Kebencian Warga Liverpool Terhadap Inggris

Kebencian Warga Liverpool Terhadap Inggris

Inggris, memang menjadi salah satu negara yang memiliki identitas dan sejarah mengenai sepak bola yang sangat kuat dengan negara satu ini. Sebagai negara yang memperluas penyebaran dalam dunia sepak bola modern, rupanya kita tidak dapat memisahkan antara sepak bola modern dengan negara yang menjadi cikal bakal sepak bola di seluruh dunia. Menjadi negara yang kaya akan nilai sejarah mengenai sepak bola, sudah dapat dipastikan Inggris memiliki prestasi yang berujung pada fanatisme yang sangat tinggi dalam dunia sepak bola.

 

Jika kita berbicara tentang Inggris, rupanya Liverpool tidak dapat dipisahkan dengan sejarah negara ini. Liverpool adalah sebuah kota dan distrik metropolitan di Merseyside, Inggris. Liverpool terletak di sebelah tebing timur Muara Sungai Mersey di bagian barat laut Inggris.

 

Liverpool dibangun di kawasan berbukit rendah, dengan kawasan Bukit Everton setinggi 70 meter sebagai kawasan tertinggi. Kawasan perkotaan Liverpool memanjang sampai ke Bootle and Crosby dalam daerah Sefton di sebelah utara, dan sampai ke kawasan Huyton dan prescot dalam daerah Knowsley dis ebelah Timur. Liverpool menghadap Wallasey dan Birkenhead di seberang Sungai Mersey di sebelah Barat. Pusat kota Liverpool terletak sekitar 8 kilometer dari Teluk Liverpool dan Laut Irlandia.

 

Pada akhir abad ke-19, Liverpool mengklaim bahwa kota ini sebagai "Second Port of the Empire" (Pelabuhan Kedua Kerajaan Britania) karena pelabuhan yang ada di kota ini mengendalikan jumlah kargo paling banyak kedua setelah London. Liverpool juga menjadi pusat perindustrian, tetapi pada abad ke-20, Liverpool kehilangan dasar perindustriannya dan perekonomiannya yang merosot. Liverpool terkenal sebagai pusat budaya, khususnya segala rupa yang berkaitan dengan musik pop, dimana kota Liverpool menjadi tempat lahirnya The Beatles, Cilla Black dan Gerry and The Pacemakers. Pada tahun 2008, Liverpool memegang gelar "European Capital of Culture" (Ibu kota Budaya Eropa). Lagu milik Gerry and The Pacemakers yang berjudul 'You'll Never Walk Alone' menjadi lagu yang paling terkenal di ranah publik Liverpool, khususnya bagi para Kopites, lagu ini juga menjadi anthem klub sepak bola Liverpool F.C.

 

Dalam sejarah sepak bolanya, penggemar asal kota ini terbelah menjadi dua sisi merah dan biru, yakni pendukung Liverpool F.C (dijuluki Kopites) dan Everton F.C (dijuluki Evertonians). Namun rupanya Liverpool F.C memiliki kelompok suporter fanatik yang identik dengan kenakalan dan ciri khas nya tersendiri menjadikan mereka lebih menarik untuk diperbincangkan.

Sepak bola sudah lama menjadi suatu entitas bagi warga Liverpool. Animo dan rasa cinta terhadap klub sepak bola lokal menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi mayoritas warga kota pelabuhan ini. Sejak abad ke-19, Liverpool F.C sudah menjadi tim yang cukup digilai oleh warga Merseyside.

 

Para pendukung Liverpool F.C ini memang sudah sejak lama dikenal dengan fanatisme dan kenakalannya. Namun, selain daripada itu, mereka juga menjadikan sepak bola sebagai media bentuk perlawanan mereka, mengingat Liverpool adalah kota pelabuhan yang banyak kedatangan imigran dari berbagai negara di penjuru belahan dunia. Perlawanan yang sangat nyata terjadi ketika mereka melakukan teriakan “Boo” ketika lagu kebangsaan Inggris “God Save The Queen” bergemuruh di stadion dan hal yang dirasa paling mengejutkan adalah ketika mereka dengan gamblang melabeli bahwa mereka bukanlah bagian dari Inggris, dengan bentangan bendera disisi lapangan yang bertuliskan “We’re Not English, We Are Scouse”

 

Kebencian Warga Liverpool Terhadap Inggris

Menjadi kota yang memiliki pelabuhan terbesar kedua setelah London, Liverpool menjadi kota yang sering kedatangan banyak imigran dari berbagai negara, dan tidak sedikit dari mereka yang akhirnya tinggal di Liverpool. Hal ini sudah jelas dapat menggambarkan bahwa Liverpool menjadi kota yang multikulturalisme dengan berbagai budaya yang berada didalamnya. Imigran, para pekerja pelabuhan dan aneka ragam budaya menjadi suatu entitas yang mewarnai kota Liverpool.

