Skip to main content

Hardbass di Ujung Jalan Dan Subkultur Gopnik.

Hardbass di Ujung Jalan Dan Subkultur Gopnik.

Di sebuah gang sempit kota kecil di Indonesia, sekelompok pemuda duduk jongkok berjajar sambil menyalakan rokok ketengan, mengenakan jaket olahraga tiga garis bekas, dan menatap kosong ke kamera ponsel temannya. Tak ada yang aneh jika bukan karena satu detail kecil: mereka menyebut diri mereka “Gopnik Squad.” Dan percayalah, itu bukan sekadar nama grup WA.

 

Budaya Gopnik kini menjelma jadi gaya hidup estetis bagi sebagian pemuda Indonesia. Mereka menirukan pose jongkok legendaris ala slav squat, memainkan hardbass di speaker Bluetooth, dan menyebut diri mereka sebagai bagian dari “revolusi lucu” sebuah bentuk eksistensi di dunia yang sudah ditanggapi serius. Di TikTok, tagar #Gopnikoutfit sudah mulai muncul, lengkap dengan berbagai komentar.

 

Di negeri di mana anak muda lebih familiar dengan cicilan daripada cita-cita, budaya Gopnik jadi pelarian yang relevan. Ia tidak mengajarkan kesuksesan ala seminar motivasi, tidak pula menawarkan kapitalisme gaya. Sebaliknya, Gopnik menawarkan apa yang jarang diberikan: kejujuran, kebosanan yang estetis, dan cara bertahan hidup dengan cara menertawakan semua hal, termasuk diri sendiri. Bagi sebagian pemuda, menjadi Gopnik adalah bentuk perlawanan pasif terhadap sistem yang sudah tak layak dilawan secara serius, lalu, sebenarnya apa itu Gopnik Culture?

 

Apa itu Gopnik Culture?

 

Di Rusia pasca-Soviet, Gopnik muncul sebagai simbol keterpinggiran: anak-anak kelas pekerja tanpa masa depan yang jelas, tinggal di apartemen muram Khrushchyovka, bergaya sekenanya, dan hidup dalam orbit nyaris nihil. Gopnik adalah subkultur jalanan yang muncul di Rusia dan negara-negara pecahan Uni Soviet sejak awal 1990-an. Mereka dikenal karena penampilan khas: tracksuit Adidas, trainers, topi, dan gaya duduk jongkok ala “slav squat”. Istilah “Gopnik” kerap ditautkan pada dua arti, yang pertama adalah akronim dari G.O.P. atau Gorodskoe Obshchestvo Prizreniya, semacam rumah singgah atau kesejahteraan kota di akhir Kekaisaran Rusia. Namun, bagi sebagian masyarakat, kata “Gopnik” berasal dari slang kriminal “Gop-Stop” yang memiliki arti perampasan atau jambret di jalan. Keduanya sering muncul dalam literatur populer dan linguistik Rusia sebagai etimologi yang diperdebatkan.

 

Gopnik adalah simbol dari kelas pekerja urban yang terpinggirkan, tumbuh dalam era kekosongan ideologis pasca-komunisme dan ketimpangan ekonomi liberal yang brutal. Mereka hidup di perumahan kumuh (Khrushchyovka), minum kvass atau vodka murahan di lapangan parkir, dan mendengarkan musik techno atau Russian chanson.

 

Pada masa Soviet, norma sosial dan sistem nilai sangat dikontrol. Ketika Uni Soviet runtuh, masyarakat mengalami disorientasi identitas. Gopnik lahir dari kekosongan itu, gabungan dari nostalgia Soviet, kemarahan terhadap kapitalisme, dan upaya mempertahankan identitas kelas bawah.

 

Dalam semesta Gopnik, dunia bukanlah tempat yang adil. Sistem gagal memberi harapan. Maka mereka menertawakan sistem. Mereka melawan bukan dengan pamflet politik, tapi lewat pose jongkok, jaket olahraga, dan lirikan sinis pada kaum borjuis. Dengan kata lain, mereka adalah parodi hidup dari kebobrokan masyarakat pasca-Soviet.

