Skip to main content

Primal Scream: Dari Rave ke Revolusi, Dari Glasgow ke Palestina

Primal Scream: Dari Rave ke Revolusi, Dari Glasgow ke Palestina

 

Di penghujung dekade 80-an, Britania Raya berdiri di atas reruntuhan sosial. Margaret Thatcher baru saja meninggalkan bekas luka yang dalam: industri hancur, kelas pekerja dihabisi, dan kota-kota besar terjebak dalam alienasi. Di satu sisi, muncul gelombang budaya baru: rave culture, ecstasy, acid house, dan generasi muda yang menemukan pelarian di warehouse parties gelap, diiringi dentuman beat sepanjang malam.

 

 

Di tengah kegaduhan itu, muncul sebuah band bernama Primal Scream. Awalnya mereka hanyalah band kecil, anak-anak rock yang doyan The Rolling Stones dan MC5, tapi kemudian berevolusi jadi sesuatu yang lebih liar. Mereka tidak puas hanya jadi rock band. Mereka ingin jadi detonator. Mereka ingin jadi suara generasi yang muak tapi masih mau menari.

 

 

Ketika kita bicara tentang band yang paling liar, penuh gairah, dan selalu punya denyut politik dalam setiap nadanya, nama Primal Scream tak bisa dilewatkan. Mereka bukan sekadar band yang pernah bersinar di akhir 80-an dan 90-an, bukan pula sekadar kelompok yang melahirkan Screamadelica, salah satu album paling berpengaruh sepanjang sejarah musik. Lebih dari itu, Primal Scream adalah representasi tentang bagaimana musik bisa menjadi ruang euforia sekaligus arena perlawanan, sebuah eksperimen yang terus menolak jinak.

 

 

Primal Scream bukan sekadar band. Mereka adalah riuh jalanan, amarah kelas pekerja, dentuman rave yang menyatu dengan gairah ala Rolling Stones, dan manifestasi politik yang keras kepala. Kalau Oasis jadi soundtrack ambisi working class untuk naik kelas, maka Primal Scream adalah suara mereka yang memilih melawan sistem itu sendiri. Mereka adalah wajah lain dari kelompok musik yang mencuat di era 90-an: bukan sekadar ingin terkenal, tapi ingin mengutak-atik fondasi sosial dan politik dengan musik.

 

 

Mereka adalah letupan, sebuah dentuman dari era rave yang bertabrakan dengan roh punk. Kalau Britpop sibuk berkompetisi siapa yang lebih cool antara Blur dan Oasis, Bobby Gillespie dan kawan-kawan justru sibuk menyalakan api. Dari Screamadelica (1991) yang jadi gospel untuk pecandu kebebasan, sampai XTRMNTR (2000) yang berisik dan politis, mereka selalu berdiri di satu sisi: melawan ketidakadilan. Primal Scream tidak cuma bikin kita menari, tapi juga bikin kita marah, sadar, dan bergerak.

 

 

Primal Scream adalah paradoks yang berjalan: di satu sisi glamor rockstar dengan leather jacket, di sisi lain agitator yang marah terhadap sistem. Musik mereka adalah ekstasi dan amarah, rave dan revolusi. Dari klub gelap di Manchester hingga ke jalanan protes anti-perang Irak, dari dancefloor ke Palestina.

 

 

Awal Mula: Glasgow, Thatcher, dan Screamadelica

 

 

Glasgow, awal 1980-an. Britannia Raya dan Inggris sedang dihantam kebijakan neoliberalisme Margaret Thatcher. Industri tutup, pengangguran merajalela, kelas pekerja semakin ditekan. Tapi di kota-kota industri itulah, justru lahir suara bising yang menolak tunduk. Punk sudah memberi fondasi; Do It Yourself, musik sebagai senjata. Dari sisa-sisa punk inilah Bobby Gillespie, seorang pemuda Skotlandia yang tumbuh dalam pusaran punk dan post-punk Glasgow yang membentuk Primal Scream.

 

 

Awalnya mereka terdengar seperti band indie jangly ala The Jesus and Mary Chain (Gillespie sendiri pernah main drum di sana). Lagu-lagu awal Primal Scream lebih dekat ke pop-psychedelia ketimbang politik. Tapi Glasgow membentuk mereka. Kota dengan luka sosial, kota yang penuh ketegangan, kota di mana musik bukan sekadar hobi tapi cara bertahan hidup. Di sinilah lahir semangat: musik harus bicara lebih dari cinta-cintaan.

