Sampai Kapan Hingar Bingar di Stadion Kosong Berakhir?

Sampai Kapan Hingar Bingar di Stadion Kosong Berakhir?

Berbicara tentang sepakbola, memang kita tidak dapat melulu berbicara mengenai permainan indah dilapangan, megahnya stadion yang digunakan dalam perhelatan ini dan kemenangan suatu tim. Tidak sedikit faktor yang dapat menghidupkan suasana dalam olahraga yang dapat menyita perhatian banyak orang ini. Isak tangis pemain dilapangan yang menelan kekalahan dan riuh suporter yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan di tribun menjadi hal yang mewarnai suatu pertandingan sepakbola sejak dahulu kala.

Gemuruh teriakan para suporter yang hadir dalam sebuah pertandingan bak bahan bakar lebih bagi para pemain yang bertarung dalam lapangan hijau. Mereka tidak sungkan untuk memperlihatkan taji dalam sebuah pertandingan dengan atmosfer penuh semangat yang diciptakan langsung oleh para suporter. Chant (nyanyian) yang diteriakan oleh para suporter dalam suatu pertandingan itu merupakan salah satu bentuk luapan emosi dan dedikasi mereka kepada tim yang mereka cintai. Terlepas dari cacian dan makian yang mereka utarakan, di satu sisi itu adalah sebuah bentuk peduli.

Bagi seorang suporter, stadion bukan tempat untuk duduk dan hanya berdiam saja menyaksikan suatu pertandingan. Stadion merupakan wadah bagi mereka dalam berekspresi dan meluapkan emosi yang entah itu berupa sanjungan atau makian. Maka stadion yang yang memiliki roh sepenuhnya tidak akan pernah sepi dari teriakan para suporter. Selain daripada bentuk dukungan, chant yang mereka nyanyikan juga adalah suatu bentuk intimidasi atau teror bagi tim lawan.

Tahun 2020 menjadi tahun yang memberikan banyak tamparan keras bagi khalayak luas. Tahun yang dipenuhi oleh dominasi pemberitaan dari media cetak maupun elektronik menjadi momok yang menghantui masyarakat dengan hadirnya pandemic covid-19 yang hingga saat ini tak kunjung usai. Lock down, social distancing dan segala solusi yang diyakini dapat menekan angka penularan rupanya masih belum dapat memberikan titik terang bagi penduduk bumi.

Begitu pula dunia olahraga, tidak dapat terhindar dan lari dari pandemi ini. Semua sektor yang meliputi kerumunan wajib dihentikan. Tetapi seiring berjalannya waktu, muncul ketetapan baru dengan istilah new normal, yang mungkin gak normal-normal banget juga. Mulai diberlakukan nya segala aturan baru yang membuat masyarakat luas dapat kembali menjalankan aktifitas diluar rumah, salah satunya adalah sepakbola, sebuah hiburan dan industri yang menghidupi orang-orang yang terlibat didalam nya.

Meskipun dapat kembali digelar, sepakbola rupanya kehilangan elemen penting yang menjadi roh dalam permainan ini. Sejak diberlakukan nya social distancing, kerumunan dan kumpulan orang-orang seolah-olah menjadi sesuatu yang diharamkan. Dengan hilangnya bagian dalam sepakbola menjadikan permainan ini tidak dapat sepenuhnya dinikmati seperti seharusnya. Hilangnya gemuruh suara suporter dan pemandangan lainnya yang biasanya hadir dalam suatu pertandingan. Sebagai gantinya, pihak federasi dan televisi mengganti atmosfer stadion dengan suara suporter yang sebelumnya telah direkam dalam pertandingan sebelum masa pandemi. Hal ini menjadikan sosok suporter secara tidak langsung digantikan oleh suporter palsu yang mungkin menjadi suatu pembodohan publik.