 

Salah satu aspek paling ikonik dari Gopnik Culture adalah estetikanya. Mereka sangat menyukai pakaian olahraga atau tracksuit, khususnya merek Adidas, karena selama era Soviet merek ini menjadi simbol langka dari “Barat” yang mewah dan eksklusif. Ironisnya, setelah pasar bebas masuk, Adidas menjadi bisa dibeli siapa saja, terutama lewat pasar gelap atau barang palsu.

 

Selain dari itu, gaya jongkok Gopnik, atau yang biasa dikenal dengan sebutan Slav Squat bukan cuma tentang posisi duduk, tapi lambang defiance (pembangkangan). Jongkok di sudut jalan sambil merokok dan mengamati sekitar adalah bentuk eksistensial: mereka tidak termasuk dalam arus utama masyarakat, tapi mereka ada dan menuntut dilihat.

 

Tradisi jongkok rendah yang dikenal sebagai Slav squat (atau dalam bahasa Rusia na kortakh) sudah lama menjadi bagian dari kebiasaan kelas pekerja Soviet. Gaya duduk ini dipandang praktis karena memungkinkan orang nongkrong lama di halaman blok apartemen (dvor) tanpa kursi. Berdy (2014) menjelaskan bahwa sejak 1980-an, postur ini menjadi stereotip Gopnik, terutama karena sering terlihat sambil merokok atau minum alkohol murah. Loeb (2017) menekankan bahwa squat bukan sekadar postur tubuh, melainkan simbol peripheral masculinity—maskulinitas pinggiran yang berhubungan dengan pengalaman hidup kelas bawah urban. Pasca-2010, slav squat berubah menjadi ikon global melalui meme dan musik hardbass, menandai transformasi dari praktik lokal menjadi citra digital internasional.

 

Gopnik dan Hardbass

 

Gopnik dan Hardbass ibarat rokok dan vodka yang tak bisa dipisahkan dari identitas kelas bawah urban yang terpinggirkan. Jika Gopnik adalah ekspresi tubuh dari frustrasi dan pemberontakan pasca-Soviet, maka Hardbass adalah dentuman jantungnya. Musik elektronik berkecepatan tinggi ini yang dimainkan dengan BPM yang bisa melesat di atas 150, menggema di lorong apartemen Khrushchyovka, menemani para Gopnik yang jongkok di bawah lampu jalan rusak, berbagi roti, biji bunga matahari, dan sarkasme tentang dunia yang tak memberi mereka tempat.

 

Hardbass bukan sekadar genre musik, ia adalah medium pelarian dan pencipta suasana kolektif. Dentuman repetitif dan synth kasar dalam lagu-lagu hardbass menyalurkan energi yang tak tersalurkan seperti amarah, lelah, dan nostalgia aneh akan masa ketika negara menjanjikan utopia komunis yang kini jadi reruntuhan supermarket kapitalis. Hardbass menyatukan Gopnik dalam semacam trance kelas pekerja, semacam ritual elektronik untuk bertahan hidup di dunia yang menertawakan mereka.

 

Lebih dari itu, koreografi khas Gopnik seperti berjongkok dengan tangan dirapatkan, jaket olahraga Adidas, dan gerakan tarian seperti "slav squat dance" menjadi meme global berkat video hardbass di YouTube dan TikTok. Ironisnya, apa yang awalnya merupakan simbol perlawanan diam-diam terhadap kegagalan sistem justru dikomodifikasi oleh Barat sebagai estetika lucu. Namun, bagi Gopnik, hardbass tetap menjadi ruang untuk menunjukkan: “Kami masih ada. Kami masih berdansa. Meski dunia lupa kami.”

 

Gopnik, Politik, Dan Pengaruh Global

 

Beberapa Gopnik rupanya mendukung nasionalisme Rusia, namun, ada pula yang anti-pemerintah. Mereka tak punya satu ideologi tunggal. Namun keberadaan mereka mencerminkan kekecewaan sosial yang dalam. Ketika negara gagal memberi keadilan, identitas budaya dan solidaritas jalanan menjadi alat untuk bertahan hidup.

