Movie Review: Johnny Got His Gun (1971)

Movie Review: Johnny Got His Gun (1971)

Beberapa hari ke belakang, sedang panas perbincangan terkait kondisi yang terjadi pada Rusia dan Ukraina. Hal ini jelas menambah rentetan persoalan negara konflik lainnya. Informasi dari berbagai platform media elektronik pun telah menjelaskan berbagai situasi, yang tentunya bukan perkara mudah untuk menyimpulkannya. Muncul berbagai keresahan dan ketakutan akan kembali hadirnya perang dunia, mulai dari dampak ekonomi hingga kesenjangan sosial dan hal-hal menakutkan lainnya. Sayangnya, internet selalu berhasil menghasilkan bola liar opini terkait bagaimana orang-orang merespons situasi ini.

 

Berbicara soal perang, mungkin beberapa dari kita pasti akan tertuju pada beberapa film yang menampilkan dan menceritakan tentang peperangan yang terjadi di masa lampau. Film jenis ini tidak cuma menghadirkan kesan heroik akan para pahlawan. Entah itu dalam bentuk film propaganda ataupun sekadar bentuk entertainment semata.

 

Ada beberapa film perang yang justru memberikan kesan menakutkan dan memang dibuat untuk menimbulkan pesan anti peperangan. Film-film anti-perang semacam itu menjadi tontonan yang lebih menarik untuk diikuti. Film-film itu dibuat sebagai bentuk protes terselubung terhadap perang secara keseluruhan.

 

Film anti-perang biasanya bertujuan untuk menampilkan efek dari situasi perang yang merusak fisik maupun mental. Bahkan menelan korban jiwa yang juga datang dari masyarakat biasa. Pada kesempatan kali ini, kami akan coba menulis ulasan dari film anti perang karya Dalton Trunbo yang berjudul ‘Johnny Got His Gun’

Ada yang pernah lihat video clip dari Metallica yang judulnya ‘One’? nah buat kalian yang pernah lihat video clip empu nya musik cadas satu ini, kalian pasti sadar ada beberapa potongan video yang nyeritain peperangan dan korbannya. Nah, itu adalah bagian dari film garapan Dalton Trubo yang mau kita ulas kali ini, Johnny Got His Gun.

 

Johnny got his gun, film yang dirilis pada tahun 1971 dan memenangkan Grand Jury Prize di Cannes tahun itu., di tengah Perang Vietnam. Film ini sering digambarkan sebagai film anti-militerisme terbesar yang pernah dibuat, membawa serta spektrum penggemar yang luas, dari John Lennon hingga Metallica.

 

Di buka dengan musik yang sudah biasa menjadi latar dari peperangan, ya kurang lebihnya kaya musik-musik yang suka dipake sama beberapa negara gitu lah. Disusul dengan ledakan yang ngebuat kita makin yakin kalau film ini film yang nyertain tentang peperangan. Layar benar-benar hitam selama sekitar sepuluh detik yang ditambah dengan suguhan suara napas. Kemudian, dilanutkan dengan tiga ahli bedah dari sudut rendah yang membangkitkan apa yang mereka lihat. Pandangan subjektif ini (penonton secara brutal ditempatkan di tempat karakter utama) memberikan nada dan ambisi film yang mungkin bertujuan untuk membuat orang merasakan situasi seorang pria yang kehilangan kaki, lengan, matanya, telinganya dan pengap nya yang hanya menyisakan organ tubuh lainnya.

Aksi film berlangsung selama Perang Dunia Pertama. Johnny baru saja mengalami kecelakaan mengerikan yang hanya membuatnya menjadi “sepotong daging" yang tak berdaya, seperti yang dia katakan sendiri. Dokter mengira dia tidak sadar, tapi Johnny rupanya hanya kehilangan akal sehatnya, tidak kehilangan jiwa ataupun nyawanya.

 

Fokus pada fil ini berada pada Joe Bonham yang diperankan oleh Timothy Bottoms, yang berasal dari latar belakang Amerika yang jelas-jelas meniru Trumbo sendiri. Anak laki-laki itu bekerja di toko roti, menghidupi ibu dan saudara perempuannya setelah kematian ayahnya, jatuh cinta pada seorang gadisasal Irlandia yang manis dan ayu rupanya. Joe Bonham mendaftar sebagai tentara karena "itu adalah hal yang harus dilakukan seseorang, ketika negara dalam masalah." Beberapa bulan kemudian, dia dikirim untuk berpatroli ke tanah tak bertuan untuk mengubur mayat yang mengganggu hidung seorang kolonel. Sebuah ledakan mendarat di dekatnya, dan dia terbangun di rumah sakit.

 

Seorang tentara muda Amerika yang kehilangan kaki, lengan, dan wajahnya ketika sebuah bom meledak di dekatnya pada hari terakhir Perang Dunia I. Tuli, bisu, dan buta, dia tetap hidup oleh dokter yang menganggap dia adalah sayuran dan menyimpannya di ruangan terkunci dan berniat menggunakannya untuk penelitian medis.

Joe, bagaimanapun, dapat berpikir dan, pada waktunya, merasakan. Untuk mempertahankan kewarasannya, ia menjelajahi sisi lain dari mental yang luas di mana kenangan dan mimpi bercampur dengan meditasi tentang kebrutalan dan kesia-siaan perang. Kehidupan interior diwakili dalam warna, sementara adegan ketika Joe berada di rumah sakit digambarkan dalam balutan warna hitam dan putih. Pada akhirnya, seorang perawat yang welas asih (Diane Varsi) datang untuk memahami kondisi Joe dan berkomunikasi dengannya dengan menulis di dadanya dengan jarinya, yang ditanggapinya dengan menggunakan kepalanya untuk menggunakan Kode Morse.

 

Ketika permintaan Joe untuk dipajang sebagai pengingat biaya perang yang mengerikan ditolak, dia meminta untuk dibunuh. Sejumlah kritikus menganggap film ini sebagai film yang sangat tidak masuk akal, sedangkan kritikus yang lain menganggapnya sebagai salah satu pernyataan antiperang paling kuat selama ini. Yang pasti, Dalton Trumbo yang menyutradarai film pertamanya, menyampaikan poin-poinnya dengan cara yang agak jelas. Meskipun demikian, ia sering kali terlihat canggung dikarenakan terlalu banyak bicara.

Film yang diangkat berdasarkan novel dari Dalton Trumbo yang diterbitkan pada tahun 1939 pada awal perang dunia kedua ini adalah jeritan rasa sakit dan kemarahan yang terinternalisasi atas kengerian perang dan ketidakpedulian para politisi dan jenderal. Saat yang mengerikan datang ketika Joe menyadari bahwa seseorang sedang menyematkan medali di sisa dadanya.

 

Film ini memiliki makna dan pesan yang cukup kuat, dan para penonton dirasa tidak bisa tidak tersentuh dan dibuat marah pada dunia di mana mereka yang diminta untuk berkorban ditolak suaranya. Ketidakmampuan Joe untuk berbicara mencerminkan hal itu dengan keras. Pesan anti perang yang digambarkan oleh Dalton Trumbo pun dirasa penuh gairah dan layak untuk disaksikan, karena orang mati tidak dapat berbicara dan memberi tahu kita seperti apa perang itu sebenarnya.

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.