Football Fanzine History

Football Fanzine History

Fanzine, atau yang biasa kita kenal dengan nama zine ini memang bukanlah sesuatu yang patut untuk diperhitungkan jika kita membandingkan dengan media massa umum lainnya. Namun rupanya belakangan ini media yang sering digunakan oleh berbagai kalangan hingga komunitas ini menjadi sesuatu yang banyak diproduksi hingga saat ini.

 

Fanzine memang tidak seperti majalah pada umumnya, khususnya magazine. Media massa satu ini cukup mudah untuk dikenali, mulai dari skala produksi, konten yang dimuat hingga penyebarannya yang tidak se-booming magazine seperti pada umumnya.

 

Tumbuh dan berkembang menjadi media alternatif menjadikan fanzine sebagai salah satu media yang cukup penting dalam menyuarakan aspirasi kaum minoritas. Ide dan karya yang dimuat dalam fanzine memang cukup identik dengan isu politik, budaya, musik dan isu sosial lainnya. Tapi tidak terbatas sampai disitu, sebagai media alternatif, fanzine pun membuka keleluasaan untuk siapapun yang ingin menulis dan menyampaikan apa yang ada dalam pikiran mereka. Demikian juga dengan suporter sepak bola di tahun 70-an hingga80-an. Mereka menggunakan fanzine untuk melakukan agenda yang mereka rencanakan. Lalu bagaimana kisah dibalik terbentuknya fanzine dan hubungannya dengan suporter sepak bola? simak ulasannya pada Prung webzine kali ini.

 

Sejarah Fanzine

Terminologi zine pada awalnya merupakan sebutan yang lebih singkat dari fanzine atau fan magazine. Singkatan dari fan magazine ini rupanya untuk membedakan zine dari majalah komersial, atau magazine. Jika magazine selalu memiliki hubungan dengan hal-hal berbau komoditi sementara fanzine berhubungan dengan hal-hal seperti informasi yang jarang ditemukan dalam magazine atau media massa lain pada umumnya.

 

Sebelumnya orang-orang menuliskan kata zine menggunakan apostrophe (’zine) untuk menunjukkan bahwa “fan” telah ditinggalkan, tetapi seiring berkembang zaman hal ini terus berevolusi menjadi sesuatu yang berbeda dari fanzine, apostrophe-nya dihilangkan dan hingga akhirnya hanya disebut “zine”.

 

Di awal kemunculannya, rupanya zine tidak berbicara tentang isu politik, budaya, ataupun musik, tetapi berisi konten tentang fiksi ilmiah. Zine lahir pertama kalinya di antara para penggemar fiksi ilmiah. Mereka adalah sekumpulan orang-orang yang memiliki kepandaian di atas rata-rata, namun kemampuan untuk bersosialisasinya sangatlah minim dan akhirnya mereka menemukan dunia fiksi ilmiah sebagai pelarian dari realita yang mereka benci.

 

Fanzine fiksi ilmiah pertama adalah The Comet, terbit pada tahun 1930, diterbitkan oleh the Science Correspondence Club di Chicago yang di editori oleh Raymond A. Palmer dan Walter Dennis. Hal ini kemudian mendorong lahirnya bentuk-bentuk zine baru dari komunitas fiksi ilmiah. Pada akhir tahun 1930-an, komunitas fiksi ilmiah mulai banyak melakukan banyak aktifitas seperti berdiskusi tentang komik. Hal ini juga yang akhirnya mendorong kelahiran zine komik pertama, The Comic Collector's News yang dibuat Malcolm Willits dan Jim Bradley, pada Oktober 1947. Gayung bersambut, pada awal tahun 1960-an muncul zine dengan isi yang sangat berbeda dari komunitas fiksi ilmiah yaitu zine film horror pertama yang dibuat oleh Tom Reamy, yaitu Trumpet (San Fransisco).

Pada awal kemunculannya, The Comet berusaha menyediakan ruang sebagai pers independen bagi para penggemar fiksi sains yang berkembang dengan sangat pesat pada tahun 1930 bersamaan dengan menjamurnya science fiction magazine saat itu. Pada saat itu pula, zine dianggap sebagai media independen dan selama perkembangannya, media alternatif ini dianggap sebagai media yang radikal, underground dan subversif.

 

Pada pertengahan 1960-an, para penggemar fiksi ilmiah dan komik yang menjadi pemantik lahirnya zine menemukan ketertarikan yang sama, yaitu pada musik rock. Pada saat itu juga  lahir zine musik rock seperti Crawdaddy pada 1966 yang dieditori oleh Paul William dari California. Pada tahun yang sama juga muncul zine Mojo Navigator yang dieditori oleh Greg Shaw, yang pada tahun 1970 dia juga membuat zine Who Put The Bomp? yang menjadi cikal bakal zine musik hampir di seluruh belahan dunia lainnya.

