Skip to main content

Kebisingan Demokrasi: Dari Tribun ke Jalanan

Kebisingan Demokrasi: Dari Tribun ke Jalanan

 

Saya ingat betul pertama kali masuk ke stadion. Waktu itu saya masih mengenyam pendidikan sekolah dasar, berdesakan di angkutan kota yang penuh sesak dengan orang-orang berkaos sama dengan segala aksesoris yang digunakan. Dari jauh sudah terdengar dentuman drum, seperti detak jantung kota yang semakin kencang. Begitu menapakkan kaki di depan pintu gerbang, bau keringat dan obrolan para suporter bercampur dengan teriakan pedagang asongan.

 

 

Masuk ke tribun, saya merasa tubuh ini mengecil. Ribuan orang bernyanyi bersama, tanpa ada yang memberi aba-aba. Nyanyian itu tidak seperti paduan suara yang rapi, kadang fals, kadang nadanya kacau, tapi justru di situlah kekuatannya. Semua orang tahu kapan harus melompat, kapan harus mengepalkan tangan, dan kapan harus mencaci wasit. Dan saya yang awalnya hanya datang untuk menonton, akhirnya ikut bernyanyi. Tidak ada yang bisa diam di tengah kebisingan itu. Diam di tribun adalah sebuah kesalahan dan akan menjadi suatu penyesalan.

 

 

Stadion seolah berubah menjadi arena yang penuh oleh kebisingan. Di sana saya belajar bahwa suara bisa jadi senjata, bahwa tubuh yang rapuh bisa menemukan kekuatan lewat nyanyian bersama. Di tribun, identitas sosial runtuh: buruh pabrik bernyanyi dengan mahasiswa, tukang ojek duduk berdampingan dengan pegawai kantoran, ibu-ibu membawa anaknya ke tengah lautan teriakan. Stadion adalah ruang paling egaliter yang pernah saya masuki.

 

 

Saya kemudian sadar, kebisingan semacam itu tidak hanya milik stadion. Ia juga milik jalanan. Hari-hari ini, di persimpangan kota, di depan gedung-gedung pemerintah, di jalan raya yang ditutup aparat, kebisingan lain lahir. Bukan drum dan flare, melainkan toa pecah dan amarah yang sulit untuk di kontrol. Bukan chant tentang rival klub, melainkan teriakan tentang harga beras, tanah yang dirampas, atau upah yang tidak manusiawi.

 

 

Di tribun sepak bola, kebisingan adalah bahasa cinta. Suara serak, drum yang pecah, flare yang meledak, semua tanda bahwa ada kehidupan. Stadion tanpa suara sama saja dengan kuburan, begitu juga negara tanpa kritik. Hari-hari ini, Indonesia kembali membuktikan bahwa kebisingan rakyat tidak bisa dibungkam.

 

 

Klakson ojol yang bersahut-sahutan di jalan, teriakan mahasiswa dari depan kampus, spanduk lusuh yang dibakar di depan gedung parlemen, semuanya menjelma menjadi suara yang lebih jujur daripada pidato politisi di TV. Kebisingan itu lahir bukan dari sekadar hobi ribut, tapi dari perut yang lapar, ongkos hidup yang semakin mencekik, dan kemarahan yang terlalu lama dipendam.

 

 

Jalanan Sebagai Stadion Politik

 

Jalanan adalah tribun yang lebih luas, lebih liar, dan lebih berisiko. Di jalanan, wajah rakyat tampak lebih jujur. Ada sopir ojol dengan wajah letih tapi masih lantang berteriak. Ada ibu-ibu yang membagikan teh manis dan makanan lainnya kepada mahasiswa yang kelelahan. Ada anak muda yang suaranya serak karena terus-menerus melakukan teriakan protes. Semua itu mengingatkan saya pada suasana tribun, hanya kali ini teriakan diarahkan pada rezim, bukan wasit atau klub lawan.

 

 

Sejarah Indonesia penuh dengan momen jalanan sebagai stadion politik. Reformasi 1998 adalah contohnya. Ribuan mahasiswa, pekerja, dan rakyat kecil memenuhi jalan-jalan Jakarta. Ada ritme yang sama seperti tribun: suara toa menjadi megafon chant, barisan depan menjadi “suporter” yang berani menghadapi gas air mata. Gedung DPR berubah seperti gawang yang terus diserbu. Saat Soeharto akhirnya jatuh, itu bukan hasil dari ruang sidang, melainkan dari kebisingan dan gerakan kolektif di jalanan.