Hal ini rupanya telah divisualisasikan 42 tahun yang lalu oleh serial televisi fiksi ilmiah yang diproduksi oleh Universal Studios dengan judul “Buck Rogers in the 25th Century”. Adegan yang menampilkan pertandingan olahraga antar galaksi yang tidak dihadiri oleh penonton, tetapi pada scene tersebut terdapat riuh nya suara penonton yang seolah-olah hadir dalam pertandingan antar galaksi tersebut. Suara penonton itu rupanya dihasilkan oleh suara yang ditransmisikan secara elektronis ke dalam stadion yang menghasilkan suara penonton yang seolah-olah hadir langsung ke pertandingan antar galaksi tersebut. Ide dari Glen A. Larson dan Leslie Stevens ini rupanya menjadi ide yang sangat menggelikan.

Glen A. Larson dan Leslie Stevens telah memprakarsai hal ini 20 tahun sebelum khalayak luas menggunakan internet menjadi bagian dari kehidupan mereka dan tiga hingga empat dekade sebelum kehadiran smartphone, media sosial dan visual berbentuk gambar berjalan yang digandrungi masyarakat sampai detik ini. Setelah 42 tahun lamanya, ide dari Glen A. Larson dan Leslie Stevens ini masih tetap menggelikan ketika dimana munculnya pandemic virus covid-19 yang menghentikan semua kegiatan, termasuk sepakbola. Dominasi teknologi yang semakin menggila membuat kahidupan manusia semakin minim akan tatap langsung akan terus berlangsung hingga waktu yang tidak dapat dipastikan.

Setelah kembali bergulir, secara tidak langsung kita dapat memastikan bahwa industrialisasi sepakbola semakin nyata dan jelas. Jika kita melihat dalam sudut pandang industri, kehadiran penonton di stadion adalah salah satu tanda popularitas yang berarti juga profit. Pemasukan satu tim dari tiket pertandingan pernah menjadi sumber utama yang diperoleh oleh tim. Saat ini, persentase pendapatan dari tiket penonton memang lebih sedikit. Pada 2019, penjualan tiket pertandingan hanya memberikan 17% dari total pendapatan yang diterima tim dalam satu musim. Bandingkan dengan pendapatan dari iklan 40% dan dari hak siar siaran televisi 43% (Deloitte Football Money League, 2019). Dengan persentase yang melebihi iklan dan penjualan tiket, kita dapat menyimpulkan bahwa hak siar ini memiliki kerja sama antara sepakbola dengan media.

Semenjak pandemi covid-19 muncul ke permukaan, para suporter dengan segala bentuk fanatisme nya yang mewarnai se-isi stadion sepakbola secara jelas dikebiri dengan dalih mengurangi angka penularan. Keterikatan emosional antara suporter dan tim yang mereka bela memang sudah pasti dapat menimbulkan sisi emosional yang alami dalam tubuh suporter itu sendiri, frase seperti “kalian adalah lawan yang harus ditaklukan”, pertempuran antara dua tim yang bertanding, reaksi spontan ketika terjadi benturan antar pemain dan gol hingga suara dari peluit wasit, memberi ketegangan yang membuat olahraga ini semakin menyenangkan ketika kita menyaksikannya secara langsung.

Fanatisme dan kolektifitas dalam dunia suporter sepakbola memang tidak dapat hilang dari muka bumi. Sekelompok suporter yang berkumpul di suatu tempat yang bertujuan untuk menghadiri sebuah pertandingan menjadi bukti konkret bahwa sepakbola tidak dapat dilepas liar kan dari suporter. Representasi penonton di stadion turut membangkitkan emosi para pemain yang berlaga di lapangan hijau dan membuat pertandingan tersebut memiliki kehidupan seutuhnya.