 

Dalam banyak unjuk rasa atau bahkan konflik bersenjata, kita bisa melihat estetika Gopnik hadir: dari tentara separatis di Ukraina Timur, hingga penggemar sepak bola garis keras. Gopnik bukan cuma gaya hidup, tapi juga bahasa politik tubuh.

 

Kini, Gopnik menjadi bagian dari estetika fashion global. Desainer seperti Gosha Rubchinskiy atau Vetements membawa simbol-simbol Gopnik ke panggung mode Paris dan Milan. Apa yang dulu dipakai oleh kaum marjinal, kini dijual seharga jutaan rupiah di butik elit. Ironi itu menggambarkan bagaimana budaya jalanan bisa dipoles menjadi tren global, meski sering kehilangan konteks politik dan sosialnya.

 

Di internet, Gopnik juga menjadi identitas virtual bagi anak muda di luar Rusia. Mereka bermain roleplay Gopnik di Discord, mengenakan virtual Adidas, dan bercanda dengan aksen Rusia palsu. Fenomena ini menciptakan bentuk baru “Gopnik cosplay”—antara satire, kekaguman, dan penghapusan makna asli.

 

Gopnik Bukan Sekadar Meme

 

Di era serba digital, internet membawa Gopnik culture ke dunia global dalam bentuk meme. Kita melihat video “hardbass” dengan pria-pria jongkok, mengenakan kacamata hitam dan lampu disko portabel, menari di tengah malam. Ini memperkuat stereotipe: Gopnik pemalas, keras, mabuk, dan agresif.

 

Namun ini juga menimbulkan perdebatan: apakah meme ini memperolok kelas pekerja yang terpinggirkan? Atau justru menjadi cara mereka mengambil alih narasi dan menjadikannya simbol kebanggaan? Dalam banyak hal, Gopnik adalah representasi dari ironi global: subkultur yang dipandang sebelah mata, tapi justru dikonsumsi secara masif oleh audiens internasional.

 

Gopnik culture lahir dari kekosongan, berkembang dalam keterasingan, dan bertahan dalam ejekan. Ia adalah simbol kelas pekerja yang kehilangan tempat dalam wacana resmi negara. Mereka bukan revolusioner, tapi mereka juga bukan korban pasif. 

 

Gopnik adalah cermin masyarakat: ketika sistem gagal, rakyat tak selalu bangkit dengan bendera, tapi kadang dengan botol kvass dan musik hardbass. Dan dalam jongkok mereka, tersimpan satu hal yang tak bisa dibeli: kejujuran hidup tanpa pretensi.

 

Gopnik bukan individu, mereka komunal. Budaya ini tumbuh di lingkungan pasca-Soviet yang keras, di mana negara gagal, ekonomi amburadul, dan masyarakat harus saling jaga punggung. Para Gopnik nongkrong bareng bukan sekadar buang waktu, tapi membentuk ruang sosial alternatif di mana dukungan, humor gelap, dan cerita tentang hidup yang kacau jadi pengikat. Di Indonesia, kita lihat cerminan ini dalam anak-anak tongkrongan kampung yang saling patungan buat beli bensin atau kopi sachet: kecil, tapi nyata.

 

Gopnik menolak norma kemapanan, tapi tidak dengan jargon revolusi klise. Mereka tahu hidup ini absurd, dan daripada pura-pura jadi entrepreneur sukses yang baca self-help tiap pagi, mereka memilih joget hardbass dan duduk jongkok sambil nyinyirin dunia. Ada kebebasan yang otentik dalam sikap ini: menerima keterbatasan tanpa menjadi budak motivasi palsu. Dalam dunia yang dikejar konten dan citra, Gopnik adalah bentuk perlawanan pasif tapi konsisten.

 

 

Gaya Gopnik adalah penolakan terhadap estetika Instagramable. Mereka tidak mengedit kenyataan, mereka menelanjanginya. Mulai dari tracksuit yang tidak matching sampai pose jongkok yang tidak fotogenik, semuanya menolak performativitas. Bagi generasi muda Indonesia yang jenuh dengan standar gaya hidup palsu ala coffee shop dan font serif minimalis, Gopnik menawarkan satu hal: jadi jelek pun nggak masalah, asal jujur.

