Skip to main content

Emang Apa Untungnya Sih Masuk Piala Dunia?

Emang Apa Untungnya Sih Masuk Piala Dunia?

 

Setiap empat tahun sekali, sebagian rakyat Indonesia kembali pada mimpi yang sama: mimpi tentang bendera merah putih yang berkibar di antara lagu kebangsaan negara-negara besar. Tentang nama Indonesia yang disebut di antara Inggris, Brasil, dan Argentina, seolah-olah sepak bola bisa jadi jalan pintas menuju harga diri nasional yang lama yang di cari-cari. Terkadang, sebagian masyarakat Indonesia tahu itu mimpi yang jauh, tapi anehnya, tetap saja di rawat. Mungkin, karena di negeri ini, berharap memang satu-satunya olahraga yang paling konsisten dijalankan.

 

 

Kita tumbuh bersama komentar televisi yang selalu bilang “suatu saat nanti.” Kalimat yang diulang sejak kecil, yang jadi mantra tiap kali timnas tersingkir, tiap kali ranking FIFA diumumkan, tiap kali jersey baru dirilis. “Suatu saat nanti” yang entah kapan datangnya, tapi selalu berhasil membuat kita menatap layar dengan mata yang sama: penuh harap, tapi siap kecewa. Karena pada akhirnya, sepak bola di Indonesia bukan cuma soal pertandingan, tapi soal pengharapan yang enggak pernah selesai.

 

 

Kadang, kita tahu kok bahwa sistemnya rusak, bahwa federasinya nggak becus, bahwa pemain muda sering kalah bukan karena bodoh, tapi karena tak punya perlindungan. Tapi tetap saja, tiap kali timnas berlaga, dada ini terasa aneh: campuran antara harapan, amarah, dan ketidakberdayaan. Seperti menonton orang yang kita dukung terus tersandung, tapi kita nggak pernah bisa benar-benar berhenti mendukung.

 

 

Karena sepak bola di negeri ini udah kayak cermin: retak, tapi tetap kita pandangi setiap hari. Kita tahu bayangannya nggak sempurna, tapi justru di situ kita menemukan diri kita sendiri, penuh kekacauan, penuh janji yang tak ditepati, tapi entah kenapa masih bisa bikin kita tersenyum di tengah segala absurditasnya.

 

 

Ada satu kebiasaan yang nggak pernah hilang dari bangsa ini: berharap. Tiap kali babak kualifikasi datang, kita mulai lagi, bendera dikibarkan, stiker Garuda ditempel di mobil, televisi menyiarkan siaran langsung dengan semangat patriotik yang nyaris berlebihan. Kita kumpul di warung kopi, di depan layar tancep, di ruang tamu yang bau gorengan, menatap layar dengan dada yang sesak antara percaya dan tahu diri.

 

 

Dan ketika akhirnya gagal lagi, kita juga tahu apa yang akan terjadi: menyalahkan wasit, nyumpahin federasi, bikin thread panjang di media sosial, lalu pelan-pelan melupakan. Sampai empat tahun lagi, ritual yang sama dimulai dari awal. Mungkin ini semacam siklus spiritual bangsa: berharap, kecewa, pura-pura tabah, lalu berharap lagi.

 

 

Tapi coba kita jujur sebentar. Emang apa untungnya sih masuk Piala Dunia? Apa hidup akan berubah? Apa gaji pelatih lokal bakal naik? Apa liga kita bakal tiba-tiba beres, stadion jadi aman, dan rumputnya nggak lagi kering kayak kulit lele goreng? Atau cuma pejabat federasi yang dapat tiket business class ke Eropa, bawa rombongan, dan bilang “kita sudah membuat sejarah”? Karena di negeri ini, “sejarah” seringkali cuma pembenaran untuk sesuatu yang nggak akan berubah.

 

 

 

Kita ini bangsa yang suka pesta, tapi nggak pernah benar-benar tahu apa yang sedang dirayakan. Begitu timnas menang satu laga, seluruh negeri bersorak seperti baru menaklukkan dunia. Tapi ketika kalah, semua orang sibuk mencari kambing hitam, seolah-olah kekalahan adalah kejahatan, bukan bagian dari proses. Kita terlalu sering hidup dalam euforia dan amnesia yang datang bergantian: hari ini kita mabuk kemenangan, besok kita lupa caranya belajar.

