Melawan Penjajahan Dengan Sepakbola

Melawan Penjajahan Dengan Sepakbola

Tepat di hari ini, pada tanggal 19 April 1930, federsi sepakbola tertinggi di negara kita menginjak usia 91 tahun. Bukan waktu yang singkat, perjalanan panjang PSSI dipenuhi dengan intrik dan perjuangan dari para pendirinya. Federasi tertinggi yang menaungi sepakbola Indonesia ini lahir 15 tahun sebelum negara yang memiliki simbol Garuda Pancasila merdeka dari segala bentuk penjajahan pada saat itu. Meskipun kondisi PSSI hingga detik ini masih karut marut dengan segala permasalahan yang ada ditubuhnya, sejatinya PSSI menjadi salah satu alat perjuangan guna merebut kemerdekaan dan perlawanan pada penjajahan di Indonesia pada saat itu.  

 

Sepakbola memang bukanlah hal yang baru di Indonesia. Cikal bakal sepak bola Indonesia telah muncul beberapa ratus tahun kebelakang. Jauh sebelum negara ini merdeka. Menyikapi hal tersebut, maka sudah jelas dalam perjuangan memerangi penjajahan dan kolonialisme, ada sisi lain dalam perjuangan rakyat Indonesia selain daripada gencatan senjata, nama perjuangan itu adalah sepakbola. Sejak dahulu kala sepakbola memang sudah menjadi hiburan bagi masyarakat luas yang dapat menyatukan berbagai elemen khalayak luas, maka sudah jelas sepakbola Indonesia tak akan mungkin dapat dilepaskan dari semangat melawan penjajah pada saat itu.

 

Pada akhir abad ke-18, sepakbola memang sudah mendarat di Indonesia, namun sayang permainan yang diangap hiburan milik semua kalangan ini hanya dimainkan oleh para tentara Belanda yang menjajah rakyat Indonesia pada saat itu, lalu bagaimana dengan masyarakat Indonesia sendiri? Ya, mereka hanya menjadi penonton yang senantiasa melihat permainan yang dimainkan oleh tentara Belanda pada saat itu.

 

 

Data tersebut dipertegas dalam teks yang dituliskan oleh salah satu organisasi amatir internasional yang didedikasikan untuk mengumpulkan statistik tentang sepak bola. Yayasan ini bertujuan untuk membangun sebuah arsip lengkap informasi yang berhubungan dengan sepak bola dari seluruh dunia yang lahir pada tahun 1994 yaitu RSSSF ( Rec.Sport.Soccer Statistics Foundation) info yang dituliskan oleh rsssf, pada tahun 1887, sepak bola sudah sering dimainkan oleh orang-orang Belanda di Gymnastiek Vereeniging, sebuah gelanggang olahraga yang dibangun pada masa Hindia Belanda di Medan, dan seperti yang sudah dituliskan diatas, para pribumi masih saja berperan sebagai penonton di pinggir lapangan. Pada akhir tahun 1880-an, bangsa pribumi mau pun keturunan Tionghoa yang berada di Nusantara diberikan kesempatan dan keleluasaan mengambil bagian dalam sepakbola pada saat itu. Lalu mereka bergabung dalam beberapa pertandingan di kota-kota besar yang ada di wilayah Pulau Jawa.

 

Gayung bersambut, pada tahun 1914, turnamen resmi sepakbola yang terorganisir pertama kali di Indonesia dimulai. Dalam rangka memperingati koloniale tentoostelling (perayaan kolonial Belanda) pemerintah Hindia Belanda menggelar kejuaraan sepak bola yang diikuti 4 tim dari perwakilan kota besar di Jawa, yakni Bandung, Batavia (Jakarta), Surabaya, dan tuan rumah Semarang. Salah satu yang menarik dari pesta besar kolonial Belanda ini adalah diikut sertakanya hiburan olahraga yang sudah jelas dapat menarik masa pada saat itu. Faktor lain yang mendukung keberhasilan koloniale tentoostelling karena pelaksana acara tersebut juga mengadakan pasar malam yang bukan hanya ramai oleh para pedagang, tapi acara ini juga diisi oleh banyak pertunjukan yang dapat menghibur masyarakat luas. Selama 4 bulan lamanya, acara yang dimulai dari 13 Agustus dan berakhir pada 15 November 1914, masyarakat yang terjajah ini dimanjakan oleh pesta yang dibuat oleh si penjajah ini, dan yang terpenting dalam perayaan ini adalah dimana sepakbola menjadi salah satu hiburan yang berhasil menarik minat masa pada saat itu.

