Dari Herat Menjadi Pemain Sepak Bola Denmark Terhebat

Dari Herat Menjadi Pemain Sepak Bola Denmark Terhebat

 

Berbicara tentang sepak bola modern, mungkin,kita tidak akan bisa lari dan sembunyi dari federasi atau negara yang menaungi suatu perhelatan dan pagelaran yang sudah lama menjadi hiburan khalayak luas ini. Namun naas, bagi negara yang berada di antara Asia Selatan dan Asia Tengah.

Masa depan sepak bola di bawah rezim Taliban berpotensi kembali ke jurang terdalam. Trauma eksekusi mati di tengah stadion dikhawatirkan terulang kembali. Afganistan yang sejak Agustus 2021 dikuasai oleh Taliban terpaksa membuat atlet-atlet perempuan, khususnya para pemain sepak bola semakin hari semakin memperpanjang mimpi buruk mereka. Rombongan pengungsi pesepakbola putri Afganistan terus mengalir ke berbagai negara. Sepak bola menjadi hiburan yang paling popular di Afganistan selain kriket. Keduanya mulai eksis di tanah “Khorasan” pada akhir abad ke-19.

Sepak bola bisa lebih diterima masyarakat karena jadi wadah kompetisi yang sengit untuk mempertaruhkan kebanggaan individu maupun kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Namun, sangat disayangkan perkembangan dan prestasi sepak bola Afganistan terancam jalan di tempat atau bahkan melangkah mundur setelah Taliban kembali berkuasa pada Agustus 2021. Sementara sepakbola putra masih belum jelas nasibnya, sepakbola putri Afganistan terpaksa mati suri karena larangan perempuan beraktivitas dalam melakukan hal tersebut. Hampir semua pemainnya di segala kelompok umur sudah mengungsi ke luar Afganistan. Padahal, perkembangan mereka cukup menjanjikan. Mereka mampu mencapai semi-final Kejuaraan SAFF 2012.

 

Hal tersebut menjadi kenyataan pahit bagi pesepakbola wanita berpaspor Denmark yang memiliki darah Afganistan, Nadia Nadim.Perjalanan karir sepakbola Nadia Nadim tidak sepenuhnya berjalan mulus. Pada awalnya, ia mengenal sepak bola dari mendiang sang ayah, Rabbani Nadim. Ayahnya yang membawakan bola saat Nadia masih kecil. Meski bola tersebut didapatkan bukan dari hasil mencuri, tapi Nadia tetap tidak bisa memamerkannya ke hadapan publik. Di tempat asalnya, Afganistan, perempuan masuk dalam golongan terlarang bermain sepakbola di muka umum yang mengakibatkan Nadia memainkannya di dalam rumah.

 

 

 

Ayah Nadia yang bekerja menjabat sebagai angkatan darat. Selain memberikan hadiah bola kepada Nadia, ayahnya juga sampai menyekolahkan Nadia dan mendapatkan pendidikan formal di Afganistan. Pendidikan di Afganistan yang juga merupakan barang terlarang bagi perempuan. Perempuan hanya diperbolehkan belajar urusan dapur dan agama. Selain kedua itu, perempuan di Afganistan tidak boleh melakukan hal-hal lain. Karena hal lainnya adalah tugas laki-laki. Pandangan itu sering dikampanyekan oleh Taliban di manapun mereka berada. Karena Taliban beralasan atas dasar agama, mereka memang dikenal keras dan ketat dalam mengatur gerak perempuan. Semua yang wanita lakukan dibatasi, dan yang menentang berarti bersiap menerima hukuman. Sialnya, Nadia tumbuh di saat Taliban mulai menguasai negara Afganistan. 

Pada tahun 2000-an, Rabbani, ayah Nadia yang memiliki jabatan tinggi di Angkatan Darat Afganistan dipanggil oleh Taliban untuk sebuah pertemuan. Setelah kejadian itu sampai seterusnya Rabbani tidak pernah kembali. “Dalam beberapa waktu, aku kira ayahku akan kembali.” Ujar Nadia, namun dugaan Nadia salah. Setelah menunggu enam bulan setelah pertemuan tersebut, ibu Nadia mendapat kabar bahwa ayah Nadia telah dibawa ke padang pasir dan dieksekusi mati oleh Taliban. Silang sengkarut politik di Afganistan ini menimbulkan banyak kesedihan dalam keluarga Nadia. Mereka telah kehilangan pemimpin, pelindung, sekaligus tulang punggung keluarga. Selepas kepergian Rabbani, ibu Nadia menyadari bahwa keadaan di Afganistan sedang tidak baik bagi mereka.