 

Hal ini jelas mempengaruhi pada sudut pandang politik sebagian besar warga yang tinggal di kota ini. Liverpool menjad kota yang berbeda dengan kota-kota di Inggris lainnya. Saat kota lain dengan mudah dikontrol dan memilih tunduk terhadap rezim, Liverpool jelas tidak dapat diperlakukan seperti kota lain. Liverpool secara terbuka menerima seluruh pendatang yang ingin hidup di kota pelabuhan. Berbagai kebudayaan dari beberapa warga negara pun menjadi satu di kota itu. Alhasil, eksistensi dan rasa percaya pada kerajaan tidak begitu menjadi sesuatu yang berharga di Liverpool.

 

Dalam aspek politik, pandangan ini kemudian memberikan pengaruh yang amat besar, sejak 1979, dalam setiap pemilihan, Liverpool mantap memilih Partai Buruh sayap kiri. Sementara itu, sebagian besar kota di Inggris mengarah ke kanan. Dari sana, Liverpool pun akhirnya "dikucilkan" di Inggris. Mereka dianggap kota yang tidak menghargai sang ratu oleh kota-kota Inggris lainnya, sering mendapat perlakuan tak adil dari pemerintah, hingga dianggap musuh besar orang-orang konservatif. Soal perlakuan buruk pemerintah Inggris terhadap Liverpool, kebijakan Margareth Thatcher, Perdana Menteri Inggris pada era 80-an, bisa menjadi contoh.

 

Sebagian besar perasaan warga Liverpool di tanah Inggris berasal dari perlakuan pemerintah yang Konservatif sejak beberapa dekade yang lalu. Hal ini terjadi karena mereka tidak pernah benar-benar merasakan dukungan dari pemerintah yang sontak menjadikan orang-orang Liverpool jarang mengakui diri mereka sebagai orang Inggris dan lebih senang mengakui diri mereka sebagai entitas Scouse. Pemerintahan perdana menteri Konservatif Margaret Thatcher di era 80-an menjadi pemicu karena dia dan partainya acuh tak acuh terhadap penurunan industri Merseyside.

 

Apa yang dilakukan oleh Margaret Thatcher menyebabkan pengangguran dan kemiskinan yang parah di dalam kota, dengan sebagian besar pemerintah tidak mau membantu, dan bahkan memotong layanan publiknya.

 

Liverpool telah menjadi kota terpenting dalam Perang Dunia II, tetapi setelah perang berakhir, Liverpool mengalami kesulitan ekonomi karena perdagangan di pelabuhan mereka yang pernah mendominasi industri telah melambat.

 

Pada tahun 1980-an, Dewan Kota Liverpool berperang dengan pemerintah konservatif Margaret Thatcher, menetapkan apa yang dianggap sebagai anggaran 'ilegal' pada tahun 1985 sebagai tanggapan atas pemotongan anggaran yang mengancam kehancuran kota, kebencian warga kota Liverpool semakin memuncak ketika Margaret Thatcher menyampaikan pendapatnya dengan slogan “lebih baik melanggar hukum, daripada melanggar orang miskin.”

 

Pada tahun 1970-an, sebelum pemerintahan Margaret Thatcher, bukanlah hal yang aneh ketika bendera union jack berkibar di ujung kota Liverpool. Naiknya Thatcher ke tampuk kekuasaan menyebabkan jatuhnya kebanggaan nasional di antara orang-orang Liverpool. Beberapa tragedy yang menyebabkan pengeluaran negara yang dipangkas, pekerjaan hilang dan kerusuhan terjadi.

 

Liverpool menjadi salah satu kota yang mendapatkan dampak terbesar, jika bukan yang terbesar, pelabuhan perdagangan yang mempekerjakan puluhan ribu orang. Pada tahun 1982 dermaga ditutup, setahun setelah salah satu pabrik terbesar di kota Liverpool, Tate dan Lyle ditutup. Tingkat pengangguran tinggi dan kota dilanda kemiskinan.

Dalam surat-surat yang dipublikasikan dalam beberapa tahun terakhir, terungkap bahwa Margaret Thatcher berencana untuk menempatkan Liverpool ke dalam periode "penurunan terkelola" setelah kerusuhan Toxteth pada tahun 1981, dengan berbagai alasan Perdana Menteri Inggris tersebut melakukan tindakan untuk tidak membuang uang publik untuk " tanah berbatu” di Merseyside.