 

Ketertarikan masyarakat Indonesia terhadap sepakbola ternyata sangat besar dan terus menyeruak ke seluruh penjuru daerah di Nusantara. Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu yang jelas masih mengatur segala hal yang ada di Indonesia termasuk sepakbola. Melihat beasrnya animo masyarakat pada sepakbola, mereka lantas menggelar kejuaraan dengan skala yang lebih besar lagi dengan nama Stedenwedstrijden, cikal bakal lahirnya kompetisi sepak bola di masa yang akan datang.

 

Lahirnya NIVB

Kompetisi yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda itu menjadi pemantik dan bahan bakar bagi para pemuda Indonesia yang memiliki semangat perjuangan guna berjuang melawan penjajahan lewat olahraga, khususnya sepakbola. Tanpa membutuhkan waktu lama, menjamurnya sepak bola ternyata mulai menyatukan para pemuda pribumi di seluruh wilayah besar di Indonesia. Pada saat itu juga, ledakan pemuda lewat olahraga pertama kalinya meledak. Semangat juang para pemuda ini melahirkan perkumpulan-perkumpulan mulai dari Bond Batavia (WJVB), Bond Surabaya (SBV), Bond Bandung (BVB), dan Bond Semarang (Semarangsch Voetbal-bond en Omstreken/SVO).

 

Para pemuda dari 4 perkumpulan daerah Indonesia ini membuat pergerakan yang lebih sporadis. Mereka berhasil melahirkan organisasi yang setara dengan federasi sepakbola negara yang dinamai Nederlandsch-Indische Voetbal Bond (NIVB) yang pada saat itu diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Sejarah sepakbola Indonesia pada masa kemerdekaan mencatatkan federasi yang diakui oleh pemerintah Hindia Belanda itu berdiri pada 20 Oktober 1919. Tanpa tedeng aling-aling, NIVB pun langsung menggulirkan tekadnya dengan masuk dalam keanggotaan federasi sepak bola dunia, yakni FIFA pada 15 April 1924, dan ditetapkan secara resmi pada 24 Mei 1924.

 

Komersialisasi Sepakbola Era Hindia Belanda

Kompetisi yang di organisir oleh NIVB di tiap daerah memperlihatkan perkembangan yang cukup pesat, hal ini jelas menjadikan sepakbola tidak hanya hiburan semata dalam perkembangannya. Sepakbola dalam kompetisi NIVB berhasil mereka komersialisasi kan demi mendapat keuntungan berlipat dari setiap gelaran sepakbola pada saat itu.

 

Hal ini rupanya diakibatkan ketika Eropa terdampak depresi ekonomi pada tahun 1920-an. Depresi ekonomi ini berimbas langsung pada perekonomian Hindia Belanda. Harga komoditi ekspor Hindia Belanda mengalami penurunan di Pasar Eropa. Banyak pedagang yang gulung tikar, pabrik-pabrik yang terpaksa harus tutup, dan PHK di mana-mana.

 

Akhirnya, NIVB memutuskan kompetisi sepakbola yang mereka organisir sebagai alat pendapatan dengan mencetak sebuah harga pada tiket pertandingan. Tetapi tidak hanya menyuguhkan pertandingan sepakbola, NIVB juga menyuguhkan hiburan rakyat sebelum pertandingan sepak bola dimulai. Hal yang membuktikan hal ini adalah ketika NIVB pernah meraup keuntungan 12.425 Gulden dari 12.559 orang yang hadir pada laga persahabatan di Kota Bandung tahun 1922.  

 

Perlawanan Terhadap NIVB

Dari awal kemunculannya, NIVB memang dirasa tidak adil dalam mengorganisir sepakbola. Hal ini ternyata memicu jong-jong di daerah lain seperti Yogyakarta, Malang, Madiun dan beberapa daerah lainnya melahirkan bond-bond baru. Semangat dari bon baru yang mulai aktif dalam organisasi tersebut menjadikan sepakbola sebagai alat persatuan untuk membuat pergerakan melawan kolonialisme.