Nadia mengisahkan bahwa pembunuhan itu patut diduga sebagai cara Taliban mempertahankan kekuasaan atas Afganistan karena Ayahnya memiliki jabatan tinggi. Membiarkan orang seperti Rabbani hidup berarti ancaman bagi kekuasaan Taliban. “Seperti banyak kisah diktator dalam sejarah manusia, kalian harus menyingkirkan orang-orang yang memiliki kekuasaan jika ingin mempertahankan kekuasaan. Karena itulah yang pertama dilakukan Taliban adalah membunuh orang-orang di pemerintahan Afganistan. Ayahku salah satunya.” Ucap Nadia.

Dengan uang tabungan yang dia kumpulkan sebelumnya dan sebagian dari hasil penjualan beberapa barang yang dia punya, keluarga kecil Nadia menuju Pakistan. Dari sana, mereka berbekal paspor palsu terbang menuju Italia. Dari Italia, keluarga itu menempuh perjalanan darat. Rencana awal mereka hendak menuju London, dimana keluarga ibu Nadia menetap. Namun, naasnya mereka telah di tipu saat diturunkan dari kendaraan yang mengakibatkan mereka berada di sebuah tempat yang sangat jauh dari harapan dan bayangan mereka tentang London. Hingga kemudian hari mereka menyadari tempat itu adalah Denmark.

 

 

Gayung bersambut, Nadia dibawa ke kamp pengungsian. Di tempat inilah Nadia pertama kali melihat sepak bola dimainkan perempuan di tempat umum tanpa adanya gangguan, tekanan dan ancaman dari siapapun, hal yang sangat bertolak belakang dengan apa yang ia alami sebelumnya di Afganistan.

Kebahagiannya atas dunia baru ini membuat Nadia terus mengalami kemajuan dalam mengolah si kulit bundar. Mulai bermain di kamp pengungsian, mengikuti sekolah sepakbola. Hingga hari ini, ia dikenal sebagai bintang lapangan hijau. “Saya punya satu tujuan dalam hidup, ingin menjadi yang terbaik dalam segala hal yang saya lakukan” ujar wanita berdarah Afganistan tersebut. Prinsip hidup ini dicatat oleh Nadia Nadim dalam otobiografinya. Dalam setiap keputusan yang ia ambil, dalam setiap kesempatan yang ia dapatkan, hasrat Nadia selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk sepak bola, olahraga yang ia geluti. Di atas lapangan hijau, Nadia tidak pernah main-main. Meski sempat mengalami hal-hal sulit dalam hidup dan nasib yang tidak menentu dalam bermain sepakbola, ia tidak pernah menemukan jalan buntu untuk terus bersama si kulit bundar.

Karir profesional sepak bolanya dimulai dengan membela klub asal kota Jutlandia, Denmark, Aalborg. Petualangannya terus berlanjut untuk membela Viborg, IK Skovbakken, Fortuna Hjorring, dan Portland Thorns FC. Pada perkembangan kariernya, Nadia juga pernah memperkuat tim besar seperti Manchester City dan PSG. Saat berseragam PSG Nadia berhasil membawa tim kota Paris itu meraih gelar juara Liga Prancis dengan koleksi 18 gol dari 27 pertandingan.

 

Berkat permainannya yang gemilang, Nadia hampir saja mempersembahkan Piala Eropa bagi Timnas Denmark pada 2017. Tapi sayang, langkah Timnas Denmark harus terhenti di final. Pertandingan yang diselenggarakan di markas FC Twente tersebut. Denmark sebenarnya mengawali laga dengan baik. Belum genap sepuluh menit laga berjalan, Nadia sudah mencetak gol dan membawa Denmark unggul atas Belanda melalui titik putih. 

