Skip to main content

Oleguer Presas: Di Antara Lapangan dan Identitas

Oleguer Presas: Di Antara Lapangan dan Identitas

 

Sepak bola sering dipaksa tampil sebagai panggung netral. Dari iklan televisi, stadion modern, sampai wacana resmi federasi: bola adalah hiburan, bola adalah industri, bola adalah pesta tanpa batas. Namun, di bawah semua slogan manis itu, sepak bola selalu sarat dengan politik. Sepak bola lahir, tumbuh, dan hidup dalam ketegangan antara rakyat dan kekuasaan. Antara tribun dan negara. Antara gairah suporter dan mesin kapitalisme.

 

 

Di titik inilah nama Oleguer Presas terasa berbeda. Bek asal Sabadell, Catalonia, ini tidak pernah jadi pemain paling glamor Barcelona. Ia tidak memiliki gocekan magis ala Ronaldinho, atau insting predator seperti Samuel Eto’o, atau kedigdayaan kapten seperti Carles Puyol. Tapi Oleguer punya sesuatu yang membuatnya dikenang jauh melampaui gol, assist, atau trofi: sikap politik yang konsisten.

 

 

Oleguer adalah contoh bahwa seorang pemain bisa dikenang bukan karena highlight YouTube, melainkan karena keberanian untuk berkata: “Saya menolak tunduk pada sistem yang menindas.” Baginya, sepak bola tidak bisa dilepaskan dari politik. Ia menolak menjadi boneka nasionalisme Spanyol, ia menulis buku tentang identitas dan perlawanan, ia berdiri bersama rakyat Catalonia.

 

 

Di era ketika pemain dituntut steril, bersih, tunduk pada sponsor dan negara, Oleguer justru hadir sebagai anomali. Seorang pemain yang lebih memilih menulis pamflet ketimbang pesta. Lebih memilih diskusi politik ketimbang wawancara glamor. Ia bukan superstar, tapi ia adalah legenda alternatif: legenda bagi mereka yang percaya bahwa bola harus tetap jadi milik rakyat, bukan milik negara, bukan milik kapital.

 

 

Tulisan ini adalah upaya membaca ulang Oleguer Presas: dari Barcelona, dari Catalonia, dari bukunya Camí d’Ítaca, hingga penolakannya terhadap Timnas Spanyol.

 

 

Barcelona dan Identitas Catalonia

 

 

Barcelona selalu lebih dari sekadar klub. “Més que un club” bukan hanya slogan marketing; ia adalah narasi politik. Sejak era diktator Franco, Barça menjadi simbol identitas Catalonia yang ditekan. Di stadion Camp Nou, bahasa Catalan dilarang, bendera Catalonia disita, nyanyian rakyat dibungkam. Namun justru di tengah represi itu, tribun menjadi ruang perlawanan.

 

 

Oleguer lahir dan tumbuh di dalam atmosfer ini. Ia bukan orang luar yang datang ke Catalonia untuk bermain bola, ia adalah anak kandung tanah yang diperebutkan itu. Baginya, membela Barcelona berarti membela identitas. Ia paham betul bahwa setiap operan, setiap tekel, setiap kemenangan Barça adalah simbol politik.

 

 

Yang menarik: Oleguer tidak pernah berusaha menutupi sikap politiknya. Sementara banyak pemain Barcelona lain memilih diam demi karier, ia justru bicara lantang. Ketika Ronaldinho sibuk menjadi ikon global Nike, ketika Deco dan Eto’o berkelindan dengan sponsor dan pesta, Oleguer tampil beda: rambut gondrong, wajah serius, buku di tangan, dan suara lantang di forum-forum publik.

 

 

Ia bukan bintang utama di lapangan, tetapi ia adalah suara lain di ruang ganti. Sering kali, ia dianggap weird intellectual oleh media Spanyol. Tapi bagi banyak rakyat Catalonia, ia adalah representasi dari seorang pemain yang tidak lupa akar, yang membawa politik rakyat ke tengah lapangan sepak bola elit.

 

 

Oleguer juga sering menekankan bahwa sepak bola Barcelona tidak bisa dilepaskan dari rakyat Catalonia. “Barça adalah suara kami,” begitu kira-kira yang ia sering suarakan. Dalam setiap laga melawan Real Madrid, rivalitas tidak hanya soal dua klub besar, tapi juga dua identitas: Catalonia melawan simbol sentralisme Madrid. Dengan cara ini, Oleguer adalah perpanjangan tangan tribun. Ia bukan sekadar bek kanan, ia adalah bek kiri; dalam arti ideologis. Ia menjadikan dirinya bagian dari politik rakyat.