 

 

Tahun 2019, kita kembali melihat hal serupa. Gelombang mahasiswa turun ke jalan menolak revisi UU KPK dan berbagai rancangan undang-undang bermasalah. Jalanan di Jakarta, Yogyakarta, hingga Makassar berubah jadi tribun politik. Saya masih ingat gambar ribuan mahasiswa duduk bersama, meneriakkan umpatan yang berisi cacian anti-korupsi sambil mengangkat poster. Suasana itu lebih mirip dengan laga derby panas ketimbang aksi formal.

 

 

Buruh juga tidak ketinggalan. Setiap kali Omnibus Law atau kenaikan harga BBM muncul, jalanan dipenuhi bendera serikat, drum plastik, dan nyanyian kolektif. Jika di stadion mereka bersatu untuk klub, di jalanan mereka bersatu untuk hidup. Ada garis tebal yang menghubungkan tribun dan jalanan: sama-sama gaduh, sama-sama penuh risiko, sama-sama membutuhkan keberanian.

 

 

Hari-hari ini, jalanan berubah jadi stadion politik. Gedung DPRD terbakar di Makassar, para pedemo melakukan aksi di Bandung, ojol tewas ditabrak Brimob di Jakarta, semua adalah tifo politik rakyat. Poster tulisan tangan, cat semprot di dinding kota, spanduk kain seadanya, semuanya lahir spontan, liar, tapi penuh makna. Sama seperti koreografi tribun yang sering bikin manajemen klub ketar-ketir, ekspresi jalanan pun bikin penguasa resah.

 

 

 

Negara selalu takut pada kebisingan. Karena kebisingan berarti rakyat tidak lagi diam. Itu sebabnya pemerintah buru-buru memanggil TikTok, Meta, dan kawan-kawan untuk membatasi live demo. Seakan-akan kalau layar ponsel kita sepi, jalanan pun ikut hening. Padahal siapa yang bisa benar-benar menghentikan kebisingan? Suporter bola tahu betul: larangan drum atau flare hanya membuat chant makin keras. Begitu juga di jalanan, semakin banyak polisi berjaga, semakin lantang suara rakyat menggema diberbagai media.

 

 

Sementara itu, pemerintah terus bangga dengan angka pertumbuhan ekonomi 4,9 persen. IMF tersenyum, Bank Dunia menepuk bahu. Tapi apa arti angka itu kalau di warteg harga lauk naik, kontrakan makin mahal, dan gaji tetap segitu-gitu aja? Di tribun, chant sering terdengar seperti sindiran. Di jalanan, kelaparan bukan lagi metafora. Kebisingan rakyat bukan soal teori makroekonomi, tapi soal sepiring nasi goreng yang makin mahal.

 

 

Suporter dan Revolusi

 

 

Suporter sering dicap sekadar kerumunan emosional: bising, liar, gampang rusuh. Tapi sejarah berkali-kali membuktikan bahwa tribun bisa jadi ruang politik paling radikal. Di banyak negara, nyanyian suporter yang awalnya cuma untuk klub berubah jadi lagu perlawanan yang menjatuhkan rezim.

 

 

Sejarah dunia penuh dengan cerita bagaimana kelompok suporter, ultras, dan komunitas stadion menjadi bagian penting dari gerakan politik. Beberapa suporter dari banyak negara pernah menjadi contoh yang sangat jelas bagaimana suporter dapat mengambil peran dalam melakukan revolusi.

 

 

Tahun 2011, Mesir bergolak. Ratusan ribu orang memenuhi Lapangan Tahrir, menuntut turunnya Hosni Mubarak. Di tengah lautan manusia itu, ada kelompok Ultras Ahlawy suporter klub Al-Ahly dan beberapa kelompok suporter lainnya. Mereka sudah terbiasa menghadapi represi polisi di stadion, terbiasa melawan gas air mata, terbiasa menjaga barisan ketika kekacauan pecah. Semua pengalaman itu mereka bawa ke jalan.

 

 

Mereka tidak hanya membawa nyali, tapi juga metode. Mereka mengajarkan bagaimana membentuk barikade, bagaimana bertahan dari serangan aparat, bagaimana menyelamatkan kawan yang terjebak. Chant yang biasanya untuk klub berubah jadi chant anti-diktator. Di Tahrir, stadion dan jalanan menyatu. Ketika Mubarak jatuh, mungkin banyak orang berkata: “Tanpa Ultras, Tahrir tak akan sekuat itu.”

