Skip to main content

STREETWEAR ITU BENTUK PERLAWANAN, ROADMAN CULTURE YANG MENGHIDUPKANNYA

STREETWEAR ITU BENTUK PERLAWANAN, ROADMAN CULTURE YANG MENGHIDUPKANNYA

Oleh: Bikry Praditya

 

Di kota-kota Inggris, terutama London, ada satu sosok yang bisa dikenali bahkan dari jauh: jaket puffer tebal meski matahari bersinar, tracksuit gelap yang licin, tas selempang kecil menempel di dada, dan cara berjalan yang santai tapi waspada. Ialah roadman, figur urban yang lahir dari blok-blok beton, musik grime, dan produk dari dinamika ekonomi di jalanan.

 

Bagi sebagian besar masyarakat Inggris, roadman adalah stereotip. Sosok anak muda dengan logat tebal London, nongkrong di estate sampai larut, dan mungkin punya urusan dengan polisi lebih dari sekali. Tapi di balik hoodie dan slang mandem, ada lapisan identitas yang jauh lebih kompleks, roadman berbicara tentang ras, kelas, dan cara bertahan hidup di tengah sistem yang kerap menutup pintu bagi mereka yang lahir di sisi yang salah dari kota.

 

 

 

Akar Sosial dan Musik

Asal-usul roadman bisa ditelusuri ke era 2000-an, saat garage dan grime meledak di London timur. Musik-musik dari Wiley, Dizzee Rascal, Skepta, dan JME memberi ruang bagi generasi muda—terutama dari diaspora Karibia dan Afrika—untuk mengekspresikan frustrasi sosial dan kebanggaan lingkungan mereka. Liriknya kasar, ritmenya mentah, dan temanya seputar kehidupan on road: perjuangan, status, dan survival.

 

Dari sinilah kata “roadman” muncul—seorang laki-laki muda yang hidup “di jalan”, memahami ritme keras kota, tapi tetap memegang kode etik solidaritas sesama mandem. Dalam perkembangannya, budaya ini berevolusi seiring naiknya UK drill dan UK rap, lewat figur seperti Headie One, Central Cee, dan Dave. Mereka bukan hanya mengisi tangga lagu, tapi juga menormalkan estetik roadman dalam arus utama pop culture.

 

 

Fashion Sebagai Identitas

Kalau punk punya safety pin dan leather jacket, maka roadman punya tracksuit dan man bag. Pakaian mereka bukan cuma pilihan gaya, tapi kebutuhan fungsional: longgar untuk bergerak cepat, hoodie untuk tetap anonim, dan sneakers bersih untuk statement.

 

Estetika Roadman lahir dengan organik. Ketika high fashion mencari “realness,” mereka menemukan roadman sebagai inspirasi mentah. Brand besar seperti Nike, adidas, dan The North Face lama jadi bagian dari seragam tak resmi mereka. Tapi seiring waktu, muncul label-label independen seperti Trapstar, Corteiz (CRTZ), dan Skepta’s Mains, yang membawa semangat DIY street hustle: dibuat oleh anak jalanan, untuk anak jalanan.

 

Kini, tracksuit bukan lagi simbol marjinalitas, tapi pernyataan identitas. Jalanan yang dulu jadi tempat bertahan hidup berubah jadi runway, dan roadman look jadi paradoks: antara keinginan untuk bersembunyi dan hasrat untuk diakui.

 

Kapitalisasi Streetwear dan Seni Bertahan Hidup ala Roadman

Tak butuh waktu lama sebelum roadman culture keluar dari blok-blok London dan masuk ke algoritma dunia. Editorial seperti Dazed, Highsnobiety, dan Hypebeast menampilkan roadman aesthetic dalam gaya fotografi yang sinis tapi memikat dengan nuansa beton, hoodie, dan ekspresi kosong di bawah lampu jalan.

 

Ironisnya, budaya yang lahir dari keterbatasan kini jadi simbol kemewahan. Tracksuit yang dulu dibeli bekas kini muncul di butik, dijual dengan harga setara satu minggu gaji kelas pekerja. Kapitalisme mengemas ulang resistensi, lalu menjualnya kembali dengan tag “authentic streetwear.”

