AKAR RASISME LA FAMILIA BEITAR

AKAR RASISME LA FAMILIA BEITAR

Tribun sebuah stadion sepak bola memang menjadi satu dari sekian banyak tempat yang seringkali digunakan oleh khalayak luas dalam melepaskan kepenatan dalam kehidupan sehari-harinya. Terkadang ketika seseorang atau sekelompok orang sedang berada di atas tribun, mereka seolah terhipnotis oleh suasana yang ada di tribun tersebut, teriakan, umpatan yang dirasa dapat menghabiskan isi yang ada dalam tenggorokan pun seolah tidak terasa. Oleh karena itu, tribun stadion sepak bola menjadi tempat yang begitu tepat untuk menyuarakan aspirasi bagi sekelompok orang.

 

Terlepas dari itu semua, melihat tribun menjadi salah satu tempat untuk menyampaikan sebuah aspirasi, tribun juga menjadi tempat bagi sebagian kelompok untuk mengutarakan sudut pandang politik dan pandangan lainnya. Bagaimana tidak, jika kita melihat isi Millerntor Stadion ketika FC St. Pauli berlaga, stadion yang berada di kawasan St. Pauli, Hamburg, Jerman ini menggambarkan dan mempertontonkan sebuah pandangan tertentu.

 

Lupakan Millerntor Stadion dan FC St. Pauli dan coba sedikit mengalihkan ke atmosfer sepak bola Israel. Sepak bola memang bukan hal baru bagi negara yang memproklamirkan sebagai satu-satunya negara Yahudi di dunia. Maka tidak aneh jika sepak bola dapat menjadi suatu alat bagi warga Israel yang mencoba mempertahankan kedaulatan negaranya.

 

Pada musim 2012-2013, ramai pemberitaan mengenai sekelompok suporter dari Beitar Jerusalem F.C.yang melakukan penolakan dan melayangkan aksi protes mereka ketika klub yang mereka banggakan merekrut pemain yang beragama Islam. Ya, mereka adalah La Familia, kelompok suporter pendukung klub sepak bola Israel Beitar Jerusalem, merupakan salah satu kelompok yang memiliki passion yang cukup tinggi. Mereka merupakan suporter garis keras yang memiliki keteguhan ideologi tertentu perihal mendukung klub.

 

La Familia dengan tegas mengakui sebagai sekelompok suporter yang anti Arab dan membenci muslim. Jika manajemen klub mengontrak pemain yang memiliki keterkaitan dengan kedua hal tersebut, dengan senang hati mereka melemparkan caci maki bagi siapapun yang mereka benci. Namun, apa yang melatarbelakangi ini semua? Apakah Beitar Jerusalem F.C. menjadi alasan tertentu mereka melakukan semua ini? simak ulasannya.

 

 

Cikal Bakal Rasisme di Tubuh Beitar Jerusalem

Pada tahun 1936, muncul kedua sosok yang menginisiasi pembentukan sebuah klub sepak bola di Yerusalem, mereka adalah David Horn dan Shmuel Kirchstein. Mereka sepakat membentuk klub sepak bola bernama Beitar Jerusalem. Namun latar belakang kedua pendiri Beitar Jerusalem ini rupanya menjadi cikal bakal rasisme dalam tubuh klub ini. David Horn sendiri adalah serdadu Betar Movement yang menentang pendudukan Otoritas Inggris sebelum negara Israel didirikan dan bernama British Mandate of Palestine. Betar Movement merupakan gerakan pemuda Revisionist Zionist yang didirikan Ze'ev Jabotinsky, reporter Ukraina keturunan Yahudi yang kemudian memilih menjadi militer zionis.

 

 

Pada medio 1930-an dan 1940-an, Betar menjadi organisasi yang cukup aktif dalam menyuarakan bentuk protes agar orang Yahudi kembali ke Palestina untuk mendirikan negara Israel. Namun, afiliasi politik Beitar bersama Revisionist Zionist saat itu menjadi suatu hal yang menimbulkan konflik dengan Mapai, salah satu partai buruh di Israel yang menjadi cikal bakal Partai Buruh Israel Modern.

 

Selain berafiliasi dengan Beitar Movement, Beitar juga memiliki hubungan dengan Irgun, organisasi masyarakat paramiliter zionis yang berdiri pada tahun 1931. Salah satu mantan striker Beitar, Haim Corfu, dulunya merupakan aktivis sekaligus pejuang Irgun yang dikenal sebagai ahli peledakan. Keahlian tersebut kelak ia gunakan untuk membunuh Ralph Cairns dan Ronald Barker, dua polisi British Mandate yang bertugas menjaga daerah Yahudi di Palestina.

 

“Keduanya (David Horn dan Shmuel Kirchstein) adalah nasionalis ekstrem, paramiliter bawah tanah Yahudi. Para pemain dan suporternya aktif terlibat dalam kelompok sayap kanan bawah tanah Yahudi yang berkampanye dengan tindakan kekerasan kepada otoritas Inggris. Hasilnya banyak dari mereka yang ditangkap dan dibuang ke Etirea pada 1940-an” tulis James Michael Dorsey dalam Shifting Sands: Essays onSports and Politics in the Middle East and North Africa. Namun pembuangan tidak membuat para eksil tersebut bungkam. Yang terjadi justru sebaliknya, mereka membentuk klub Beitar Eritrea FC di Eritrea.