Pada tahun 1970 terjadi perubahan besar dalam dunia zine. Perubahan besar tersebut diakibatkan oleh kemajuan teknologi yang menciptakan inovasi baru, yaitu mesin fotokopi. Pada awal kemunculannya, zine sendiri melabeli diri dengan istilah penerbitan yang independent. Namun sebenarnya zine sendiri bersifat dependen, para zine maker masih tergantung pada mesin cetak yang masih terbatas pada saat itu. Mesin cetak yang biasa mereka gunakan harganya cukup mahal dan memakan banyak waktu. Namun setelah hadirnya mesin fotokopi, pembuatan dan penggandaan zine menjadi lebih mudah, cepat dan rapi hingga pembuatan zine sendiri menjadi lebih mudah dan yang pasti lebih hemat dari sebelumnya.

 

Selain dari terciptanya mesin fotokopi, perubahan dalam dunia zine juga adalah ketika munculnya subkultur punk, dimana subkultur ini turut mengembangkan banyak hal kepada dunia fanzine. Pola pikir dan sikap yang di usung oleh subkultur ini jelas sangat amat mempengaruhi dalam perkembangan dunia zine, seperti etos D.I.Y/Do It Yourself yang lebih menekankan pada sikap semangat kemandirian dan kerjasama, sehingga membuat para zine maker semakin membara pada era tersebut.

 

Football Fanzine

Setelah berhasil menjadi media alternatif bagi penggemar fiksi ilmiah dan dunia musik, zine semakin tak terbantahkan dan dengan gemilang menjalankan perannya sebagai media alternatif bagi berbagai komunitas. Sejak awal kemunculannya, zine memang tidak melulu berbicara tentang apa yang khalayak luas bicarakan, sisi lain dari beragam perspektif dan sisi sensitif dari berbagai hal menjadi suatu nilai yang tak terbantahkan, begitu pula dengan peran suporter sepak bola yang mencoba mengkritisi tim yang mereka banggakan.

 

Subkultur punk memang menjadi salah satu subkultur yang turut memberikan perubahan besar dalam dunia zine. Etos kerja, pola pikir dan ketidak pedulian akan norma menjadi pemantik bagi keberlangsungan zine hingga detik ini. Setelah menjamurnya subkultur ini ke berbagai belahan dunia, rupanya zine juga turut mengambil andil dalam perjalanan panjangnya.

 

Namun, jauh sebelum era kemajuan fanzine di tahun 70-an, suporter dari klub asal kota London, Inggris sudah memulai produksi fanzine pertama mereka. Zine tersebut adalah Hammerscope, fanzine yang dipublikasikan untuk seluruh pendukung West Ham United. Edisi pertama zine Hammerscope ini terbit pada bulan Agustus tahun 1954. Meskipun pada cover fanzine ini tertuliskan “The Official Magazine of The West Ham UTD. Supporters Club” jika melihat format dan harga jual yang meliputi sisi produksi pada zine ini, banyak kalangan melabeli Hammerscope sebagai fanzine pertama yang membahas tentang sepak bola dan dunia suporternya.

Tidak hanya di Inggris, sekelompok suporter Skotlandia pun pada 18 Januari tahun 1963 membuat fanzine dengan nama The Shamrock. Fanzine yang diyakini sebagai salah satu fanzine tertua asal Skotlandia ini berfokus pada mengkritisi beberapa masalah yang ada dalam tubuh Celtic F.C.

 

The Shamrock sendiri diterbitkan oleh Shamrock Celtic Supporters Club di Edinburgh secara tidak resmi dan dijual di luar stadion di dekat Celtic Park. Fanzine ini menjadi salah satu fanzine underground dan mengambil sikap anti-dewan dan cukup fanatik dalam mengutuk ketidakadilan yang dirasakan oleh Celtic di tangan SFA. Tidak hanya itu, fanzine ini juga melakukan hal yang sama pada rival Celtic F.C. yaitu Rangers F.C.

 

The Shamrock juga mencerminkan rasa frustrasi yang dirasakan oleh para pendukung Celtic F.C. saat gagal mengangkat trofi sejak mengalahkan Rangers di final Piala Liga 7-1 tahun 1957. Salah satu sumber kejengkelan pada saat itu adalah 'Youth Policy' yang dirasa sangat merugikan pemain Celtic.  