 

 

Di awal karier, mereka masih berkutat pada rock ’n’ roll mentah yang dipengaruhi The Stooges, Rolling Stones, dan MC5. Namun, sesuatu berubah ketika mereka bersentuhan dengan budaya rave, acid house, dan semangat eklektik akhir 80-an.

 

 

Hasilnya adalah Screamadelica (1991), sebuah karya lintas batas yang menggabungkan rock, gospel, dub, dan house music. Album ini bukan hanya mengubah arah Primal Scream, tetapi juga menjadi simbol generasi baru: generasi yang menemukan ekstasi di dancefloor, di warehouse parties, dan di festival-festival penuh peluh. Screamadelica seperti sebuah kitab suci: transendental sekaligus politis, sebuah ajakan untuk menari sambil bermimpi tentang dunia yang lebih bebas. Album ini bukan sekadar rekaman, tapi sebuah peristiwa budaya. Cover-nya yang menggambarkan lukisan psychedelic berwarna merah, kuning, biru, menjadi jadi simbol era.

 

 

Saat Inggris dilanda ledakan acid house dan rave culture, Gillespie dan kawan-kawan menolak memilih antara gitar atau turntable. “Come Together”, “Loaded”, “Movin’ On Up”: lagu-lagu yang terdengar seperti gospel yang diinfus LSD. Mereka mencampur acid house, gospel, rock ‘n’ roll, dan soul menjadi sebuah manifesto: musik bisa jadi ekstasi kolektif.

 

 

Di masa ketika Inggris sedang depresi, Screamadelica menawarkan utopia. Menari bukan sekadar pelarian, tapi bentuk perlawanan. Euforia di lantai dansa adalah cara anak-anak muda pada saat kehancuran. Namun, album ini bukan cuma anthem pesta. Itu adalah suara kebebasan kolektif, ruang di mana kelas pekerja bisa melupakan pajak, polisi, Thatcherisme, dan menari sampai pagi. Come Together jelas-jelas mengumandangkan semangat komunitas. Movin’ On Up adalah kebangkitan spiritual sekaligus sosial.

 

 

Bagi banyak orang, Screamadelica adalah injil rave. Sebuah ajakan untuk menemukan kebahagiaan dalam kebersamaan. Dan dari sinilah Primal Scream menemukan suara sejatinya: bukan sekadar band, tapi ritual, liturgi, bahkan sekte kecil perlawanan.

 

 

Album Screamadelica rupanya menjadi tonggak besar. Sebuah ledakan sonik yang mengawinkan house, dub, gospel, dan rock menjadi pengalaman psikedelik. Namun di balik pesta suara itu, Primal Scream juga selalu menempatkan diri di ranah kultural yang resisten. Mereka menolak tunduk pada logika industri musik yang melulu bicara angka penjualan. Musik bagi Primal Scream adalah medium pembebasan, ruang di mana komunitas bisa bernapas.

 

 

Banyak orang bilang Screamadelica adalah “soundtrack of the rave generation.” Tapi lebih dari itu, album ini adalah semacam kitab alternatif: menunjukkan bahwa musik bisa menyatukan orang, bisa menciptakan ruang perlawanan yang meski sementara, tetap berbahaya bagi status quo.

 

 

Bobby Gillespie dan Mantra Politik

 

Di balik hedonisme dan euforia yang mereka suarakan, Primal Scream selalu membawa lapisan politik. Dengarkan "Loaded", anthem klasik mereka. Di balik sampling suara “we wanna be free, to do what we wanna do,” ada pesan tentang pembebasan diri dari sistem yang mengekang. 

 

 

Beralih ke era 2000-an, Primal Scream merilis "Swastika Eyes", sebuah single brutal yang menyerang fasisme, militerisme, dan hegemoni politik global. Lagu ini terdengar seperti bom sonik, keras, repetitif, dan penuh kemarahan. Gillespie sendiri menyebut lagu itu sebagai “perlawanan terhadap kekuasaan yang busuk.”

 

 

Dan puncaknya adalah XTRMNTR (2000). Inilah album paling politis, paling bengis, dan paling brutal dari Primal Scream. Dari judulnya saja sudah jelas: Exterminator.

 

 

Lirik “Kill All Hippies” membuka album dengan tamparan: “You got the money, I got the soul / Can’t be bought, can’t be owned.” Kemudian “Swastika Eyes” meledak dengan beat industrial, menghantam neoliberalisme, fasisme, dan politik perang. “Shoot Speed/Kill Light” jadi anthem kebingungan era digital awal milenium. Album ini adalah manifestasi amarah. Musik rave berubah jadi peluru. Distorsi jadi granat. Bass jadi agitasi. Tidak ada lagi utopia rave, yang ada hanya realitas pahit: kapitalisme, perang, neoliberalisme.