 

 

Siapa Oleguer Presas?

 

Oleguer Presas i Renom lahir pada 2 Februari 1980 di Sabadell, sebuah kota industri di wilayah Catalonia, Spanyol. Ia tumbuh dalam kultur masyarakat pekerja yang kuat, dengan atmosfer politik Catalonia yang kala itu sedang penuh ketegangan soal identitas dan hubungan dengan pemerintah pusat Madrid. Dari kecil, Oleguer sudah akrab dengan suasana di mana sepak bola bukan sekadar hiburan, tetapi juga simbol politik dan kultural.

 

 

Perjalanan sepak bolanya dimulai dari akademi Barcelona. Ia menembus tim utama pada musim 2001–2002, ketika era kebangkitan Barça mulai dirancang ulang pasca era keemasan Cruyff. Berposisi sebagai bek kanan namun juga bisa dimainkan di tengah, Oleguer bukan tipe pemain yang menonjol karena teknik indah atau dribel spektakuler. Ia lebih dikenal sebagai pemain serba bisa, pekerja keras, dan disiplin, sesuai dengan karakter yang seringkali diasosiasikan dengan pemain akademi lokal.

 

 

Selama tujuh musim di Barcelona (2001–2008), Oleguer menjadi bagian dari skuad yang meraih berbagai gelar bergengsi: dua titel La Liga (2004–05, 2005–06), Liga Champions 2006, serta sejumlah trofi domestik lainnya. Meski bukan bintang utama seperti Ronaldinho, Eto’o, atau Xavi, ia punya tempat penting dalam rotasi tim Frank Rijkaard. Tahun 2008, ia pindah ke Ajax Amsterdam, klub dengan kultur progresif yang ironisnya juga sejalan dengan sikap politiknya. Bersama Ajax, ia bermain hingga pensiun pada 2011.

 

 

Banyak orang mungkin mengira, menjadijadi nasionalis Catalan itu udah paling pas kalau main di Barcelona, klub yang selalu dipandang sebagai simbol identitas Catalan. Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Oleguer justru sering berbenturan dengan sikap resmi manajemen klub. Titik balik kariernya datang pada 7 Februari 2007, ketika ia menulis artikel berbahasa Basque di surat kabar Berria.

 

 

Tulisan itu menyoroti ketidakadilan sistem hukum di Spanyol, terutama terkait kasus penahanan dan hukuman Jose Ignacio de Juana Chaos, seorang aktivis ETA, organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa Basque. Dengan kesadaran politik yang tajam, Oleguer sejak lama peka terhadap praktik sewenang-wenang negara. Sebagai orang Catalan yang selalu menjaga romantisme sekaligus utopia kemerdekaan bangsanya, ia juga menunjukkan simpati pada gerakan-gerakan pembebasan lain, termasuk ETA.

 

 

Artikel itu bikin geger. Hidupnya di lapangan berubah jadi rumit. Salva Ballesta, penyerang Levante, bahkan pernah nyeletuk lebih menghormati kotoran anjing daripada Oleguer. Ia jadi bulan-bulanan ejekan di banyak stadion, dihajar media dengan tuduhan macam-macam, bahkan dicap teroris. Sponsor pun angkat kaki. Kelme, perusahaan apparel yang sebelumnya mengontraknya, buru-buru memutuskan hubungan setelah tulisan itu muncul.

 

 

Menurut Oleguer, berbeda pendapat bukanlah masalah selama dilakukan lewat dialog yang cerdas. “Kalau orang mau masuk ke dalam percakapan dengan bijak lalu tetap tak setuju, itu tak apa. Masalahnya, mereka tidak melakukannya,”ujarnya suatu kali. Sayangnya, pandangan itu tak mendapat dukungan dari lingkar terdekatnya. Frank Rijkaard dan Joan Laporta, manajer dan presiden Barcelona kala itu juga tak menyukai sikap politik yang ditunjukkannya.