 

Penyebab dari maraknya aktivitas politik yang terkait dengan Beitar menyebabkan klub yang berdiri pada tahun 1936 ini dicap sebagai organisasi terlarang oleh British Mandate pada tahun 1947. Nama Beitar pun diubah menjadi Nordia Jerusalem. Barulah ketika Israel memproklamirkan diri sebagai negara pada Mei 1948, nama Beitar Jerusalem kembali digunakan.

 

Namun, setelah Israel memproklamirkan kemerdekaannya, Beitar tidak seberingas seperti awal kemunculannya. Hal tersebut dikarenakan parlemen dikuasai oleh Partai Buruh dan Histradrut (serikat buruh Israel) dan klub-klub yang berafiliasi dengan partai tersebut adalah Hapoel dan Maccabi Tel Aviv. Adapun Beitar lebih condong ke partai Likud, partai yang memiliki sudut pandang politik sayap kanan di Israel.

 

 

 

La Familia dan Rasialis Dalam Tubuhnya.

Terkadang sepak bola memang selalu dikaitkan dengan berbagai sudut pandang politik. Begitu pun di Beitar, representasi partai politik di sebuah lapangan hijau menjadi sesuatu yang sangat penting. Tidak melulu berbicara tentang simbiosis mutualisme atau siapa yang diunggulkan. Bagi sekelompok suporter yang melabeli dirinya dengan nama La Familia, semua itu tidak terlalu penting, namun mewujudkan kemurnian etnis menjadi suatu “set goals” yang mereka perjuangkan.

 

Berbeda dengan suporter yang memiliki sudut pandang politik lainnya yang lahir pada taun 80-an hingga 90-an, La Familia sebetulnya baru berdiri pada 2005, tapi fondasi historis mereka sudah ada sejak lama. Tak ada rujukan pasti siapa figur utama yang mendirikan grup suporter garis keras ini. Namun, jika melihat kedua pendiri klub Beitar Jerusalem yang merupakan nasionalis ekstrem yang berafiliasi dengan partai yang memiliki haluan sayap kanan di Israel.

 

 

Pada tahun 2008, David Goldblatt dari BBC melakukan reportase guna mengetahui siapa dalang di balik La Familia. Ia pun melakukan perjalanan ke Israel untuk menyaksikan pertandingan langsung laga antara Ahi Nazareth melawan Beitar Jerusalem. Rupanya perjalanan tersebut tidak sia-sia. David Goldblatt berhasil menemui sosok yang berpengaruh La Familia saat itu, Guy Israeli. Profesi Israeli sehari-hari adalah seorang konsultan pajak. Tapi pada akhir pekan ia merubah profesi kesehariannya menjadi seorang propagandis sayap kanan paling militan di La Familia.

 

Kepada Goldblatt, sebagaimana dikutip dari Football and Politics in The Holy City, Israeli menjelaskan mengapa memilih jalan seperti itu. “Israel adalah negara saya. Ketika saya melihat satu juta muslim beribadah di sini, membuat saya gugup. Bangsa Arab memiliki 10, 11 negara, kami hanya punya satu. Dan mereka masih pula menginginkan negara ini. Pemerintah selalu mengatakan sepakbola membentuk perdamaian. Tapi kami tidak ingin damai, kami ingin perang.”

 

Kelompok suporter garis keras Beitar Jerusalem yang melabeli dirinya dengan nama La Familia ini percaya bahwa eksistensi mereka tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menjaga kemurnian Beitar dari pemain non-Israel. Mereka dengan bangga dan lantang menyuarakan suatu ujaran kebencian dengan slogan yang selalu mereka suarakan yaitu ‘Forever Pure’.

 

Sebuah sikap yang La Familia percaya rupanya tidak terlalu klub hiraukan. Meski sejak awal lahirnya klub ini memiliki sikap dan keyakinan akan kemurnian ras dan afiliasi dengan partai sayap kanan. Pada musim 1989-1990 Goram Ajoyev menjadi pemain muslim pertama yang memperkuat Beitar Jerusalem. Namun, Goram Ajoyev beruntung, karena pendukung Beitar Jerusalem pada saat itu tidak mengetahui latarbelakang agama pemain asal Tajikistan tersebut dan akhirnya ia dielu-elukan oleh suporter Beitar Jerusalem karena ia berhasil menyelamatkan Beitar dari jurang degradasi.

 

Setelah Ajoyev, ada Victor Paco, striker asal Albania yang didatangkan Beitar Jerusalem pada tahun 1999. Sama dengan nasib Ajoyev, ia menjadi sosok yang dipuja oleh suporter Beitar Jerusalem pada saat itu. Pemain asal Albania ini juga melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Goram Ajoyev, menyembunyikan latarbelakang agama yang ia yakini, yaitu Islam.