 

 

Masuk Piala Dunia sering dibayangkan seperti pintu ajaib yang bisa menyembuhkan semua luka: dari liga yang bobrok, wasit yang bisa dibeli, sampai pemain muda yang lebih sering disuruh ikut konten YouTube daripada latihan dasar. Padahal kalau fondasinya masih rapuh, Piala Dunia cuma jadi cermin besar yang memperlihatkan betapa kecilnya kita di hadapan sistem yang sebenarnya. Kegagalan bukan masalah kalau kita mau belajar; yang jadi masalah adalah ketika kita menolak belajar karena masih sibuk menutup-nutupi rasa malu.

 

 

Kita selalu bilang “suatu saat nanti”, tapi nggak pernah menentukan kapan “nanti” itu. Sejak 1958, sejak satu-satunya penampilan kita di panggung dunia, sepak bola Indonesia lebih banyak berputar di lingkar yang sama: ganti pengurus, ganti pelatih, ganti slogan, tapi nggak pernah ganti cara berpikir. Kita terus berharap hasil yang berbeda dari proses yang sama, dan mungkin itu, pada akhirnya, definisi paling jujur dari kegilaan kolektif yang kita pelihara dengan bangga.

 

 

Dan lucunya, di balik semua kekecewaan itu, masyarakat Indonesia tetap mencintainya. Sepak bola di negeri ini sudah bukan lagi olahraga, ia semacam ritual, semacam doa yang diucapkan dengan suara serak dan dada sesak. Ia memberi kita alasan untuk berkumpul, untuk merasa satu, untuk melupakan semua hal yang memisahkan. Mungkin itu sebabnya kita terus menonton, terus percaya, terus memaafkan. Karena di negeri yang jarang memberi alasan untuk bangga, sepak bola, meskipun gagal, masih satu-satunya hal yang bikin kita mau berharap lagi.

 

 

 

Sepak Bola Sebagai Cermin

 

 

Sepak bola, kalau di pikir-pikir, selalu jadi cermin paling jujur dari negara yang memainkannya. Kalau sistemnya rusak, sepak bolanya juga akan berantakan. Kalau yang punya kekuasaan sibuk cari nama, hasilnya ya mimpi yang bolong di mana-mana.

 

 

Kita nggak pernah benar-benar belajar. Kita selalu meniru tanpa memahami konteks. Jepang, misalnya, membangun sistem akademi yang terintegrasi selama puluhan tahun. Mereka sabar, nggak buru-buru pengen “menembus Piala Dunia”. Tapi di sini, sabar dianggap kelemahan. Kita pengen cepat, pengen viral, pengen menang hari ini juga. Padahal sepak bola nggak bisa dipercepat kayak konten TikTok.

 

 

Bakat sebenarnya banyak. Anak-anak di pelosok main bola nyeker di tanah keras, refleksnya luar biasa, tapi hilang karena nggak ada sistem yang menampung. Klub-klub daerah hidup setengah mati, akademi swasta lebih sibuk cari profit, dan PSSI? ya, kamu tahu sendiri. PSSI sering berlagak seperti rumah besar, tapi pintunya cuma terbuka buat yang punya undangan.

 

 

Kegagalan demi kegagalan akhirnya bukan lagi kejutan, tapi pola. Dan yang bikin miris, kita udah terbiasa dengan pola itu, kayak luka yang nggak sembuh tapi juga nggak lagi nyeri. Kita cuma jalan terus, karena udah terlalu lelah buat marah.

 

 

Dan sepak bola, pada akhirnya, hanyalah pantulan dari apa yang kita jalani sehari-hari. Ia bukan sekadar olahraga, tapi miniatur dari sebuah bangsa yang selalu mencoba tampil gagah meskipun gak ada gagah-gagahnya. Di lapangan, kita bisa melihat semua hal yang sebenarnya juga terjadi di luar sana: birokrasi yang ribet, korupsi yang dianggap biasa, sistem yang selalu menyalahkan pemain muda tapi memuja pejabat tua. Lapangan hijau itu sebenarnya cuma versi mini dari negeri ini; indah dari jauh, berantakan dari dekat.