 

 

Tak mengherankan jika pada akhir musim 2007/2008, Oleguer dilepas ke Ajax Amsterdam. Keputusan itu seakan memperlihatkan batasan nyata: meskipun Barcelona kerap dipuja sebagai simbol kebangsaan Catalan dalam menghadapi pemerintah Spanyol, nyatanya klub tetap tunduk pada logika industri. Dalam konteks Oleguer, semboyan “més que un club” (lebih dari sekadar klub) terdengar seperti slogan kosong. Pada akhirnya, Barça tidak berbeda jauh dengan kesebelasan lain yang lebih memilih menjaga jarak dari politik, atau setidaknya, dari politik yang berisiko mengguncang bisnis sepak bola.

 

 

Selain itu, karier internasionalnya pun berbeda dari kebanyakan pemain lain. Meski sempat dipanggil memperkuat Timnas Spanyol pada tahun 2005, Oleguer tidak pernah benar-benar tampil. Ia menolak peluang itu karena alasan politik: baginya, memakai seragam Spanyol berarti menegasikan identitas Catalonia yang ia perjuangkan. Keputusan ini membuatnya jarang disebut dalam buku sejarah sepak bola arus utama, namun justru memberi tempat istimewa dalam catatan mereka yang melihat bola sebagai ruang perlawanan.

 

 

Di luar lapangan, Oleguer menulis buku berjudul Camí d’Ítaca (Jalan Menuju Ithaca) pada 2006. Buku ini berisi refleksi politik, sosial, dan pengalaman pribadinya sebagai pesepak bola yang hidup di bawah bayang-bayang sistem negara. Publikasi itu memicu kontroversi besar, termasuk kritik dari media nasional Spanyol dan federasi sepak bola, yang menganggapnya tidak patriotik. Namun, bagi banyak orang di Catalonia maupun kalangan kiri, buku itu menjadikan Oleguer bukan sekadar bek Barcelona, tapi juga ikon resistensi politik di sepak bola modern.

 

 

Camí d’Ítaca: Dari Lapangan ke Buku

 

 

Walau hujatan datang dari segala arah, Oleguer malah semakin menegaskan sikapnya. Ia menulis sebuah buku bersama Roc Casagran, seorang penyair nasionalis asal Catalan. Buku itu berjudul Road to Ithaca. Di dalamnya, Oleguer menggambarkan perjalanan, persahabatan, serta mimpinya tentang sebuah utopia. Tak ketinggalan, ia menyelipkan kritik keras terhadap wajah fasisme negara.

 

 

Judul Ithaca sendiri merujuk pada sebuah pulau di Yunani, yang diyakini sebagai kampung halaman Odysseus dalam epos Homer. Pulau itu menjadi simbol kerinduan akan rumah dan tanah air, tujuan abadi setelah perang panjang. Bagi Oleguer, Ithaca adalah metafora: sebuah buku penuh melankolia tentang asal-usul, tentang kerinduan yang samar tapi kuat untuk melihat tanah kelahiran bebas dari belenggu.

 

 

Buku ini bukan sekadar autobiografi atlet. Ia adalah refleksi politik, catatan ideologis, sekaligus pamflet perlawanan. Oleguer menulis tentang pengalaman hidupnya sebagai orang Catalonia, tentang penolakannya terhadap militerisme Spanyol, tentang kritiknya pada kapitalisme sepak bola.

 

 

Kontroversi pun meledak. Media arus utama Spanyol menyerangnya sebagai separatis. Banyak yang menyebutnya “bek Barcelona yang menghina bangsa.” Tetapi di sisi lain, di Catalonia dan lingkaran politik Eropa, bukunya dianggap penting. Jarang sekali ada pemain elit yang berani menulis dengan nada setajam itu. Oleguer dalam bukunya menegaskan: “Seorang pemain bola bukan mesin kosong. Saya adalah manusia, saya punya sikap, saya punya tanah air, dan saya tidak akan diam.”

 

 

Dalam bukunya, Oleguer pernah menarik garis perbandingan yang cukup berani: kemenangan Barcelona di La Liga tahun 2005 ia samakan dengan perjuangan para pejuang kemerdekaan Catalonia dan barisan anti-fasis yang bertahan melawan pasukan Franco pada 1939. Aktivitasnya di luar lapangan jelas membuatnya berbeda dari kebanyakan pemain lain, meski Oleguer sendiri tak pernah nyaman dilabeli sebagai “ikon.” Ia pernah bilang: “Saya tidak suka dipuja. Tentu menyenangkan ketika seorang pria berusia 50 tahun menyalami saya di jalan. Tapi saya selalu merasa, justru dialah yang sudah melakukan sesuatu yang lebih besar dari saya.”