 

 

Tahun 2000, Serbia menyaksikan jatuhnya Slobodan Milošević. Kelompok suporter Red Star Belgrade, yang biasanya terkenal dengan kekerasan dan rivalitas, justru memainkan peran yang cukup penting pada saat itu. Di tribun, mereka terbiasa menghadapi aparat; di jalanan, mereka jadi barisan depan perlawanan. Chant yang biasanya ditujukan ke rival klub berubah jadi senjata politik.

 

 

Di Beograd, massa aksi membanjiri gedung parlemen. Suara suporter menyatu dengan suara buruh, mahasiswa, dan rakyat biasa. Ribuan orang bernyanyi dengan nada yang sama, hanya liriknya yang berganti: dari ejekan kepada klub lawan menjadi teriakan “Milošević harus jatuh!”. Energi stadion mengalir ke jalanan, dan itu yang membuat barisan rakyat tidak mudah dibubarkan.

 

 

Pada 1980-an, Polandia berada di bawah rezim komunis yang represif. Stadion menjadi salah satu ruang di mana rakyat bisa sedikit lebih bebas. Suporter memanfaatkan chant dan spanduk untuk menyelipkan pesan politik. Gerakan Solidarność, yang dipimpin Lech Wałęsa, menemukan sekutu di tribun.

 

 

 

Banyak buruh dan pemuda yang aktif sebagai suporter kemudian mengisi barisan protes. Stadion yang setiap pekan terisi ribuan orang menjadi “tempat latihan” bagi demokrasi. Dari tribun, semangat Solidarność menyebar, hingga akhirnya rezim runtuh.

 

 

Chile punya kisah pahit. Stadion Nasional Santiago pernah dijadikan kamp konsentrasi setelah kudeta Pinochet 1973. Ribuan tahanan politik ditahan, disiksa, bahkan dieksekusi di sana. Stadion, yang biasanya jadi ruang kegembiraan, berubah jadi simbol teror.

 

 

Namun, bertahun-tahun kemudian, rakyat merebut kembali stadion. Mereka bernyanyi di tempat yang sama, kali ini melawan rezim. Stadion yang sempat jadi lambang ketakutan berubah jadi lambang perlawanan. Nyanyian di tribun bukan hanya tentang sepak bola, tapi juga tentang ingatan luka bangsa.

 

 

Tahun 2013, Turki diguncang protes Gezi Park. Yang menarik, kelompok suporter dari klub-klub besar Istanbul seperti Besiktas, Galatasaray, Fenerbahce, semua bersatu. Padahal biasanya mereka bermusuhan, sering baku hantam di jalanan. Tapi di Gezi Park, mereka melupakan rivalitas.

 

 

Ultras Carsi (Besiktas) terkenal berada di barisan depan, menghadapi gas air mata dan water cannon. Mereka membawa kreativitas tribun ke jalanan: spanduk raksasa, chant kompak, hingga taktik bertahan. Di situ kita belajar bahwa solidaritas bisa melampaui rivalitas ketika musuhnya adalah rezim.

 

 

Saat krisis ekonomi melanda Yunani pada 2010-an, rakyat memenuhi jalan menolak kebijakan penghematan. Di barisan depan, banyak kelompok ultras yang hadir. Mereka terbiasa menghadapi represi aparat, terbiasa menyalakan semangat lewat nyanyian.

 

 

Di stadion, mereka melawan klub besar yang identik dengan elit politik. Di jalanan, mereka melawan elit politik itu sendiri. Spanduk besar bertuliskan “Football Fans Against Austerity” terbentang di berbagai kota. Stadion menjadi ruang latihan solidaritas, jalanan menjadi panggungnya.

 

 

Brasil, negeri sepak bola, juga punya cerita. Tahun 2013–2014, rakyat marah karena pemerintah menghabiskan miliaran dolar untuk membangun stadion megah demi Piala Dunia, sementara ongkos hidup melambung. Stadion yang dibangun dengan uang rakyat berubah jadi simbol ketidakadilan.

 

 

Suporter yang biasanya merayakan sepak bola turun ke jalan dengan wajah marah. Mereka menuliskan protes seperti: “Kami tidak butuh Piala Dunia, kami butuh pendidikan dan kesehatan” 

 

 

Korea Selatan sejak Piala Dunia 2002 dikenal dengan dukungan suporter yang masif dan kompak. Kelompok Red Devils mampu mengisi jalan-jalan Seoul dengan jutaan orang bersorak mendukung tim nasional. Energi itu kemudian terbukti bisa beralih ke politik.

