingin menjadi bagian dari sistem. Bahwa bahkan di tengah industri miliaran dolar, kehidupan yang semakin menjengkelkan, masih ada tempat untuk bendera buatan tangan, untuk lagu dari bawah, dan untuk tengkorak kecil yang tersenyum kepada dunia, lalu berkata: “Kami tidak akan tunduk.”

 

Di negeri yang tiap tahun merayakan kemerdekaan dengan lomba makan kerupuk dan pidato klise, bendera Jolly Roger berkibar diam-diam dari balkon kontrakan hingga tribun stadion. Bukan karena rakyatnya ingin jadi bajak laut, tapi karena semakin banyak yang merasa hidup di bawah kapal yang tak tahu arah, dengan kapten yang hanya sibuk menyelamatkan rombongan elitnya sendiri. Ketika wasit bisa dibeli, stadion jadi ajang perkelahian politik lokal, dan mimpi pemain muda dikubur di lapangan becek tanpa gawang, mungkin masuk akal jika banyak yang memilih tengkorak tersenyum ketimbang merah putih yang tinggal jadi properti upacara.

 

Perubahan simbol bukanlah bentuk pengkhianatan. Ia adalah bahasa terakhir dari mereka yang sudah terlalu lama dibungkam. Di tribun, mural di gang sempit, di kaus oblong bocah yang belum paham ideologi, Jolly Roger bukan sekadar gambar. Ia jadi sinyal: bahwa kita tahu ada yang busuk, dan kita memilih tertawa melawannya. Karena seperti kata Luffy dalam One Piece, “If you don’t take risks, you can’t create a future.” Dan di negeri ini, mungkin hanya para “bajak laut” lah yang masih cukup waras untuk bermimpi tentang masa depan, karena mereka sudah selesai berharap pada masa kini.

 

Dan mungkin, pada akhirnya, bendera bajak laut hanyalah pengingat bahwa hidup ini tak selalu tentang aturan yang ditulis di buku tebal atau janji yang diucapkan di panggung besar. Ia adalah simbol untuk mereka yang memilih berlayar ke arah yang tak pasti, tertawa di tengah badai, dan tetap bernyanyi meski kapal miring. Kadang yang tersisa untuk dicintai hanyalah aroma tribun sepak bola, petualangan panjang dalam episode One Piece, dan mimpi liar tentang kebebasan yang tak pernah selesai dikejar. Karena di balik tengkorak yang tersenyum itu, selalu ada harapan yang menolak tenggelam.

 

Comments

Be the first to comment.

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.
Thanks for contacting us! We'll get back to you shortly. Thanks for subscribing Thanks! We will notify you when it becomes available! The max number of items have already been added There is only one item left to add to the cart There are only [num_items] items left to add to the cart