Fashion and Football Culture

Fashion and Football Culture

Berbicara tentang sepakbola, kita tidak akan lepas dari suporter. Duh ngomongin suporter sepakbola lagi aja nih hehe. Kalau kita lihat, kelompok suporter di Indonesia sampai saat ini sangat banyak dan beragam. Keberagaman perihal cara mendukung, berpakaian sampai pola pikir dari banyaknya kelompok suporter dewasa ini menjadi hal yang menarik untuk dibahas, eh diobrolin. Kelompok suporter di Indonesia saat ini memang kaya yang gak bisa dibendung sisi kreatif nya. Hampir diseluruh stadion, di tahun 2000 sampai kurang lebih tahun 2009-an segelintir suporter hadir dengan pakaian yang unik dan menarik, kaya nonton piala dunia. Ada yang pake kostum local horror a.k.a pocong dan kunti, ala-ala jagoan tradisional dan banyak lagi keunikan kostum suporter sepakbola pada saat itu.

Dewasa ini, rupanya sepakbola tetap menjadi salah satu olahraga yang masih diminati oleh khalayak luas, tua, muda, pria, wanita hingga secara tidak langsung tidak ada batasan dalam permainan yang banyak diminati oleh banyak orang ini. Suporter yang mewarnai isi stadion pun tidak kalah dengan para pendahulunya yang memiliki semangat sangat tinggi dalam mendukung tim kebanggaan mereka. Tapi rupanya bukanlah alasan yang masuk akal ketika kita membandingkan cara mendukung suporter terdahulu yang lebih umum didengar dengan nama suporter tradisional yang dibandingkan dengan suporter yang memiliki umur lebih muda dibanding mereka, toh mungkin semangat nya sama aja kan, malah gak sedikit suporter yang memiliki umur yang lebih muda punya semangat yang lebih militan, mungkiiiiin ya hahaha.

Gayung bersambut, masuk ke tahun 2010-2011, kelompok suporter di Indonesia kedatangan budaya baru yang didominasi oleh kalangan muda yang memang masih mencari alur hidup mereka. Mengulang ke kalimat sebelumnya yang membahas perihal gaya berpakaian suporter yang sangat beragam, kelompok suporter dengan identitas baru ini memiliki gaya dan warna baru yang mereka adopsi dari Negeri Ratu Elizabeth, yaaaa Inggris.

Pada tahun tersebut, film seperti Green Street Hooligan, Away Days, Cass, The Firm dan The Football Factory rupanya memiliki tanggung jawab besar atas tumbuh kembang nya kelompok suporter ini di Indonesia. Tidak hanya film-film diatas, media cetak berbentuk buku pun menjadi dalang dalam menjamurnya kelompok suporter baru ini. Buku karya Phil Thornton yang berjudul “Casuals” dan buku berjudul “Dressers” juga turut memengaruhi mereka dan satu yang tidak dapat dilupakan, musik! Salah satu bagian terpenting dalam arus masuknya subkultur ini setelah fashion, tapi ya fashion subkultur ini juga pengaruh nya dari musik juga sih, cukup rumit tapi seru sih haha. Bukan hal asing lagi sih ya kalau diobrolin dijaman sekarang tentang football casuals, tapi ya gapapa lah ya, mudah-mudahan ada bedanya obrolan kali ini sama obrolan sebelumnya haha.

Sedikit Mengenai Football Casuals.
Pada tahun 60-an, muncul budaya baru yang di prakarsai oleh pergerakan anak muda pada saat itu di Inggris. Budaya baru ini sering kita kenal dengan istilah subculture. Salah satu subculture yang mempengaruhi cara berpakaian para suporter sepak bola di Inggris pada saat itu adalah subculture mod. Pada akhir tahun 60an subculture ini banyak diminati oleh anak muda di Inggris yang akhirnya mempengaruhi baik dalam pola pikir hingga cara berpakaian.

Gayung bersambut, pada tahun 70an sekelompok anak muda dan kaum kelas pekerja yang menjadi suporter sepak bola juga kembali memprakarsai sebuah pergerakan subculture baru pada, saat itulah muncul subculture baru yang biasa kita kenal dengan sebutan skinhead. Pergerakan anak muda dan kaum pekerja ini sering terlihat di terraces pada saat itu dengan segala ciri khas dari mereka. Cara mendukung yang cukup militan hingga cara berpakaian mereka menjadi ciri khas tersendiri pada saat itu. Balutan pakaian dari brand asal Inggris menjadi sesuatu yang cukup baru pada saat itu. Dengan mengenakan polo shirt, kaos, jaket bomber, jaket harrington dan tidak lupa sepatu boots yang menjadi ciri bahwa mereka adalah kaum kelas pekerja. Subculture skinhead menjadi sorotan utama media-media di Inggris pada saat itu.