Rupanya zine yang diprakarsai oleh sekelompok suporter Celtic ini berhasil menjadi pemantik bagi suporter Celtic lainnya yang mencoba melakukan bentuk protes dan propaganda dalam bentuk teks. Beberapa zine seperti The Celt, Not the View, The Alternative View dan More Than 90 Miutes melakukan hal yang sama atas dasar kekecewaan mereka terhadap Celtic F.C.

 

Kembali ke Inggris. Sebagian besar klub sepak bola di liga Inggris memiliki satu atau lebih fanzine yang sangat berani, menentang, dan menjadi budaya saingan dari majalah resmi yang dikelola oleh klub hingga surat kabar yang biasanya dijual pada saat pertandingan.

 

Kritik yang dilakukan oleh para suporter ini tidak terbatas hanya pada tim yang mereka bela. Keputusan yang diberlakukan oleh masa pemerintahan Margaret Thatcher yang memperlakukan suporter sepak bola dengan cara menganggap mereka sebagai bagian dari musuh yang merusak citra Inggris.

 

Tanggapan penggemar terhadap demonisasi ini datang pada awal tahun 1986 dalam bentuk fanzine yang penuh dengan konten akar rumput. Mereka dengan mencetak zine di rumah atau di luar jam kerja dengan mesin fotokopi kantor. Zine seperti Off the Ball dan When Saturday Comes menjadi zine terdepan dalam menanggapi isu-isu tersebut. Para penggemar yang tidak puas dan merasa lelah digambarkan sebagai perusuh dan bertahan dalam kondisi pertandingan yang berbahaya mencoba mengumpulkan orang lain untuk berorganisasi dan bersatu, mengesampingkan perbedaan suku dan berbagi pengalaman yang sama.

Margaret Thatcher adalah Perdana Menteri yang melakukan penangkapan terhadap para pendukung sepak bola dengan cara yang brutal. Pemerintahan dibawah kepemimpinan Margaret Thatcher telah menghabiskan beberapa tahun sebelumnya dan mencoba memaksa para suporter sepak bola untuk mengadopsi kartu identitas sambil menjelek-jelekkannya di parlemen dan pers.

 

Fanzine secara inheren bersifat politis, Dengan akar yang didominasi kelas pekerja, fanzine adalah bentuk pemberontakan DIY yang melawan lingkungan yang tidak bersahabat bagi penggemar sepak bola. Latar belakang transaksi yang cerdik dan kepentingan keuangan yang tidak jelas juga menjadi salah satu hal yang selalu mereka kritisi. Mereka juga memberikan bentuk kebebasan berekspresi yang sangat jauh berbeda dari majalah resmi yang dikelola oleh klub yang masih berkecimpung dari hal-hal yang syarat akan sensor hingga yang sengaja dibuat tanpa tujuan.

 

Dari hanya segelintir yang ada pada tahun 1986, fenomena ini menyebar dengan cepat, dengan lebih dari 300 fanzine yang ada pada tahun 1989. Hampir setiap klub di Inggris memilikinya. Mereka adalah suporter yang bersatu untuk pertama kalinya. Mereka bukan firm yang menggelar pertarungan sengit, bukan Front Nasional yang mengambil alih tribun sepak bola, tetapi pendukung sepak bola biasa yang berbicara menentang jalannya pertandingan dan gerakan bawah tanah lahir.

 

Tak lama kemudian, fanzine telah menjadi subkultur besar, belum lagi gerakan kampanye yang memperjuangkan tujuan populer. Selain daripada itu, ada juga keinginan untuk melawan stereotip dan menunjukkan bahwa penggemar sepak bola bukanlah orang yang tidak diinginkan, seperti apa yang dikatakan oleh Margaret Thathcher pada khalayak luas.

Revolusi digital tentu saja merupakan suatu ancaman pasti bagi fanzine, terutama mereka yang telah berjuang untuk menjauh dari jenis opini reaktif yang sekarang dapat diproduksi jauh lebih cepat dan yang lebih penting, gratis dan tersedia di forum sosial media, YouTube, Twitter dan sosial media lainnya. Fanzine adalah bentuk cinta untuk klub di atas kertas. Mereka mencerminkan kebersamaan, obsesi, detail kecil, semangat yang memberi nilai pada sebuah pertandingan.

 

Jika sepak bola di era modern semakin menggila dengan tingkah yang semakin memuakan, di mana suporter masih sering menjadi target pasar dan suaranya seringkali diabaikan, maka nilai-nilai yang diciptakan oleh gerakan fanzine harus menjadi intinya, semua tertulis tak pernah mati.

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.