 

Gopnik lahir dari ketidakpunyaan, tapi justru di situ mereka kreatif. Nggak punya sofa? Jongkok. Nggak ada bir mahal? Minum dari botol plastik. Nggak punya diskotik? putar musik hardbass dari speaker murah. Dalam keterbatasan, mereka menemukan bentuk ekspresi dan hiburan. Ini adalah seni bertahan hidup tanpa subsidi negara, tanpa koneksi, tanpa ilusi. Di Indonesia, anak muda dari daerah pinggiran yang bikin konten lucu dengan HP yang dilengkapi kamera resolusi rendah atau bikin acara musik sendiri pakai genset adalah contoh nyatanya.

 

Gopnik Menjadi Kanon Suporter Eropa Timur

 

Budaya suporter di Eropa Timur tidak bisa dilepaskan dari bayangan Gopnik, sosok jalanan yang lebih banyak diam daripada berbicara, jongkok daripada berdiri, dan melawan daripada menyesuaikan diri. Mereka bukan sekadar stereotip orang miskin yang memakai pakaian olahraga dan merokok di sudut blok flat Soviet, melainkan representasi konkret dari kelas pekerja urban yang ditinggalkan oleh kapitalisme pasca-komunis. Dan ketika tribun sepak bola menjadi ruang sosial utama bagi pelampiasan identitas dan frustrasi kolektif, Gopnik masuk ke sana bukan sebagai tamu, tapi sebagai pemilik rumah.

 

Suporter klub-klub sdi beberapa negara Eropa Timur tak cuma mengadopsi gaya Gopnik secara estetis, dari tracksuit hingga balaclava dan sepatu training, tapi juga menyerap nilai-nilai militansi dan resistensi yang mereka bawa. Di negara-negara di mana ekonomi terseok dan politik busuk, loyalitas terhadap klub menjadi bentuk patriotisme alternatif. Teriakan di tribun, flare yang menyala, koreografi yang menghina lawan, bahkan janji bentrok usai pertandingan adalah cara mereka mengatakan, “Kami masih di sini. Kami masih punya kuasa atas tubuh dan kota kami.” Gopnik adalah fondasi dari teatrikal kekerasan ini, kasar, mentah, dan penuh hasrat.

 

Estetika Gopnik, dari Adidas, musik hardbass, hingga simbol-simbol kasar pun sering mewarnai tifo dan mural stadion. Di Polandia, Ukraina, Rusia, Serbia, dan bahkan Jerman Timur, tribun menjadi ruang teatrikal di mana gaya hidup Gopnik dilestarikan. Chant suporter sering berisi satire sosial, ajakan perlawanan, atau makian terhadap korupsi klub dan liga. Sama seperti Gopnik, mereka bukan penikmat sepak bola, tapi bagian dari sistem sosial yang terluka.

 

 

Lebih dari itu, relasi antara Gopnik dan kultur ultras Eropa Timur dibangun di atas tanah sosial yang sama: alienasi ekonomi dan keterasingan politik. Ketika negara tak lagi menjadi tempat bernaung dan media hanya bicara tentang elite, stadion menjadi tempat aman terakhir. Di sanalah simbol-simbol Gopnik, dari pose jongkok legendaris hingga logat kasar daerah, mendapatkan panggung. Mereka menjadi narasi tandingan atas “ultras modern” yang terorganisir, steril, dan dipeluk kapitalisme Barat. Di Eropa Timur, suporter bukan bagian dari agenda pemasaran klub, tapi bagian dari perlawanan terhadapnya.

 

Tidak jarang pula, para suporter mengidolakan tokoh-tokoh Gopnik sebagai semacam pahlawan lokal, bukan karena mereka suci, tapi karena mereka jujur. Seorang Gopnik tidak menjanjikan revolusi damai, tapi menjamin solidaritas ketika polisi datang memukul. Mereka tidak menawarkan manifesto, tapi menawarkan tubuh mereka untuk dilemparkan ke pagar pembatas, atau berdiri di garis depan tribun saat away day berbahaya. Dalam hal ini, budaya suporter dan Gopnik bukanlah dua hal yang berdampingan, tapi dua sisi dari koin yang sama: satu tentang ekspresi kolektif, satu lagi tentang eksistensi individual di tengah keterbatasan.