Kehadiran suporter di stadion juga bisa menjadi sebuah drama yang hadir dalam suatu pertandingan yang tak kalah menarik dari pertandingan tersebut. Seperti apa yang dilakukan oleh Eric Dier ketika menghampiri sekumpulan suporter yang secara sengaja menghina adik dari pemain bertahan Tottenham Hotspurs tersebut . Momen itu menjadi salah satu momen yang sulit dilupakan di Liga Inggris dan rasanya tidak mungkin terjadi ketika tidak ada suporter yang hadir langsung di stadion.

Di masa pandemi, stasiun televisi yang memegang hak siar pertandingan sepakbola memberikan efek suara artifisial gemuruh suporter dalam pertandingan yang berlangsung. Pemegang hak siar ini memproduksi suara suporter yang hanya bisa didengarkan oleh penonton televisi. Hal ini pun terjadi di Eropa dan mendapatkan protes dari suporter di 16 negara di Eropa. Kelompok-kelompok suporter ini menyebut bahwa absennya fans di stadion tidak bisa, “digantikan oleh simulasi komputer untuk menghibur penonton televisi.”

Pada sisi lain, kosongnya tribun stadion menjadi penanda hilangnya kesadaran panitia federasi dan penyelenggara dalam menghadirkan hiburan bagi masyarakat luas dengan solusi yang lebih berimbang. Tidak hanya berhenti sampai disitu, pada tahap yang lebih jauh, kondisi pandemi juga sulit diprediksi kapan akan berakhir, berpengaruh pula terhadap keterikatan sepakbola dengan suporter. Pada titik ini juga kita dapat melihat bahwa di masa pandemi pergeseran suporter menjadi audiens sangat nyata dan terlihat jelas. Rupanya hal ini beriringan dengan fase industrialisasi sepakbola modern yang terjadi puluhan tahun ke belakang.

Dewasa ini rupanya sepakbola seperti diwajibkan mengikuti bagaimana industri media khususnya televisi bekerja. Seperti hal nya bagaimana televisi secara tidak langsung memaksa sepakbola untuk mengikuti apa yang ada dalam industri suatu media yang sepenuhnya memiliki hak siar. Dimulai dari jam tayang yang diatur oleh stasiun televisi, sampai beberapa perubahan regulasi seperti durasi water break yang memberikan ruang lebih banyak bagi iklan di televisi yang hingga pada akhirnya, suporter hanya dijadikan ladang bagi para pemilik kepentingan tersebut, seperti apakah ia membeli jersey, merchandise, atau tiket di stadion yang seiring berjalannya waktu semakin mahal dan tidak masuk di akal. Sudah menjadi hal yang lumrah, ketika dimasa pandemi suporter yang ingin menyaksikan pertandingan sepakbola harus berlangganan sebuah platform yang bekerja sama dengan pemegang hak siar dan panitia penyelenggara.

Ketidak hadiran supporter di stadion yang digantikan oleh suara dari rekaman pertandingan sebelum pandemi, merupakan metafora sekaligus reinkarnasi dari modernisasi sepakbola. Keharmonisan hiburan masyarakat luas dengan media yang menjadi tempat olahraga ini berkembang menjadi gambaran nyata bahwa kelompok suporter hanyalah menjadi komoditas dalam sepakbola. Kecintaan terhadap sepakbola modern bisa disebut artifisial, dalam arti, ia adalah produk dari mesin ekonomi yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Penulis: Rifqi Maulana

oyezahezagofe

http://slkjfdf.net/ – Osikila Aiiqaheya cva.exnc.prungtw.com.thb.wk http://slkjfdf.net/

afiwfiemire

http://slkjfdf.net/ – Evayokug Oxodequ dtz.clpl.prungtw.com.oim.ld http://slkjfdf.net/

ajolpidecozy

http://slkjfdf.net/ – Ebiuws Ievnxduj zud.jmpe.prungtw.com.wkj.rw http://slkjfdf.net/

ecwebef

http://slkjfdf.net/ – Etesaf Ixufeqgq mqk.igmk.prungtw.com.hbg.ip http://slkjfdf.net/

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.