 

Namun seiring berjalannya waktu, kesialan menimpa beberapa pemain muslim yang mencoba peruntungannya dalam membela salah satu tim terbesar yang bermain di Liga Israel. Pada musim 2004-2005 pemain asal Nigeria yaitu Ndala Ibrahim hanya berhasil memperkuat Beitar Jerusalem sebanyak 4 pertandingan saja. Hal ini dikarenakan ia tidak kuat dengan apa yang dilakukan oleh suporter Beitar Jerusalem yang melakukan teror verbal dan fisik padanya yang berbau rasialis.

 

Tidak hanya Ndala Ibrahim beberapa pemain seperti Baruch Dego, Toto Tamuz, Dzhabrail Kadiyev dan Zadur Sadayev pun merasakan hal serupa ketika pemain muslim ini direkrut oleh Arcadi Gaydamak, pemilik klub Beitar Jerusalem yang juga merupakan seorang wirausahawan dan politikus yang mencoba peruntungan dengan mendanai klub yang memiliki basis suporter terbesar di Israel ini.

 

Bentuk protes yang La Familia lakukan memang tidak tanggung-tanggung. Mulai dari bentuk teror dan percobaan pembunuhan yang dilakukan pada Acadi Gaydamak hingga pembakaran salah satu ruangan kantor klubnya karena klub merekrut pemain muslim.

 

 

La Familia dengan sadar memilih menjadi ekstrimis dan mewujudkan kemurnian ras sebagai pilihan terakhir mereka dan sebuah harga mati. Bahkan demi tercapainya cita-cita tersebut, mereka tidak membatasi perjuangannya hanya dengan melalui jalan sepak bola saja. Tidak jarang juga anggota La Familia ditangkap oleh aparat berwenang akibat sikap rasialis mereka di luar stadion. Pada Maret 2011 suporter Beitar kedapatan merusak mobil milik suporter Hapoel Tel Aviv. Ketika si pemilik tiba, mereka juga memukulinya dengan berbagai peralatan seperti tongkat, linggis, batu, balok. Setahun berikutnya juga tepatnya pada bulan Maret 2012 ratusan anggota La Familia membuat onar di dalam Malha Mall sambil menyanyikan lagu-lagu anti Arab, Oktober 2013 salah seorang suporter Beitar, Avi Elkayam, ditangkap karena terbukti melakukan penyerangan terhadap tiga orang keturunan Arab yang merupakan pegawai McDonalds di Jerusalem.

 

Seolah tidak kapok, pada bulan Juli 2014, enam orang anggota La Familia ditahan karena terlibat pembunuhan terhadap remaja asal Palestina dan pada bulan Agustus 2016, 19 anggota La Familia ditangkap karena percobaan pembunuhan terhadap suporter rival mereka yang beragama Islam.

 

Beberapa upaya yang dilakukan oleh pihak Beitar Jerusalem guna mengurangi tingkah laku rasialis La Familia tidak membuahkan hasil yang signifikan. Kelompok suporter yang lahir pada tahun 2005 itu tidak menggubris beberapa anjuran dan kampanye yang dilakukan oleh pihak tim, sebaliknya, La Familia mengancam akan melakukan aksi lebih sadis jika Beitar Jerusalem merekrut pemain yang Beragama Islam. Lalu, seberapa berpengaruh La Familia bagi Beitar? Dalam liputan Vice berjudul ‘La Familia, The Hate Group That Influences One of Israel's Top Soccer Teams’, jurnalis olahraga Israel, Ouriel Daskal, mencoba menjawabnya: “La Familia sebetulnya tidak terlalu penting untuk Beitar, tetapi mereka dapat menentukan siapa yang akan menjalani klub dengan tenang dan siapa yang akan mendapat kesulitan.”

 

 

Menariknya, La Familia tidak pernah menyembunyikan sikap rasialnya. Sebelum pertandingan, ribuan anggota La Familia selalu melakukan chant, “Inilah kami, klub paling rasial di negara ini.” maka, dari masa ke masa La Familia sebagai basis suporter yang cukup mendominasi kekuatan Beitar Jerusalem yang begitu bangga menjadi rasis dengan sikapnya yang akan selalu memprotes klub jika melakukan perekrutan pemain yang beragama Islam menjadikan klub yang berjuluk “The Menorah” itu lebih dikenal dengan aksi rasis nya dibanding dengan prestasinya.

 

Namun pihak klub tidak ingin larut dalam penilaian buruk yang diakibatkan oleh La Familia. Beitar Jerusalem menempuh arah baru setelah klub asal Jerusalem itu dibeli oleh pengusaha mata uang kripto asal Israel yaitu Moshe Hogeg. Pada tahun 2020, Moshe Hogeg menjual 50 persen saham klub kepada pebisnis Arab asal Abu Dhabi, Sheikh Hamad bin Khalifa al-Nahyan. Hogeg berasalan ia ingin mengubah citra klub yang rasis dan egaliter. Namun apakah cara ini menjadi cara yang akan berhasil dalam meredam aksi rasialis yang dilakukan oleh La Familia? Kita lihat tingkah menyebalkan sekelompok suporter Beitar Jerusalem ini. see you!

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.