 

Melihat pergerakan tersebut, pemerintah Hindia Belanda pun mempersempit pergerakan bond-bond dalam beraktivitas. Para pemuda sering kali mendapatkan kesulitan untuk bermain atau sekadar menonton pertandingan sepak bola, karena lapangan-lapangan yang bisa digunakan masih dikuasai oleh kaum kolonial. Hal ini pun berlaku bagi rakyat Indonesia yang ingin menyaksikan pertandingan sepakbola, hanya masyarakat pemilik gulden (mata uang Hindia Belanda) saja yang boleh menikmati permainan dan menikmati pertandingan sepakbola.

 

Kenyataan tersebut yang membuat para pemuda di tiap daerah naik pitam. Mereka melakukan perlawanan dengan mengorganisir kekuatan yang lebih besar di tiap daerah dengan mendirikan perkumpulan anyar untuk menekan ketidak adilan pemerintah Hindia Belanda. Hal ini pula ditujukan untuk mengakomodir pribumi agar bisa menikmati sepakbola sepenuhnya.

 

Pergerakan perlawanan para pemuda melalui sepak bola guna menentang kolonialisme pun terus menjamur dalam sejarah dunia sepakbola Indonesia pada masa kemerdekaan. Semua pemuda mulai satu irama dengan menjadikan si kulat bundar jadi media perjuangan mencapai kemerdekaan di Indonesia. Hal ini pula yang membuat jong-jong yang diprakarsai oleh Ir. Soeratin Sosrosoegondo ikut mendorong pergerakan Sumpah Pemuda yang berhasil dihelat pada Oktober 1928.

 

 

Tombak Perlawanan Itu Bernama Soeratin

Tanpa tedeng aling-aling, setelah menginjakkan kakinya ke Tanah Air, tepat pada awal tahun 1928 selepas menyelesaikan pendidikan tinggi di Sekolah Teknik Tinggi di Hecklenburg, Hamburg, Jerman, Soeratin disibukkan dengan pekerjaannya di perusahaan konstruksi milik Belanda.

 

Selain daripada mengurus pekerjaannya, Soeratin mencuri waktu di sela-sela waktu kerjanya itu, secara diam-diam Soeratin aktif dalam organisasi kepemudaan. Bukan tanpa tujuan, hal ini ia lakukan guna menggalang kekuatan pemuda untuk melawan kolonialisme lewat sepak bola. Rupanya hal ini bukanlah hal yang sia-sia, Soeratin berhasil menanamkan sikap nasionalisme di kalangan pemuda sebagai darah segar untuk menentang kekuasaan Belanda.

 

Para pemuda yang memiliki daya juang tinggi ini seakan memiliki motivasi berlipat dalam melawan penjajahan. Mereka mengamalkan butir-butir keputusan yang telah disepakati bersama dalam pertemuan para pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 (Sumpah Pemuda).

 

Saking seriusnya, para pemuda dibawah komando Soeratin terus mengumpulkan pemuda yang gemar bermain sepakbola. Mereka semakin gencar menggelar pertemuan bawah tanah untuk mewujudkan cita-citanya menciptakan organisasi otonom di lapangan hijau tanpa diatur pemerintah Hindia Belanda.

Pergerakan bond-bond yang dikomandoi oleh Soeratin semakin membara dalam menunjukkan sikap nasionalismenya terhadap Indonesia. Para pemuda ini pun rajin menggelar pertemuan dengan tokoh-tokoh sepak bola di beberapa kota seperti Solo, Yogyakarta, dan Bandung. Pertemuan ini dilakukan secara diam-diam guna menghindari sergapan Polisi Belanda (PID).

 

Dilansir dari laman resmi PSSI, dalam sejarah sepak bola Indonesia pada masa kemerdekaan, Soeratin sempat mengadakan pertemuan di hotel kecil Binnenhof di Jalan Kramat 17, Jakarta, dengan Soeri, ketua VIJ (Voetbalbond Indonesische Jakarta), dan juga pengurus lainnya. Tujuannya adalah mematangkan gagasan perlunya dibentuk sebuah organisasi sepak bola nasional.

 

Tidak berhenti sampai disitu, Soeratin dan beberapa rekannya pun terus menggodok gagasan tersebut dengan menggelar kembali pertemuan di Bandung, Yogyakarta, dan Solo yang dilakukan dengan beberapa tokoh pergerakan nasional. Sementara itu, untuk kota-kota lainnya, pematangan dilakukan dengan cara kontak pribadi atau melalui kurir, seperti dengan Soediro yang menjadi Ketua Asosiasi Muda Magelang.