 

 

Pada 2016–2017, ketika rakyat menuntut Presiden Park Geun-hye mundur karena skandal korupsi, jutaan orang turun ke jalan. Pawai lilin itu terasa seperti pertandingan sepak bola raksasa: rakyat bernyanyi bersama, menciptakan energi kolektif yang tak bisa dihentikan. Dan akhirnya, Park benar-benar jatuh.

 

 

Bahkan sebelum Piala Dunia 2010 memperkenalkan vuvuzela ke dunia, alat tiup itu sudah jadi simbol perlawanan di Afrika Selatan. Di era apartheid, stadion adalah salah satu ruang di mana orang kulit hitam bisa berkumpul. Nyanyian, tarian, dan bunyi bising menjadi bentuk perlawanan terhadap represi.

 

 

Ketika Mandela akhirnya bebas dan apartheid runtuh, stadion-stadion itu menjadi ruang perayaan kebebasan. Sekali lagi, tribun menunjukkan dirinya sebagai ruang politik.

 

 

Di Argentina, kelompok suporter yang dikenal sebagai Barras Bravas punya reputasi keras. Mereka sering terhubung dengan politik, entah melalui intimidasi atau mobilisasi massa. Meski sering dipandang negatif, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa mereka adalah kekuatan jalanan yang nyata.

 

 

Ketika krisis ekonomi melanda pada awal 2000-an, banyak Barras Bravas turun ke jalan. Mereka memanfaatkan jaringan suporter untuk memobilisasi massa, menciptakan kebisingan yang mengguncang kota Buenos Aires. Stadion dan jalanan kembali menyatu dalam kebisingan yang menuntut perubahan.

 

 

Tahun 2013–2014, Ukraina dilanda protes besar melawan pemerintah Yanukovych. Ultras dari berbagai klub yang biasanya bermusuhan seperti kelompook suporter Dynamo Kiev, Shakhtar Donetsk, Metalist Kharkiv, mereka akhirnya bersatu di jalanan. Mereka membentuk kelompok perlindungan, menjaga demonstran dari serangan aparat dan preman bayaran.

 

 

Persatuan ultras itu menjadi simbol penting. Stadion yang biasanya memecah rakyat dengan rivalitas, kali ini justru mempersatukan mereka. Chant tribun berubah jadi nyanyian nasionalisme dan demokrasi. Euromaidan membuktikan sekali lagi bahwa energi tribun bisa jadi energi revolusi.

 

 

 

Pemain Sebagai Suara Politik

 

Selain tribun dan jalanan, peran pemain sepak bola juga tidak bisa diabaikan dalam memengaruhi opini dan kesadaran sosial. Beberapa pemain legendaris membuktikan bahwa lapangan hijau bukan hanya tempat mencetak gol, tapi juga panggung untuk menyuarakan perubahan.

 

 

Socrates, kapten Timnas Brasil dan dokter, menjadi simbol bagaimana olahraga bisa berpadu dengan politik. Ia memimpin gerakan “Corinthians Democracy”, menentang rezim militer Brasil pada era 1980-an. Tribun stadion Corinthians bukan hanya untuk mendukung gol, tapi juga menguatkan pesan politiknya. Fans bernyanyi mendukung demokrasi, chant mereka menjadi suara rakyat yang sulit dibungkam. Socrates menunjukkan bahwa seorang pemain bisa menginspirasi jutaan orang melalui kehadiran dan sikapnya di lapangan.

 

 

Di Inggris, Eric Cantona, legenda Manchester United, kerap menggunakan sorotan media untuk menyampaikan kritik sosial. Gestur kontroversialnya, seperti “kung-fu kick” yang terkenal, sering diartikan lebih dari sekadar kontroversi; Cantona menunjukkan bahwa pemain sepak bola bisa menjadi figur simbolik yang menyuarakan ketidakadilan atau kritik terhadap sistem. Fans tribun, yang sudah terbiasa mengikuti ritme chant dan koreografi stadion, sering memadukan dukungan olahraga dengan pesan sosial yang lebih luas.

 

 

 

Di Iran, Ali Karimi menjadi contoh bagaimana seorang pemain bisa menggunakan ketenarannya untuk memperjuangkan isu HAM dan solidaritas rakyat. Ia tak hanya bermain di lapangan, tetapi juga aktif mengomentari kondisi sosial-politik, memberikan dukungan kepada mereka yang berjuang melawan penindasan, dan menggunakan media sebagai amplifikasi suaranya.

 

 

Di Argentina, Claudio Caniggia memperlihatkan bagaimana pemain bisa memengaruhi massa saat krisis ekonomi. Dukungan pemain kepada protes atau aksi sosial sering memberi energi tambahan bagi fans, sehingga stadion dan jalanan saling terhubung sebagai ruang ekspresi kolektif.