 

 

 

Kita selalu berbicara tentang “mental juara,” tapi lupa bahwa mental itu dibangun dari keadilan, dari sistem yang sehat, dari kompetisi yang jujur. Gimana mau punya mental juara kalau tiap pertandingan di liga lokal masih bisa diatur lewat pesan singkat dan amplop cokelat? Gimana mau punya pemain tangguh kalau mereka tumbuh dalam struktur yang lebih sibuk menyelamatkan citra daripada membangun karakter? Kita sering menuntut pemain untuk tampil heroik, padahal mereka cuma produk dari sistem yang sejak awal udah pincang.

 

 

Federasi selalu bicara tentang pembinaan jangka panjang, padahal “jangka panjang” di sini sering berarti sampai masa jabatan habis. Semua proyek besar dibungkus dengan jargon modernisasi, padahal intinya tetap sama: proyek dan anggaran. Stadion direnovasi bukan karena kebutuhan pemain, tapi karena kebutuhan foto peresmian. Ketika hasilnya gagal, bukan introspeksi yang dilakukan, tapi malah konferensi pers penuh alasan yang mengulang kalimat yang sama: “ini proses.” Proses yang nggak pernah selesai, karena memang nggak pernah benar-benar dimulai.

 

 

Dan yang paling ironis, kita sebagai publik juga ikut jadi bagian dari lingkaran itu. Kita marah, tapi nggak konsisten. Kita protes, tapi juga mudah lupa. Kadang kita lebih sibuk bikin meme daripada nuntut perbaikan. Kita menertawakan kegagalan sendiri dengan cara yang entah lucu atau menyedihkan, seolah-olah dengan humor, semua bisa disembuhkan. Padahal di balik tawa itu, ada rasa frustrasi yang nggak pernah benar-benar punya tempat untuk disampaikan dengan serius.

 

 

Tapi justru di situlah kekuatan sepak bola di Indonesia: ia tetap hidup, meski semua hal di sekitarnya terasa nyaris mustahil. Ia bertahan bukan karena sistem, tapi karena cinta yang absurd dari jutaan orang yang rela begadang demi menonton laga yang hasilnya sudah bisa ditebak. Karena entah bagaimana, di tengah semua kekacauan itu, sepak bola masih bisa bikin kita merasa punya sesuatu untuk dipercayai. Sesuatu yang mungkin nggak masuk akal, tapi tetap hangat di dada.

 

 

Nasionalisme yang Salah Arah


Setiap kali Timnas main, media kita berubah jadi stadion nasional. Judul berita penuh tanda seru, bendera muncul di pojok layar, tagline TV berbunyi “Satu Nafas, Satu Indonesia”. Di Twitter, influencer mendadak patriotik; di Instagram, iklan kopi dan motor berlomba-lomba pasang slogan “Bangga Bersama Garuda”.

 

 

Tapi di balik semua itu, ada kesunyian yang aneh. Karena cinta pada Timnas sering bukan soal sepak bola, tapi soal rasa haus di dalam diri sendiri; haus akan kemenangan, pengakuan, dan kebanggaan yang nggak bisa kayanya di temukan di tempat lain. Mungkin, kita ingin menang di lapangan, karena di kehidupan nyata kita selalu kalah: kalah dari harga beras, kalah dari sistem, kalah dari kenyataan.

 

 

Masuk Piala Dunia, kalaupun benar-benar terjadi, mungkin cuma akan jadi pesta nasional yang penuh spanduk, iklan, dan pidato pejabat yang bilang “ini bukti kita bisa”. Tapi setelah pesta itu selesai, kita bakal bangun ke realitas yang sama: Liga yang setengah jalan berhenti, pemain muda yang nggak dibayar, dan stadion yang dibiarkan retak. Kemenangan simbolik tanpa perubahan struktural itu kayak pesta ulang tahun tanpa masa depan.

 

 

Memang, sepak bola di negeri ini sudah lama dijadikan panggung politik, bukan sekadar permainan. Tiap menjelang pemilu, politisi berbondong-bondong datang ke stadion, mengenakan syal tim, berfoto di pinggir lapangan, lalu berbicara tentang “masa depan sepak bola Indonesia”. Tapi ketika kampanye selesai, janji mereka hilang seperti tiket palsu. Klub-klub dibiarkan berutang, federasi dipenuhi kompromi, dan suporter dijadikan alat mobilisasi massa. Nasionalisme sepak bola akhirnya hanya jadi kosmetik kekuasaan, dipakai ketika perlu, dibuang ketika sudah usang.