 

Tidak berakhir sampai di situ, kebijakan Margaret Thatcher soal Tradegi Heysel dan Tragedi Hillsborough, menjadi pemantik amarah warga Liverpool. Terkait Tragedi Hillsborough, Thatcher tidak pernah sekalipun melakukan menginvestigasi atas kejadian tersebut, tapi malah berpandangan itu tak akan pernah terjadi seandainya para pendukung Liverpool tidak bertingkah barbar.

 

Gayung bersambut, setelah melakukan beberapa upaya, pendukung Liverpool akhirnya mampu membuktikan mereka hanyalah korban dari tragedi yang menjatuhkan banyak korban itu. Beberapa dekade selepas Thatcher lengser, label Liverpool sebagai musuh besar orang-orang konservatif kembali panas setelah Boris Johnson terpilih menjadi Perdana Menteri Inggris pada bulan Juli 2019. Para pendukung Liverpool memiliki track record yang cukup panjang mengenai permusuhan dengan Perdana Menteri baru Inggris itu. Pada tahun 2004, Johnson sempat melabeli Liverpool sebagai "kota nelangsa" dan menyebut orang-orang Liverpool selalu "berkubang dengan status mereka sebagai korban" dalam sebuah tulisannya di The Spectator.

Pada saat itu, Liverpool langsung menuntut permintaan maaf, tetapi Johnson menolak. Namun yang menjadi pertanyaan besar disini adalah, mengapa dari permusuhan panjang Liverpool dengan pemerintah Inggris ini, lagu God Save The Queen yang menjadi objek kebencian? Alasannya sangat menarik, dalam lagu tersebut terdapat penggalan lirik yang berbunyi: "God save our gracious Queen, long live our noble Queen/send her victorious, happy and glorious, long to reign over us." Dan penggalan lirik tersebut dirasa tidak relevan bagi warga Liverpool yang sudah jelas merasa sangat amat dirugikan.

 

Selama beberapa dekade, aksen scouse (aksen warga Liverpool), dan sikap serta perilaku yang dirasakan orang-orang dari Liverpool, telah mendapatkan ejekan di televisi dan di media secara dalam kurun waktu yang sangat panjang, ejekan ini seringkali dilakukan oleh berpendidikan yang berasal dari selatan Inggris. Ejekan ini jelas semakin mendorong irisan di antara keduanya. Hal ini memperkuat gagasan bahwa ada kita dan ada mereka, bahkan garis di antara keduanya tidak akan pernah terhindarkan. Ini memperkuat gagasan bahwa Scousers dan orang Inggris berbeda.

 

Bagi mayoritas warga Liverpool, Inggris tidak memperlakukan kota mereka dengan semestinya. Bahkan tidak sedikit mereka memiliki anggapan “mengapa kita harus mengangkat union jack tinggi-tinggi, yang berada di atas Downing Street, ketika negara ini tidak mewakili kepentingan kita atau mengambil kepentingan dalam kesejahteraan kita.”

 

Sebuah bendera bertuliskan “We’re Not English, We Are Scouse” sering terlihat di Anfield, dan itu mungkin yang terbaik untuk melambangkan bentuk perjuangan yang dirasakan penduduk asli Liverpool sehubungan dengan patriotisme dan nasionalisme. Secara geografis, historis, politik, budaya, dan sosial, Liverpool terlalu berbeda dari Inggris untuk benar-benar mendukung tujuan yang sama.

Sebagai kota, Liverpool telah berubah secara drastis sejak tahun 1980-an, namun mereka masih mempertahankan statusnya sebagai pusat olahraga dan budaya yang sangat penting, tetapi pengabaian dan kebencian warganya terhadap pemerintah yang tidak pernah mendukung mereka masih tetap ada hingga saat ini.

 

Tidak jarang mendengar orang mengatakan bahwa sepak bola harus dijauhkan dari politik, tetapi itu adalah pandangan yang naif secara ekstrem. Sepak bola pada dasarnya bersifat politis dan selalu begitu.

 

Sebagian orang dapat mengatakan bahwa sepak bola dan politik tidak boleh bercampur, tetapi kenyataan sederhananya adalah bahwa hal itu terjadi dan menjadi “We’re Not English, We Are Scouse” adalah untuk membalikkan gagasan isolasionisme dan merangkul budaya dan cara hidup lain. Itulah Liverpudlians, Scousers. Saat suporter Inggris bernyanyi bahwa mereka membenci Scousers, tidak heran jika pendukung Liverpool tidak peduli dengan tim nasional.

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.