 

 

Gol perdananya, yang juga menjadi satu-satunya golnya bersama Barça saat melawan Malaga pun tidak ia dedikasikan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk seorang anak berusia 14 tahun yang ditangkap karena menempel poster berisi kritik terhadap Wali Kota di Sabadell. Sikap semacam ini menggambarkan bagaimana Oleguer selalu mengaitkan sepak bola dengan perjuangan sosial yang lebih luas.

 

 

Selain menulis buku, ia juga aktif menulis di jurnal-jurnal politik. Pernah suatu kali ia mengecam konstitusi Uni Eropa neoliberal dalam sebuah pidato, dan konsisten menjadi salah satu suara paling keras menolak perang di Irak. Pada 2007, Oleguer bahkan merogoh kocek pribadi untuk membiayai konser Manu Chao, musisi asal Catalan, agar bisa dihadiri publik secara gratis. Dalam konser itu, ia memilih berdiri bersama dua pekerja seks yang memperjuangkan hak-hak mereka.

 

 

Di panggung acara tersebut, Oleguer juga menyinggung aksi demonstrasi besar-besaran di Amerika Serikat, sekaligus melontarkan sindiran pedas pada kondisi sosial dan wajah perkotaan di ibu kota Catalonia, yang menurutnya sudah jauh dari semangat kebangsaan Catalan yang seharusnya dirawat.

 

 

Buku ini juga menghubungkannya dengan tradisi pemain yang memiliki sikap politik lain. Jika Sócrates di Brasil bicara tentang demokrasi di Corinthians, jika Paolo Sollier di Italia mengepalkan tangan di lapangan, maka Oleguer di Barcelona bicara lewat tulisan. Ia bukan orator tribun, ia adalah penulis pamflet.

 

 

Buku Camí d’Ítaca menjadikan Oleguer lebih dari sekadar pesepakbola. Ia adalah intelektual aktivis yang kebetulan bermain bola di klub besar.

 

 

Menolak Nasionalisme, Memilih Ideologi 

 

Salah satu momen paling kontroversial dalam karier Oleguer adalah sikapnya terhadap Timnas Spanyol. Berbeda dengan pemain lain yang bangga membela La Roja, Oleguer justru menolak. Bagi dia, mengenakan jersey Spanyol berarti mengkhianati tanah kelahirannya.

 

 

Ia tidak pernah menjadi bagian penting timnas. Bahkan ketika dipanggil, ia menunjukkan ketidakantusiasan. Media Spanyol mengecamnya habis-habisan. Mereka menyebutnya pengkhianat, separatis, pemain tidak tahu diri. Tapi Oleguer bergeming: “Saya orang Catalonia. Saya tidak bisa mewakili negara yang menolak keberadaan kami.”

 

 

Sikap anti-nasionalisme ini jarang sekali ditemui dalam sepak bola modern. Biasanya, pemain akan tunduk pada romantisme negara. Tapi Oleguer membongkar ilusi itu: tim nasional bukan ruang netral, ia adalah alat politik negara.

 

 

Di tengah gemerlap sepak bola modern yang identik dengan kemewahan, Oleguer justru mengambil jalan berbeda. Saat pemain lain melaju dengan mobil sport berkilau, ia lebih memilih van abu-abu sederhana, atau bahkan naik transportasi umum. Dengan tinggi 187 cm, sosoknya jelas menonjol, tapi pilihannya untuk hidup bersahaja membuatnya semakin kontras dengan kebanyakan bintang lapangan.

 

 

Oleguer adalah contoh nyata pemain yang menjadikan sepak bola sebagai medium perjuangan politik, meski harus berjalan berlawanan dengan arus besar. Dalam sebuah wawancara dengan The Guardian, ia pernah mengungkapkan: “Saya tidak tahu harus berpikir apa. Terlalu sering, negara hukum justru penuh noda yang membuat saya ragu. Baunya kemunafikan. Dan terlalu banyak kemunafikan bisa membuat orang kehilangan niat baik.”