Setelah menjadi sorotan dari berbagai media para pemuda dan kaum kelas pekerja yang mencintai sepak bola pada saat itu semakin terbatas pergerakannya, hal ini dikarenakan sorotan media yang hanya memberitakan bahwa para skinhead menjadi biang kerusuhan di terraces pada saat itu. Diakhir tahun 70an kembali muncul subculture baru dikalangan anak muda dan kaum kelas pekerja di Inggris, Football casuals, salah satu subculture yang bisa dibilang sebagai anak bungsu dari subculture sebelumnya dengan spirit para pendahulunya. Pada masa inilah sepak bola dan fashion semakin erat hubungannya, bahkan dapat juga diistilahkan telah melebur menjadi suatu hal yang berdampingan.

Football casuals, subculture yang muncul diakhir tahun 70an ini awal mulanya terlihat ke permukaan setelah suporter Liverpool melakukan perjalanan dari Eropa usai menghadiri pertandingan antara Liverpool melawan St Etienne dilaga perempat final liga champion 1977-1978. Cara berpakaian mayoritas suporter Liverpool yang didominasi oleh kaum kelas pekerja ini menjadi sesuatu yang beda pada saat itu. Hal inilah yang menjadikan banyak orang menyoroti cara berpakaian dalam mendukung tim sepak bola dan istilah football casuals ini muncul. Lalu, apa itu football casuals? Jika dilihat dari pakaian yang dipakai, mungkin sangat mudah untuk mengidentifikasi mereka, pakaian olahraga seperti tracktop, trackpants polo shirt, celana jeans yang disempurnakan dengan sepatu trainers dari brand asal eropa menjadi sesuatu yang wajib bagi para penggiat skena subculture football casuals ini. Tetapi tidak hanya itu, pola pikir dan pergerakan yang mereka lakukan juga terinspirasi dari spirit para pendahulunya yang didominasi oleh kalangan anak muda dan kaum kelas pekerja.

Subculture football casuals sendiri memiliki peran besar dalam dunia fashion. Tidak dapat dipungkiri ketika pada awal mula kemunculannya disebabkan oleh kesadaran para suporter agar terlihat beda dan elegan ketika mendukung tim kesayangannya. Bagi para pecinta dunia fashion, subculture football casuals ini menjadi alternatif dalam berpakaian. Dalam persebarannya, subculture football casuals ini memiliki perbedaan dalam dunia fashion. Didaerah selatan Inggris terutama London dapat diidentikan dengan pakaian yang identik dengan brand seperti Aquascutum, burberry dan Giorgio Armani, sedangkan dari daerah Midlands cenderung dengan perpaduan kedua brand ternama dengan tetap menggunakan pakaian olahraga dengan tetap menggunakan sepatu trainers yang menjadi identitas dari mereka. Selain daripada itu, para penggiat skena subculture football casuals ini juga sering terlihat menggunakan pakaian berwarna cerah seperti kuning, biru, ungu sampai merah muda yang dipadukan dengan celana jeans. Pada saat itu terraces terlihat lebih berwarna dan terkesan elegan dengan hadirnya subculture football casuals ini.

Berlanjut sampai ke akhir 80an, subculture football casuals ini terus merambah dunia fashion yang dimana bisa kita lihat ketika band-band Inggris yang pada saat itu juga mengadopsi subculture ini. Bisa dilihat ketika The Stone Roses, Inspiral Carpets dan The High ikut meramaikan subculture ini dengan berpakaian ala suporter pada saat iu. Hal ini dikarenakan band band tersebut juga mencintai dunia sepak bola. Bisa kita lihat ketika mereka menggunakan tracktop, bucket hat dan sepatu trainers. Hingga sampai tahun 90an subculture ini terus mewabah dan berkembang dengan banyaknya anak muda dan para musisi yang mencintai dunia sepak bola juga mengadopsi subculture football casuals ini. Gary “Mani” Mounfield , Mark “Bez” Berry, Damon Albarn hingga Liam Gallagher adalah sosok yang menjadi roll model bagi kebanyakan anak muda yang mencintai dunia sepak bola dan juga skena subculture football casuals.

Setelah kurang lebih berlayar selama 10 tahun, kehadiran football casual di Indonesia masih memiliki banyak kontroversi. Berbagai perbedaan pendapat mengenai benang merah subkultur ini memang sudah biasa terjadi dalam subkultur baru yang hadir di Indonesia ini. Dari mulai yang menjaga kemurnian subkultur ini hingga orang-orang yang mulai memodifikasi gaya yang di usung oleh subkultur ini.

Memang tidak dapat dipungkiri, subkultur asal Negeri Ratu Elizabeth ini memang sangat memengaruhi kelompok suporter di Indonesia, tidak hanya kelompok, individu-individu pun tidak luput dari pengaruh subkultur ini. Film, buku dan music yang dibahas sebelumnya sudah menjadi nilai tolak ukur dalam memahamai apa-apa saja yang ada dalam subkultur ini. Jika kita melihat Inggris di akhir tahun 70-an, tidak sedikit juga dari mereka yang menggunakan pakaian dan produk-produk dari negara mereka sendiri, walaupun tidak sedikit juga yang menggunakan brand asal Italy, Germany dan beberapa negara Eropa lainnya. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh para pendahulunya seperti Mod dan Skin Head yang sangat besar pengaruhnya pada subkultur terakhir di Inggris ini.