 

Ledakan dari pergerakan ini meledak ketika 7 bond, yakni Voetbal Indonesische Jacatra (VIJ), Bandoengsche Indonesische Voetbalbond (BIVB), Persatuan Sepak bola Mataram (PSM Yogya), Voerslandshe Voetbalbond (VVB Solo), Madioensche Voetbalbond (VVB), Indonesische Voetbalbond Magelang (IVBM), dan Soerabajasche Indonesische Voetbalbond (SIVB) menggelar pertemuan serius di Gedung Sosietet Hande Priyo di bilangan Jalan Sriwedani, Gondomanan, Yogyakarta.

 

Terbentuknya PSSI Sebagai Media Perlawanan

Dialog yang dipimpin oleh M. Daslam Hadiwasito dan IR. Soeratin Soesrosoegondo itu juga dihadiri beberapa orang, seperti R. Atot Soerawinata (BIVB),  Daslam Hadiwasito (Persatuan sepak bola Mataram Yogyakarta), A. Hamid, dan M. Amir Notopratomo.

 

Ada juga Soekarno (bukan Presiden pertama RI) dari delegasi Vortenlandsche Voetbal Bond Solo (VVB), Kartodarmoedjo  (MVB),  E.A. Mangindaan (IVBM), dan Pamoedji dari Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB).

 

Para pemuda yang mewakili bond pribumi itu terlibat adu argumentasi yang serius sampai pada akhirnya mereka menyepakati mendirikan badan nasional baru bernama Persatuan Sepak raga Seluruh Indonesia (PSSI) pada 19 April 1930. Namun Persatuan Sepak raga Seluruh Indonesia hanya berumur jagung dan berevolusi menjadi Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) saat kongres perdana digelar di Solo di tahun yang sama.

 

Setelah itu, dalam sejarah sepak bola Indonesia pada masa kemerdekaan, bond-bond tersebut mulai menasionalisasi diri.

 

Dikutip dari buku Persib Undercover: Kisah-kisah yang Terlupakan melansir Majalah Panji Poestaka, beberapa bond yang telah ada sebelumnya mengubah nama mereka menjadi lebih nasionalis, termasuk bond dari Bandung, yakni BIVB. Perkumpulan sepak bola asal Kota Kembang tersebut berganti nama ke dalam bahasa Indonesia menjadi Persatuan Sepak bola Indonesia Bandung (PSIB).

 

Hibernasi Sepakbola Indonesia di Masa Pendudukan Jepang

Perjalanan panjang sepak bola Indonesia pada masa kemerdekaan dalam sepenggal kisah menentang kolonilaisme menemui jalan berliku. PSSI pimpinan Soeratin yang jadi salah satu pergerakan melawan penjajah Belanda mulai sulit melakukan aktivitas sejak masuknya Jepang di medio 1940-an. Bahkan, Jepang yang kala itu bisa mencium jika aktivitas pemuda yang mencintai sepak bola bisa membahayakan mereka. Jepang tidak tinggal diam, mereka langsung memberikan respon dengan tidak memberikan kesempatan bagi para pemuda, termasuk yang ada di dalam PSSI untuk melakukan perlawanan. Sampai-sampai, federasi sepak bola Indonesia itu tak lagi berjalan secara mandiri sejak 8 Maret 1942.

 

Masih dikutip dari buku Persib Undercover: Kisah-kisah yang Terlupakan, PSSI kala itu masuk dalam naungan IGB. Semua kegiatan olahraga disatukan dalam organisasi Rengo Tai Iku Kai bentukan Jepang yang berdampak pada aktivitas pemuda di lapangan hijau mati suri.

 

Pada waktu bersamaan, Soeratin pun mulai menghilang setelah melepas jabatannya sebagai Ketua Kehormatan PSSI usai dipilih saat kongres pada 1931. Dikabarkan, pria kelahiran Yogyakarta, 17 Desember 1898 memilih hengkang ke Bandung hingga akhirnya namanya benar-benar tak terdengar lagi.

 

Titik Balik Perjuangan Sepakbola Indonesia

Pada masa pendudukan Jepang, segala aktivitas masyarakat Indonesia memang sangat sulit. Ideologi fasisme Negeri Matahari Terbit bahkan memaksa masyarakat jauh lebih menderita dengan sistem kerja paksa yang dikenal dengan nama Romusha.