 

 

Mereka sering lupa bahwa nasionalisme yang sehat seharusnya melahirkan tanggung jawab, bukan sekadar sorakan. Kalau benar cinta, semestinya mereka marah ketika pemain tidak dibayar, ketika federasi korup, atau ketika stadion roboh menelan korban. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: kritik dianggap tidak nasionalis, dan mereka yang bertanya malah dicap pengkhianat. Nasionalisme yang salah arah menjadikan kita penonton yang patuh, yang lebih senang berteriak “Indonesia!” daripada bertanya “kenapa Indonesia begini?”.

 

 

Di titik ini, sepak bola berubah jadi cermin yang memantulkan wajah bangsa: penuh semangat tapi rapuh, penuh kebanggaan tapi minim perawatan. Kita membangun identitas di atas hasil pertandingan, bukan di atas kerja panjang membangun sistem. Kita lebih bangga pada gol menit terakhir ketimbang pada reformasi liga yang berkelanjutan. Padahal, yang satu hanya butuh keberuntungan; yang satu lagi butuh komitmen, waktu, dan kejujuran, tiga hal yang sering hilang dari kamus nasional kita.

 

 

Mungkin sudah waktunya kita belajar mencintai sepak bola tanpa harus meminjam nama bangsa untuk setiap teriakan. Karena cinta bukan diukur dari seberapa keras kita bernyanyi di tribun, tapi dari seberapa berani kita menuntut perubahan di luar stadion. Nasionalisme seharusnya bukan soal menang di papan skor, tapi soal memperjuangkan agar setiap anak bisa bermain di lapangan yang layak, tanpa takut kalah oleh sistem yang curang.

 

 

Sepak bola selalu jadi tempat pelarian paling aman dari kenyataan sosial. Di luar stadion, kita disibukkan oleh politik yang membosankan. Tapi di dalam stadion, semuanya terasa sederhana: ada yang menang, ada yang kalah, dan kita bisa percaya, walau sebentar, kalau kerja keras itu berbuah hasil. Sayangnya, di Indonesia, hasilnya sering ditentukan bukan oleh kerja keras, tapi oleh siapa yang duduk di kursi tertinggi.

 

 

Kegagalan Sebagai Kebiasaan

 

 

Ada yang bilang, bangsa ini kuat karena bisa bertahan dalam segala keadaan. Tapi mungkin itu juga alasan kenapa kita nggak pernah benar-benar maju: karena kita terlalu jago bertahan.

 


Kita anggap kekalahan sebagai takdir, bukan tanda ada yang salah. Kita bangga dengan kalimat “yang penting sudah berjuang,” seolah-olah perjuangan tanpa hasil adalah kebajikan.

 

 

Kegagalan Indonesia di sepak bola bukan cuma soal strategi, tapi soal mental kolektif. Kita terlalu cepat puas dengan sedikit kemajuan. Menang lawan tim kecil aja udah bikin headline besar. Padahal bangsa yang besar mestinya malu dengan standar yang kecil.

 

 

Yang lebih menyedihkan, kegagalan itu sekarang malah jadi bahan dagangan. Media butuh drama, federasi butuh alasan, suporter butuh penghiburan. Kita semua terlibat dalam industri harapan yang nggak pernah benar-benar menepati janji.

 

 

Tapi tetap, kita datang ke stadion. Kita beli tiket, nyanyi di tribun, meskipun tahu hasil akhirnya mungkin sama. Karena sepak bola bagi kita bukan lagi soal menang atau kalah, tapi soal merasa hidup. Setidaknya di sana, di tengah ribuan orang yang teriak nama yang sama, kita merasa setara. Di luar stadion, dunia terbelah oleh kelas dan kekuasaan. Tapi di tribun, semua orang punya hak yang sama untuk bermimpi.

 

 

Dan mungkin di situlah letak paradoks terbesar kita: semakin sering kalah, semakin dalam kita mencintai. Ada semacam romantisisme tersendiri dalam menjadi pihak yang kalah, seolah penderitaan memberi kita identitas. Kita membangun rasa kebersamaan bukan dari kemenangan, tapi dari luka yang sama, dari air mata yang menetes di setiap penalti gagal. Dalam setiap kekalahan, kita menemukan cermin: betapa kita sebenarnya cuma ingin punya sesuatu untuk dipercayai.