 

 

Hujan kritik dan perlakuan buruk yang ia terima setelah menulis artikel kontroversial di Berria tak membuatnya menyesal. Dengan nada datar, ia justru berkata: “Akibat yang harus saya tanggung tidak sebanding dengan apa yang dialami orang lain. Yang membuat saya sedih bukanlah itu, melainkan kenyataan bahwa kebanyakan orang bahkan tidak membaca apa yang saya tulis.”

 

 

Dengan ini, Oleguer menempatkan dirinya dalam tradisi panjang pemain yang memiliki sikap politik seperti; Sócrates dengan Democracia Corinthiana, Paolo Sollier yang mengepalkan tangan, Rachid Mekhloufi yang meninggalkan Ligue 1 untuk tim FLN Aljazair, dan Carlos Caszely yang menolak Pinochet.

 

 

Oleguer adalah versi Catalonia dari tradisi ini. Seorang pemain yang berani bilang: sepak bola tidak bisa dilepaskan dari politik, dan saya pemain sepak bola yang berpolitik.

 

 

Legenda Alternatif

 

Oleguer Presas mungkin tidak akan pernah masuk daftar Ballon d’Or. Namanya tidak akan menghiasi iklan global, tidak ada sepatu signature, tidak ada patung di depan Camp Nou. Tapi dalam catatan alternatif, dalam sejarah pemain sepak bola yang memiliki pandangan politik, dalam zine-zine yang menolak tunduk pada kapitalisme sepak bola, Oleguer adalah legenda.

 

 

Namun, Oleguer juga memberi kita pelajaran bahwa keberanian tidak selalu lahir dari tribun besar atau panggung kemenangan. Kadang ia lahir dari keputusan kecil seperti menolak satu panggilan timnas, menulis satu buku, atau sekadar berbicara jujur ketika kamera mengarah padamu. Di situlah makna politik sepak bola menemukan bentuk paling manusiawinya: tidak dengan jargon muluk, tapi dengan pilihan sehari-hari yang berisiko.

 

 

Dalam dunia suporter hari ini, di mana suara fans sering kali direduksi menjadi klik, vote semu, atau token digital, figur seperti Oleguer justru mengingatkan bahwa partisipasi sejati butuh lebih dari sekadar transaksi. Ia butuh keberpihakan, keberanian, dan kesetiaan pada nilai. Bukan berarti suporter harus meniru semua langkahnya, tapi Oleguer menunjukkan arah: jangan biarkan sepak bola kehilangan substansi karena kita menyerahkan semuanya pada algoritma dan pasar.

 

 

Selain itu, kisah Oleguer juga mengajarkan bahwa legenda tidak harus selalu dibangun dari gol dramatis atau trofi prestisius. Legenda bisa lahir dari sikap yang konsisten, meski itu membuatmu dikritik, ditinggalkan, atau dianggap minoritas. Justru di situlah nilai alternatif yang sering kali dicari oleh media independen, fanzine, atau ruang-ruang tandingan: ruang untuk mengingat bahwa sejarah sepak bola tak hanya ditulis oleh pemenang, tapi juga oleh mereka yang memilih melawan arus.

 

 

Akhirnya, ketika kita menatap masa depan sepak bola yang kian terdigitalisasi, ingatan akan Oleguer menjadi semacam jangkar. Ia mengikat kita kembali pada akar: sepak bola adalah milik orang banyak, milik komunitas, dan tak boleh tercerabut dari politik yang membentuknya. Jika hari ini kita merasa terjebak dalam komodifikasi tanpa henti, mungkin saatnya kembali mengingat suara-suara kecil seperti Oleguer yang dengan segala keterbatasannya, berani berkata tidak, dan dengan itu, justru menjadi legenda.

 

 

Ia menunjukkan bahwa sepak bola bisa tetap milik rakyat, asal kita berani berkata tidak. Ia membuktikan bahwa bahkan seorang bek cadangan bisa jadi ikon, jika ia membawa politik rakyat. Ia adalah legenda alternatif: bek kiri.

 

 

Dan mungkin, dalam dunia yang semakin digital, semakin terkomodifikasi, semakin jauh dari tribun, kita justru butuh lebih banyak Oleguer Presas.

 

Comments

Be the first to comment.

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.
Thanks for contacting us! We'll get back to you shortly. Thanks for subscribing Thanks! We will notify you when it becomes available! The max number of items have already been added There is only one item left to add to the cart There are only [num_items] items left to add to the cart