 

 

Pemain seperti mereka menunjukkan bahwa sepak bola bukan hanya permainan, tapi juga arena pendidikan politik dan sosial. Suara tribun dan energi pemain saling menguatkan: chant fans menjadi medium komunikasi, flare menjadi simbol solidaritas, dan setiap gerakan di lapangan bisa menjadi katalis perubahan. Energi ini kemudian dapat diterjemahkan ke jalanan, kampanye sosial, atau aksi politik yang lebih luas.

 

 

Dengan menambahkan perspektif pemain, kita melihat bahwa perubahan sosial bukan hanya tentang massa di tribun atau jalanan, tapi juga tentang figur yang memiliki pengaruh simbolik. Stadion, fans, dan pemain membentuk ekosistem solidaritas dan kesadaran kolektif yang kuat, yang bisa menembus batas olahraga dan masuk ke ranah sosial-politik.

 

 

Potensi Tribun di Indonesia

 

 

Kenapa suporter bisa berbahaya bagi penguasa? Karena mereka terbiasa bergerak kolektif. Mereka tahu bagaimana mengorganisir ribuan orang dalam satu barisan. Mereka terbiasa disiplin, punya struktur internal, bahkan punya infrastruktur komunikasi sendiri: mural, poster, media alternatif, hingga kanal digital. Maka tidak heran kalau aparat juga takut pada chant stadion selain dari orasi politik.

 

 

Bayangkan kalau energi tribun benar-benar bersatu dengan energi jalanan. Chant jadi lagu protes, koreografi tribun jadi inspirasi visual aksi massa, solidaritas antar-rivalitas berubah jadi solidaritas politik. Sejarah sudah membuktikan bahwa di banyak negara, suporter bisa menjadi pemantik perubahan. Di Indonesia, potensi itu besar, dan mungkin sekarang sedang menuju titik nyalanya.

 

 

Demokrasi sejatinya bukan ruang hening, melainkan ruang gaduh. Demokrasi adalah suara, bukan monolog. Semua suara, termasuk yang serak dan sumbang, semua punya tempat. Kalau parlemen terus keras kepala menutup telinga, jangan salahkan bila rakyat memilih tribun dan jalanan sebagai panggung utama demokrasi. Karena di sana, kebisingan bukan sekadar noise, melainkan musik paling jujur. Musik yang pernah menjatuhkan diktator, yang pernah melahirkan revolusi, dan mungkin saja bisa kembali mengubah arah negeri ini.

 

 

Saya percaya, suara rakyat dapat juga lahir dari tribun. Suara serak lebih tulus daripada pidato pejabat. Dentuman bass drum lebih jujur daripada lonceng parlemen. Spanduk lebih tajam daripada baliho politisi.

 

 

 

Bayangkan suatu hari, ketika energi tribun benar-benar bertemu dengan energi jalanan. Ketika suporter tidak hanya bernyanyi tentang rival klub, tapi juga tentang harga pangan. Ketika flare dinyalakan bukan hanya untuk menyambut kickoff, tapi juga untuk menyalakan solidaritas.

 

 

Itu bukan mimpi. Kita sudah melihatnya di Mesir, Serbia, Turki, Yunani, Brasil, Korea Selatan, Afrika Selatan, Argentina, Italia, Ukraina. Dan di tanah kita sendiri, tragedi Kanjuruhan membuktikan bahwa solidaritas suporter bisa melampaui segala sekat.

 

 

Perubahan besar tidak lahir dari ruang sidang yang steril. Ia lahir dari tribun yang gaduh, dari jalanan yang penuh teriakan. Dari suara rakyat yang tidak bisa dibungkam.

 

 

Dan ketika suara itu benar-benar bergema, tidak ada kekuasaan yang bisa menutup telinga. Tidak ada gas air mata yang bisa meredam lagu rakyat. Tidak ada yang bisa membungkam solidaritas.

 

 

Saya percaya, masa depan demokrasi ada di tribun dan jalanan. Suara rakyat yang serak, gaduh, tapi jujur. Di setiap suara, setiap dentuman drum, setiap flare, tersimpan janji bahwa rakyat akan selalu bersatu ketika suara mereka dibutuhkan.

 

 

 

Comments

Be the first to comment.

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.
Thanks for contacting us! We'll get back to you shortly. Thanks for subscribing Thanks! We will notify you when it becomes available! The max number of items have already been added There is only one item left to add to the cart There are only [num_items] items left to add to the cart