 

 

Kegagalan juga telah membentuk budaya kita sendiri. Dari lagu-lagu tribun yang lebih banyak berisi satire dan kekecewaan daripada semangat nasionalisme, sampai banner protes yang berubah jadi karya seni jalanan. Dari kekecewaan lahir kreativitas, dari frustrasi lahir solidaritas. Sepak bola di Indonesia mungkin sering gagal di lapangan, tapi di luar lapangan, ia telah melahirkan bahasa, estetika, bahkan perlawanan yang nggak bisa diukur dengan skor.

 

 

Tapi sekeras apa pun kita mencoba menjadikan kegagalan itu bagian dari identitas, tetap ada luka yang nggak bisa disembunyikan. Setiap kali melihat tim lain lolos ke Piala Dunia, ada rasa iri yang menempel di dada, bukan iri pada kemenangan mereka, tapi pada kepastian bahwa sistem mereka bekerja. Kita bukan takut kalah; kita cuma capek kalah dengan cara yang sama.

 

 

Dan entah kenapa, meski sadar akan semua itu, kita masih di sini: menunggu, dan berharap. Karena mungkin itulah definisi paling jujur dari menjadi suporter di negeri ini, percaya pada sesuatu yang terus mengecewakanmu, tapi tetap kamu jaga karena tanpanya, kamu nggak tahu lagi bagaimana caranya bermimpi.

 

 

Kalau Pun Masuk Piala Dunia

 

Mari bayangkan sejenak: Indonesia benar-benar lolos Piala Dunia. Negara geger. Tagar #GarudaMendunia trending. Pemerintah bikin konser di Monas, sponsor berlomba-lomba jadi “bagian dari sejarah”. Jersey resmi dijual seharga setengah gaji buruh, dan bandara penuh orang pakai syal merah putih.

 

 

Tapi di balik gegap gempita itu, apa yang berubah? Apakah setelah itu liga jadi profesional? Apakah suporter yang dibunuh di stadion akan mendapatkan keadilan? Apakah pengurus yang korupsi akan mundur dengan malu? Enggak.

 

 

Yang berubah cuma narasi. Dari “kita harus berbenah” menjadi “kita sudah membuktikan bisa”. Padahal fondasi tetap rapuh, sistem tetap bebal, dan sepak bola tetap jadi panggung politik paling indah di negeri yang lapar pengakuan.

 

 

Kemenangan bisa jadi candu baru, membuat kita lupa bahwa euforia adalah musuh dari pembangunan jangka panjang. Kalau gagal kita pura-pura tabah, maka kalau menang kita bakal mabuk pujian. Dan di kedua keadaan itu, kita tetap nggak belajar apa-apa.

 

 

Kita ini bangsa yang terlalu pandai merayakan hasil, tapi malas memahami proses. Begitu berhasil lolos, semua orang ingin dikaitkan dengan keberhasilan itu: pejabat, federasi, bahkan mereka yang dulu paling sering menghambat. Semua berebut panggung, semua ingin tampak berjasa. Sepak bola yang seharusnya jadi ruang kebersamaan malah berubah jadi arena klaim politik. Dari media sampai menteri, semua ingin jadi bagian dari “keajaiban nasional”, padahal keajaiban itu cuma muncul karena kerja keras pemain dan sedikit keberuntungan, bukan karena sistem yang tiba-tiba sadar diri.

 

 

Lalu datanglah fase kedua: komersialisasi. Merchandise resmi dijual di mal, iklan bermunculan di setiap sudut kota, lagu tema nasionalis diputar sampai bosan. Stadion jadi panggung selfie, bukan solidaritas. Semangat kolektif yang dulu lahir dari penderitaan berubah jadi gaya hidup dadakan. Sepak bola kehilangan sisi liarnya, kehilangan kemurniannya, diganti dengan slogan-slogan kosong yang mudah dijual. Kemenangan, yang dulu kita impikan sebagai titik balik, akhirnya cuma jadi produk.