 

Pengalihan kegiatan pemuda dalam aktivitas sepak bola, mereka lebih sering mengerjakan hal-hal yang berat, termasuk salah satunya pembangunan jalan kereta api jalur Saketi ke Bayah, yang disebut sebagai sistem kerja paksa paling kejam, karena harus mengorbankan hampir 100 ribu orang.

 

Namun rupanya secercah bara perjuangan para pemuda yang sudah dibangun sebelumnya lewat sepak bola tidak akan pernah padam. Para pemuda di tiap daerah terus mengobarkan semangat juangnya lewat sepak bola, salah satunya adalah kelompok yang digawangi oleh tokoh asal Yogyakarta, Ki Bagoes Hadikoesoemo.

 

Di tengah keterbatasan, pria yang menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah periode 1942-1953 itu bersama kawan-kawannya mampu mendirikan klub bernama Kauman Voetbal Club (KVC), cikal-bakal dari lahirnya Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PSHW). Aksi itu mengingatkan kembali pada sosok Soeratin dalam sejarah sepak bola Indonesia pada masa kemerdekaan, yang tak lelah menyuarakan perjuangan pemuda untuk bisa merdeka.

 

Sementara, di wilayah lain pun tokoh-tokoh sepak bola yang sebelumnya sempat mendirikan PSSI bersama rakyat terus berjuang menggalang kekuatan untuk bisa mengusir Jepang. Sampai akhirnya, perjuangan rakyat berbuah hasil, tatkala Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

 

Setelah dibacakannya Proklamasi, pergerakan sepak bola Indonesia masih belum bisa kembali sepenuhnya. Untuk melakukan normalisasi, lahirlah organisasi baru dengan nama Gerakan Latihan Olahraga (Gelora) dan kemudian Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) untuk mengurus organisasi olahraga Indonesia yang bertahan saat bentuk negara masih berstatus Republik Indonesia Serikat (RIS).

 

Perjuangan bond-bond dalam sejarah sepak bola Indonesia pada masa kemerdekaan ternyata belum kembali seperti sedia kala, karena Belanda pada saat itu masih belum mengakui kemerdekaan Indonesia. PSSI yang dipegang oleh Artono Martosoewignyo itu masih berjuang untuk diakui kembali di Indonesia oleh pemerintah Belanda.

 

Sedangkan, eks ketua PSSI, Soeratin berjuang di medan perang sejak namanya kembali mencuat pada 1946.  Bukan di lapangan hijau lagi, ia muncul dengan seragam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berpangkat Letnan Kolonel, dan memimpin pasukan untuk mengangkat senjata melawan agresi militer Belanda setelah kemerdekaan.

 

Pada saat itu, pemerintah Belanda masih percaya diri untuk menguasai Tanah Air, mereka mencoba memanfaatkan kesempatan dengan kembali menghidupkan NIVU. Bahkan, mereka sempat membuat kompetisi untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan PSSI. Mereka juga menginisiasi untuk melahirkan Voetbal Uni Verenigde Staten van Indonesia/Ikatan Sepak bola Negara Indonesia Serikat (VUVSI/ISNIS), federasi ada dibawah naungan mereka.

 

Perjuangan keras rakyat Indonesia pun akhirnya membuahkan hasil gemilang, setelah sistem pemerintahan RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950, semua organisasi keolahragaan yang ada di Indonesia hidup kembali. Untuk organisasi sepak bola yang dinaungi PORI misalnya, mengembalikan lagi nama PSSI lewat Kongres PSSI yang dihelat di Semarang pada 2-4 September 1950.

 

Dalam sejarah sepak bola Indonesia pada masa kemerdekaan hingga kini, timnas kita paling banter cuma bisa meraih gelar juara di kompetisi Asia Tenggara saja. Bahkan, prestasi mereka terus merosot, sampai-sampai, bersaing di ASEAN saja sangat sulit. Terbukti dengan seretnya prestasi yang diraih Timnas Indonesia sampai saat ini, setelah gelar juara terakhir berupa medali emas dipersembahkan pada ajang SEA Games 1991.

 

Sejak 91 tahun berdirinya PSSI, prestasi sepak bola Tanah Air belum bisa mengepak kan sayapnya. Kemelut yang seolah tak ada habisnya di tubuh PSSI dan tangan-tangan mafia yang hinggap disayap sang garuda pun menjadi masalah yang tak kunjung usai yang menjadi salah satu penyebab macetnya prestasi sepak bola nasional.

 

 

Penulis: Rifqi Maulana

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.