 

 

Di sinilah Primal Scream menunjukkan wajah aslinya: mereka bukan sekadar entertainer, tapi agitator. Musik mereka berdiri di antara dua dunia, di klub malam dan di jalanan, di festival musik dan di barisan demonstrasi.

 

 

Sosok Bobby Gillespie adalah pusat gravitasi Primal Scream. Rambut gondrong, suara serak, sikap flamboyan, ia punya semua atribut rock star klasik. Tapi Gillespie lebih dari sekadar itu. Ia seorang pengagum Che Guevara, seorang pembaca rajin buku-buku politik, dan seorang figur yang tak pernah takut menyuarakan sikap.

 

 

Di banyak wawancara, Gillespie sering berbicara tentang kapitalisme yang korup, tentang bagaimana musik mainstream dikomodifikasi, dan bagaimana masyarakat harus melawan. Ia pernah berkata bahwa rock ’n’ roll adalah “musik untuk orang-orang yang ditindas, bukan untuk menghibur kekuasaan.” Itulah mengapa Primal Scream selalu sulit dipisahkan dari politik, meskipun banyak label dan media musik mencoba menekankan sisi “hedonistik” mereka saja.

 

 

Gillespie adalah figur langka di musik Britania Raya. Dia bisa berdiri di Glastonbury dengan aura yang begitu mencolok, lalu malamnya masih berantakan di pub. Dia bisa menulis lirik anti-kapitalis, tapi tetap punya aura rock star. Tapi, justru kontradiksi itu yang membuatnya relevan. Dia bukan politisi. Dia bukan akademisi. Dia adalah anak working class Glasgow yang marah, yang percaya bahwa musik bisa jadi senjata. Dan di panggung, dia seperti orator demo. Suaranya mungkin tidak sempurna, tapi karismanya membakar.

 

 

Bobby tidak pernah jinak. Di era Thatcher, amarahnya meledak. Di era Tony Blair yang sok progresif tapi ikut menjual Inggris ke perang Irak, amarah itu semakin dalam. XTRMNTR adalah bukti: album yang penuh distortion, sample, dan teriakan anti-kemapanan. Saat banyak band Inggris memilih aman, Primal Scream memilih jalur penuh konflik.

 

 

Solidaritas Global: Dari Irak ke Palestina

 

 

Primal Scream tidak hanya bicara tentang Britania Raya dan Glasgow. Mereka bicara tentang dunia. Di awal 2000-an, mereka jadi salah satu band paling vokal menentang invasi Irak. Mereka mengecam Blair dan Bush. Mereka menolak festival yang didanai korporasi perang.

 

 

Dan sikap itu berlanjut ke Palestina. Bobby Gillespie dengan lantang berdiri bersama rakyat Palestina. Di beberapa konser, mereka memasang bendera Palestina besar di backdrop panggung. Mereka menolak bermain di acara yang disponsori perusahaan Israel. Bagi Gillespie, Palestina bukan isu jauh. Palestina adalah simbol universal: rakyat yang ditindas, tanah yang dijajah, perlawanan yang tidak pernah padam. Sama seperti pekerja tambang di Skotlandia, sama seperti komunitas kelas pekerja yang dihancurkan Thatcher, Palestina adalah wajah paling telanjang dari ketidakadilan global. Bagi dia, rock ‘n’ roll tanpa keberpihakan hanyalah gimmick.

 

 

“Fascism is on the rise again worldwide - we oppose it in all its forms. Alt-Right ? Brothers , sisters , we don’t need that fascist groove thang !” kata Gillespie. Solidaritas global adalah syarat mutlak. Dan di titik ini, Primal Scream bukan lagi band rave atau rock ‘n’ roll, mereka adalah corong agitasi lintas batas.

 

 

Selain itu, konser mereka sering terasa lebih mirip rapat akbar. Di tengah beat dan strobe light, Gillespie bisa saja tiba-tiba bicara tentang perang, rasisme, atau Palestina. Bagi sebagian orang, ini mungkin mengganggu. Tapi bagi penggemar yang mengenal karakter Bobby Gillespie, inilah yang membuat Primal Scream berbeda.

 

 

 

Di panggung, mereka sering mengibarkan solidaritas Palestina, menolak normalisasi, menolak festival yang dibiayai perusahaan kotor atau rezim represif. Dalam lanskap musik Britania Raya yang sering takut kehilangan sponsor, sikap ini jelas bukan hal kecil.