 

Gaya jongkok jadi ikon. T-shirt dengan tulisan "Hooligan" dalam Cyrillic laku keras. Stiker bertema vodka, senapan, tracksuit, dan flare memenuhi kursi-kursi plastik tua stadion. Bahkan chant-chant suporter banyak mengambil intonasi keras khas hardbass dan logat regional. Maka dari itu, budaya Gopnik bukan cuma ditoleransi oleh dunia suporter sepak bola Eropa Timur, ia ditransformasikan menjadi kanon estetika dan ideologis. Suatu bentuk pernyataan keras kepala bahwa meski dunia berubah, kami tidak akan menjadi seperti kalian. Kami adalah Gopnik, dan ini adalah kami.

 

Pada akhirnya, Gopnik bukan sekadar gaya hidup norak yang viral karena joget jongkok dan tracksuit. Di balik tracksuit dan rokok murahan itu, ada sejarah panjang keterpinggiran, keresahan, dan perlawanan kelas. Di tribun-tribun sepak bola Eropa Timur, Gopnik menjadi bentuk pernyataan diri paling jujur: bahwa ketika dunia menghina mereka, mereka memilih untuk menghina balik lewat koreografi asap suar, anthem yang tak kenal sensor, dan solidaritas tanpa syarat.

 

Kultur suporter di kawasan itu menjadikan Gopnik sebagai wajah dari ketidakpercayaan terhadap otoritas. Mereka tidak percaya pada federasi yang korup, tidak percaya pada pemerintah yang hanya muncul saat kampanye, dan tentu tidak percaya pada perdamaian yang dikawal aparat. Mereka percaya pada bunyi drum, pada flare yang membakar langit malam, dan pada jongkok yang lebih bermakna daripada pidato resmi. Dalam dunia yang terus memaksa untuk tunduk, Gopnik memilih untuk mencibir sambil duduk di bangku beton tribun dan dijalanan sambil jongkok.

 

 

Meskipun dalam banyak wacana Gopnik kultur kerap dilekatkan dengan politik sayap kanan karena stereotip nasionalisme dan maskulinitas jalanan yang keras, sejatinya kultur ini lebih bersifat apolitis, lahir dari realitas sosial-ekonomi kelas pekerja dan pinggiran kota pasca-Soviet, bukan dari ideologi tertentu. Justru dalam perkembangannya, tidak sedikit kelompok antifa di Eropa Timur maupun Barat yang mengadopsi estetika dan gestur khas Gopnik, mulai dari squat ikonik, gaya busana, hingga kebiasaan nongkrong di ruang publik sebagai bentuk reclaiming budaya jalanan rakyat jelata, sekaligus menegaskan bahwa identitas kelas bawah tidak otomatis milik sayap kanan, melainkan ruang terbuka bagi perlawanan dan solidaritas lintas ideologi.

 

Pada akhirnya, Gopnik culture adalah cermin kompleksitas masyarakat pasca-Soviet yang tidak bisa dibatasi oleh label tunggal. Ia bisa dibaca sebagai subkultur kelas pekerja, stereotip kriminal, simbol nostalgia, hingga medium perlawanan politik. Justru karena sifatnya yang cair dan kontras, Gopnik tetap hidup sebagai ikon budaya jalanan yang terus bertransformasi: dari gang sempit kota-kota bekas Uni Soviet hingga tribun stadion sepak bola Eropa, dari citra negatif hingga simbol kebanggaan kelas bawah yang sulit dihapus dari lanskap budaya kontemporer.

 

Comments

Be the first to comment.

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.
Thanks for contacting us! We'll get back to you shortly. Thanks for subscribing Thanks! We will notify you when it becomes available! The max number of items have already been added There is only one item left to add to the cart There are only [num_items] items left to add to the cart