Kelompok suporter di Indonesia pun tidak luput menjadi mangsa pasar Eropa dengan mewabahnya subkultur ini. Tetapi tidak hanya dalam segi fashion, suporter di Indonesia pun rupanya mengadopsi militansi yang juga memang sangat identik dengan kelompok suporter Inggris pada masa saat itu, tapi kalau ngomongin masalah militansi dan semangat dalam mendukung suatu tim, di Indonesia juga sama, udah dari tahun 50-an orang Indonesia menggemari dunia sepakbola, jadi ya masalah militansi mah kayanya sama aja.

Namun, dalam segi fashion yang ada dalam dunia sepakbola, rupanya Indonesia memang selalu menjadi target pasar dari berbagai negara maju di dunia. Dari dahulu kala, warga Indonesia memang selalu menggemari budaya barat, dapat dilihat ketika musisi asal Indonesia yang memainkan musik-musik berbau budaya barat seperti rock, rock n roll dan pop pada saat itu dan merasuk pada dunia suporter Indonesia ditahun 2000-an. Beberapa nama kelompok sepakbola pada saat itu memang terdengar seragam, banyak dari mereka manambahkan kata “the” dan juga tidak sedikit dari mereka yang menggunakan nama-nama dari luar negeri sana.

Hal ini rupanya masih terus berlanjut sampai masuk kedalam dunia fashion yang mungkin memang sudah menjadi warisan bagi negara dunia ketiga ini. Segala rupa yang berbau barat memang selalu menjadi hal yang lebih unggul dalam sudut pandang khalayak luas di Indonesia, gak masalah sih lagian gak penting juga kali ya mempermasalahkan hal gitu hahaha. Tapi, gak ada salahnya juga kan kita lebih bijak gitu, bukan bijak juga sih maksudnya gak ada salahnya kalau kita emang suka sama budaya barat dan brand-brand yang emang dari sana kita juga gak ada salahnya buat suka sama budaya dan produk yang lahir dan berkembangnya di negara kita sendiri, mungkin gak ada salahnya.

Fashion dalam subkultur football casuals memang tidak akan bisa lepas dari brand-brand jenama Eropa seperti Adidas yang udah jadi kaya sepatu wajib dalam subkultur ini. Hal ini jelas membuat brand asal Germany ini minim akan kompetitor, ada sih kompetitor nya kaya puma, walsh, reebok, diadora dan lainnya lah masih ada beberapa brand sepatu yang biasa dipake dalam subkultur ini tapi Adidas tetep jadi pilihan utama, Adidas aja pokonya Adidas hahaha. Ya tapi emang subkultur yang satu ini selalu mengadopsi pakaian yang berbau sports wear juga sih, walaupun terus mengalami pergeseran ke gaya rave music, militer sampai outdoor juga terus berkembang sampai saat ini, walaupun ada juga beberapa daerah di Inggris sana yang menggunakan outdoor gear di era 80-an karena iklim. Ah kejauhan ngomongin luar terus tar aja ya ngomongin iklim dan fashion yang berhubungan dengan sepakbola hahaha.

Mencintai dan mendukung produk dalam negeri merupakan cara berpikir untuk menunjukan kesetian dan kepeduliaan yang tinggi dalam menggunakan produk dalam negeri ini. Produk dalam negeri ini adalah produk yang di keluarkan atas inovasi dan kreatif anak bangsa yang mengeluarkan banyak karya dalam bermacam macam produk untuk memajukan suatu bangsa. Mencintai produk dalam negeri perlu ditanamkan karena memiliki dampak yang sangat besar untuk perkembangan ekonomi di suatu negara. Semakin banyak produk yang kita gunakan maka akan berdampak besar bagi perekonimian dan dapat membantu masyarakat kita dalam pekerjaan, karena jika produk negeri banyak digunakan otomatis banyak membutuhkan tenaga kerja supaya produk dalam negeri ini bisa maju pesat, hal ini juga yang dilakukan oleh para pemuda Inggris di era 60 sampai 80-an, apa bisa anak muda di Indonesia melakukan hal yang sama?

Balik lagi ke fashion, mungkin gak sih beberapa suporter yang ada dalam subkultur football casuals bisa pake brand-brand diluar Eropa? Khususnya sepatu gitu ya, sampai saat ini masih belum keliat ada brand footwear yang mencoba merambah dalam subkultur bungsu asal Inggris ini. Padahal bisa kali ya ngangkat ekonomi suatu negara kalau ada brand footwear diluar Eropa apalagi Indonesia yang bisa mendominasi pasar atau mendominasi fashion sepatu aja misalnya, keren juga kayanya, tapi pertanyaan nya itu, bisa gak ya? padahal ada beberapa sepatu asal Indonesia udah ngebuktiin keberhasilan dalam merubah mindset dan pasar anak muda, tapi sampai saat ini subkultur football casual khususnya di Indonesia masih belum menyimpan atau memiliki kepercayaan pada brand sepatu asal Indonesia.

 

Penulis: Rifqi Maulana

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.