 

Namun bagi mereka yang tumbuh di jalan, roadman tetap lebih dari sekadar tren. Ia adalah kode sosial, ia seolah mengatur cara bicara, berjalan, dan bertahan hidup. Sesuatu yang tidak bisa dibeli, hanya bisa dijalani oleh mereka yang meyakininya.

 

Resonansinya di Indonesia

Di Indonesia, gema roadman culture terdengar samar tapi nyata terutama di tengah kebangkitan streetwear lokal dan budaya post-internet fashion. Di TikTok dan Instagram, gaya roadman diterjemahkan dalam versi tropis: tech fleece diganti cargo shorts, jaket puffer jadi vest utilitarian, tapi semangatnya tetap sama; anonim, keras, dan “real”.

 

Anak-anak muda Jakarta, Bandung, atau Bali kini mengadaptasi gaya ini bukan karena mereka hidup “on road,” tapi karena mereka ingin terlihat connected dengan subkultur global yang membumi. Estetik blok London jadi bahasa baru untuk menyampaikan identitas kelas menengah urban yang haus keaslian.

 

Brand-brand lokal pun cepat menangkap sinyal ini. Brand seperti Lads Club,  Dominate Jakarta, Public Culture, Aesthetic Pleasure, Wadezig!, hingga Untold mengadopsi narasi jalanan yang lebih subtil, bahwa ini bukan sekadar estetika, tapi juga sikap. Rilisan mereka meminjam nuansa utilitarian, warna netral, potongan longgar, dan filosofi “community-based identity” yang akrab dengan etos mandem.

 

Sementara itu, pengaruh label global seperti Corteiz menular ke cara brand lokal membangun loyalitas. Strategi eksklusif, rilis terbatas, dan komunikasi yang terasa seperti kode antar anggota geng jadi bagian dari permainan baru dalam pemasaran streetwear Indonesia.

 

Antara Adaptasi dan Imitasi

Namun, seperti semua subkultur yang di-mainstream-kan, adaptasi roadman culture di Indonesia juga mengandung ironi. Gaya yang lahir dari keterbatasan diadopsi oleh kelas yang relatif mapan. Tracksuit dan sling bag bukan lagi simbol survival, tapi bagian dari performative authenticity atau cara tampil “keras” di dunia digital yang lembek.

 

Tapi mungkin di situlah daya tariknya. Budaya jalanan selalu bergerak zig-zag antara makna dan mitos. Di Inggris, roadman muncul karena sistem menolak mereka; di Indonesia, roadman aesthetic muncul karena sistem terlalu lunak sehingga semuanya terlalu bisa dibeli, terlalu bisa dipalsukan.

 

Bagi sebagian orang muda di kota-kota besar Indonesia, mengenakan gaya roadman adalah bentuk simbolik untuk menolak status quo meski yang ditolak hanyalah kebosanan. Mungkin itu bentuk baru dari perlawanan: berpakaian seperti generasi yang dulu berjuang di blok-blok London, tapi hidup di tengah mall culture dan kopi susu.

 

Realness, Repackaged

Pada akhirnya, roadman culture selalu soal keaslian: tentang siapa yang “real” dan siapa yang hanya meniru. Tapi dunia sudah berubah. Keaslian kini dikurasi, dijadwal, dan disponsori.

 

Entah di Hackney, Kemang, atau di Braga, maknanya mungkin tetap sama: jadi roadman berarti tetap sadar diri di tengah dunia yang berisik. Berjalan pelan, menatap tajam, berpakaian hitam, dan tidak banyak bicara. Karena di balik semua lapisan fashion dan kapitalisme, roadman culture masih menyimpan satu hal yang sulit dijual, yakni rasa bertahan hidup yang tulus.

Comments

Be the first to comment.

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.
Thanks for contacting us! We'll get back to you shortly. Thanks for subscribing Thanks! We will notify you when it becomes available! The max number of items have already been added There is only one item left to add to the cart There are only [num_items] items left to add to the cart