Hanya saja, keunggulan ini gagal dipertahankan oleh para punggawa Denmark di atas lapangan hijau. Belanda berhasil mencatatkan empat gol balasan yang hanya mampu dilawan dengan tambahan satu gol dari Denmark, skor 4-2 pun mengakhiri laga. Impian Nadia untuk mempersembahkan trofi bagi Denmark pun gagal. Meski demikian, ia tidak larut dalam lembah kekecewaan yang mendalam. Pencapaiannya dalam sepakbola sudah lebih dari apa yang ia bayangkan waktu ia masih kecil, terutama saat ia berada di Afganistan, saat hanya dapat bercengkerama dengan si kulit budar dalam kamar. 

Jika dilihat dari pencapaian individu, hasrat menjadi yang terbaik ia wujudkan dengan raihan dua gelar pemain terbaik Denmark pada tahun 2016 dan 2017. Torehan golnya bersama Timnas Denmark pun mengagumkan, ia berhasil mencatatkan 38 gol dari 98 laga.

Di luar lapangan hijau, Nadia merupakan seorang aktivis pejuang perempuan yang sering menjadi pembicara pada forum-forum di berbagai belahan dunia untuk menuntut kesamaan hak perempuan dan laki-laki dalam sepak bola. Beberapa fokus yang menjadi pusat perhatian Nadia adalah soal gaji, fasilitas hingga jaminan atas kebebasan berekspresi perempuan. Selama ini, perempuan kerap kali dipandang sebagai atlet kelas dua dalam dunia sepak bola. Penghargaan yang didapat perempuan atas kemampuan mereka bermain sepak bola tidak diperlakukan setara dengan laki-laki. Hal-hal semacam ini yang terus menjadi kampanye yang Nadia terus suarakan. 

Selain melakukan kampanye yang fokus pada dunia sepakbola, Nadia juga aktif mengunjungi kamp pengungsian. Nadia berbagi kisah soal perjalanan hidupnya yang penuh dengan lika-liku. Ia selalu mencoba untuk menginspirasi anak-anak pengungsian soal jalan meraih impian. 

 

Rupanya, Nadia merupakan orang yang memang tak pernah bisa diam. Selepas dari karirnya di sepak bola, ia telah mempersiapkan diri sebagai dokter bedah. Ia tercatat sebagai mahasiswa kedokteran di Universitas Aarhus, Denmark. Dengan pendidikan kedokterannya ini, Nadia nantinya akan berprofesi sebagai dokter bedah. Pilihannya ini bukan tanpa alasan, dengan profesinya ini bisa mengembalikan semangat hidup dari pasien yang ia tangani.

Fokus dalam bedah yang Nadia geluti adalah memperbaiki fisik yang dianggap cacat atau luka, bukan tentang bedah dalam arti memperbaiki penampilan seperti yang dilakukan oleh banyak artis. Nadia mengaku mendapatkan kebahagiaan saat melakukan operasi bedah. Adrenalinnya sama tinggi dengan saat mencetak gol pada pertandingan final Euro 2017, demikian Nadia mendefinisikan kebahagiaannya dalam urusan bedah. Semua langkah positif ini ia pilih sebagai rasa terima kasihnya pada garis hidup yang telah menyelamatkannya dari ancaman keganasan Taliban di masa lalu.

 

 

Selain dari pada menjadi pesepak bola professional dan seorang dokter, Nadia juga menguasai sembilan bahasa dengan lancar. Menurut wanita berdarah Afganistan tersebut, konstan dalam menghadapi tantangan baru adalah satu tujuan dalam hidupnya. Ia ingin menjadi yang terbaik dalam segala hal yang ia lakukan .

Terlepas apa yang dilakukan Nadia Nadim di dalam lapangan atau di luar lapangan, jelas terlihat bahwa warisan Nadia akan dirasakan lintas generasi. Entah itu mendorong orang-orang untuk menjadi pesepakbola atau dokter bisa juga bertindak sebagai mercusuar harapan bagi mereka yang berada dalam situasi serupa. Di waktu yang akan datang, Nadia Nadim dirasa akan menginspirasi selama tahun-tahun kedepan dan semua mata aka tertuju pada wanita yang lahir di Afganistan 34 tahun lalu. Ya, dia adalah Nadia Nadim. 

Penulis: Ikhsan Setiawan

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.