 

 

Salah satu sikap politik yang paling tegas ia tunjukkan adalah solidaritasnya terhadap perjuangan rakyat Palestina. Gillespie kerap mengkritik keras normalisasi Israel lewat musik pop dan industri hiburan global. Ia tidak segan menyebut artis-artis besar yang mau tampil di Israel sebagai “alat normalisasi” terhadap penindasan. Dalam sebuah wawancara ia mengatakan:

 

“Madonna would do anything for money, you know, she’s a total prostitute. And I’ve got nothing against prostitutes. The whole thing is set up to normalise the state of Israel, and its disgraceful treatment of the Palestinian people. By going to perform in Israel what you do is you normalise that.”

 

 

Gillespie juga menolak logika industri musik yang seakan buta terhadap politik. Baginya, bermain musik di Israel sama saja dengan menyetujui pendudukan dan genosida. Ia bahkan menyebut bahwa perlawanan Palestina memiliki resonansi sejarah dengan perjuangan rakyat Irlandia:

 

“The Irish and Palestinians have got a shared history of being occupied by settler-colonialists.”

 

 

Konsistensi ini membuat Gillespie tidak hanya sekadar musisi, tapi juga suara lantang yang menyuarakan ketidakadilan. Ketika dunia enggan menyebut apa yang terjadi di Gaza sebagai genosida, ia dengan berani menyatakannya:

 

“They have huge armies, they own the media, they’ve got a powerful state. … We’re seeing that in Gaza with this genocide and ethnic cleansing.”

 

 

Sikapnya ini menegaskan bahwa Primal Scream adalah sebuah band yang lahir dari perlawanan kultural, mereka tak pernah benar-benar lepas dari sikap politik. Justru di momen-momen genting seperti Palestina, suara Gillespie dan Primal Scream menjadi relevan: musik sebagai medium solidaritas, sebagai megafon untuk perjuangan rakyat tertindas.

 

 

Gillespie bukan tipe rockstar yang cuma ngoceh di backstage. Dia turun ke jalan, ikut aksi demo, menulis statement, bahkan melibatkan Primal Scream di kampanye politik progresif. Palestina adalah salah satunya, tapi mereka juga konsisten menyuarakan anti-perang, anti-kapitalisme, anti-fasisme. Kalau banyak band lebih sibuk menjaga brand, Primal Scream justru merusak brand itu, mereka tahu musik harus kotor kalau ingin jujur.

 

 

Scream If You Want to Be Free

 

 

Primal Scream adalah kontradiksi yang indah: hedonis sekaligus militan, psychedelic sekaligus politis, penuh cinta sekaligus penuh amarah. Dari Screamadelica hingga Swastika Eyes, dari dancefloor ke jalanan protes, mereka terus menjadi suara bagi mereka yang ingin bebas.

 

 

Dan yang paling penting: ketika banyak band memilih diam atau menyesuaikan diri dengan industri, Primal Scream tetap berani berteriak. Mereka tetap berdiri bersama rakyat tertindas dan kelas pekerja kelas Britania Raya hingga rakyat Palestina. Mungkin pada akhirnya, itulah yang membuat Primal Scream tetap relevan hingga hari ini: keberanian untuk bersuara. 

 

 

Bagi kita yang hidup jauh dari Glasgow atau London, mungkin ada jarak antara kisah Primal Scream dan realitas kita sehari-hari. Tapi musik mereka menunjukkan bahwa suara bisa menyeberangi batas geografis. Ketika mereka menyanyikan tentang perlawanan, kita bisa mendengarnya seperti teriakan dari kawan lama. Ketika mereka menyerukan solidaritas untuk Palestina, kita bisa merasakannya sebagai bagian dari gelombang global yang menolak diam.

 

 

Primal Scream mengajarkan bahwa musik bukan sekadar hiburan, tapi sebuah sikap. Bahwa rave dan rock bukan hanya soal ekstasi sesaat, tapi juga tentang bagaimana kita ingin dunia ini berjalan. Mereka mengingatkan bahwa pesta bisa jadi ruang politik, dan politik bisa jadi ruang pesta, selama ada keberanian untuk berteriak.

 

 

Maka, jika ada satu hal yang bisa kita bawa dari Primal Scream, itu adalah semangat untuk tidak jinak. Untuk terus mencari cara menari di bawah represi, untuk terus menemukan ruang kolektif meski dunia dipenuhi tembok, dan untuk tetap berani bersuara, meski suara itu kadang serak, kadang pecah, tapi tetap jujur.

 

 

Scream if you want to be free.

 

Comments

Be the first to comment.

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.
Thanks for contacting us! We'll get back to you shortly. Thanks for subscribing Thanks! We will notify you when it becomes available! The max number of items have already been added There is only one item left to add to the cart There are only [num_items] items left to add to the cart