 

 

Dan seperti biasa, ketika euforia mereda, kita kembali pada kenyataan yang sama: stadion yang belum aman, wasit yang bisa dinegosiasi, pemain muda yang tersingkir karena nggak punya “orang dalam”. Liga tetap berjalan dengan ritme aneh, kadang penuh semangat, kadang berhenti tanpa alasan jelas. Kita kembali ke titik nol, tapi kali ini dengan tambahan rasa puas palsu karena merasa sudah mencapai sesuatu yang besar. Padahal di balik semua selebrasi itu, luka lama tetap ada: ketidakadilan, korupsi, dan sistem yang menua tapi menolak mati.

 

 

Jadi mungkin pertanyaannya bukan lagi “kapan Indonesia masuk Piala Dunia,” tapi “apa yang akan kita lakukan setelah itu?” Karena kalau semua ini cuma berhenti di pesta dan pidato kemenangan, maka lolos Piala Dunia bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari kebohongan baru yang kita sepakati bersama. Dan di negeri yang terlalu sering bingung membedakan antara kebanggaan dan pelarian, kemenangan kadang justru jadi cara paling halus untuk menutupi kegagalan yang belum pernah kita berani hadapi.

 

 

Mungkin, Justru Lebih Jujur Kalau Kita Gagal

 

 

Kegagalan Indonesia di sepak bola mungkin menyakitkan, tapi justru di situ letak kejujurannya. Sepak bola kita gagal karena negara ini gagal dalam banyak hal. Dari pendidikan sampai politik, dari transparansi sampai tanggung jawab, semuanya menular ke lapangan hijau.

 

 

Dan mungkin, justru di kegagalan itu ada kesempatan untuk belajar jadi lebih jujur. Bahwa kita belum siap bukan karena tak berbakat, tapi karena tak sabar. Bahwa kita belum maju bukan karena tak mampu, tapi karena terlalu banyak yang lebih ingin dikenal daripada bekerja.

 

 

Kita selalu ingin cepat diakui dunia, tapi lupa membenahi rumah sendiri. Kita mau tampil di Piala Dunia, tapi stadion sendiri masih memakan korban. Kita mau dihormati FIFA, tapi kita nggak bisa menghormati penonton yang mati demi menonton sepak bola.

 

 

Jadi mungkin, kegagalan ini bukan kutukan. Mungkin ini cara sepak bola bilang: “Berbenahlah dulu, baru bermimpi.” Dan ketika hari itu datang, entah sepuluh, dua puluh, atau lima puluh tahun lagi, mungkin kita nggak akan lagi nanya, “Emang apa untungnya sih masuk Piala Dunia?” Karena waktu itu, kita udah tahu jawabannya. Bukan dari trofi, bukan dari uang, tapi dari rasa lega karena akhirnya kita menang dengan cara yang benar.

 

 

Karena kemenangan yang sejati nggak lahir dari keberuntungan atau sensasi, tapi dari proses panjang yang penuh kesabaran. Dari cara kita memperlakukan pemain muda, menjaga stadion, menghormati sesama, dan memperlakukan penonton bukan sebagai massa, tapi manusia. Dari cara kita menolak korupsi kecil sampai yang besar, dari keberanian untuk bilang “cukup” pada mereka yang mempermainkan olahraga ini demi kekuasaan.

 

 

Dan kalau hari itu tiba, mungkin stadion-stadion di negeri ini tak lagi jadi tempat untuk berduka, tapi tempat untuk mengingat bahwa kita pernah gagal, dan pernah belajar dari kegagalan itu. Bahwa sorak-sorai bukan cuma tanda euforia, tapi rasa syukur karena akhirnya kita bisa melihat sepak bola berjalan sebagaimana mestinya: adil, jujur, dan manusiawi.

 

 

Dan mungkin di situ letak makna terdalam dari menjadi pendukung sepak bola Indonesia: mencintai sesuatu bukan karena ia sempurna, tapi karena kita tahu, suatu hari nanti, ia akan jadi lebih baik, karena terus dijaga, bahkan dalam kegagalan.

 

Comments

Be the first to comment.

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.
Thanks for contacting us! We'll get back to you shortly. Thanks for subscribing Thanks! We will notify you when it becomes available! The max number of items have already been added There is only one item left to add to the cart There are only [num_items] items left to add to the cart