Sepak Bola dan Budaya Kolektif

Sepak Bola dan Budaya Kolektif

Siapa bilang sepak bola cuma sekedar permainan semata? Tidak semudah itu, sejak dahulu kala, sepak bola menjelma sebagai media dan simbol ideologi tertentu, perlawanan hingga pandangan politik dan terkadang menjadi suatu alat penggerak massa terbesar di muka bumi ini. Tidak hanya sebatas itu saja, dalam beberapa kasus lainnya, olahraga satu ini juga terkadang bagi sebagian besar pecintanya berhasil menjelma menjadi ‘agama’ tidak hanya bagi pemainnya, namun hal ini juga terjadi bagi para pendukungnya.

 

Olahraga yang berhasil menghipnotis penduduk bumi ini, dipercaya sudah menghiasi peradaban umat manusia sejak ratusan tahun yang lalu dengan bentuk dan peraturan yang selalu berubah mengikuti perkambangan zaman.

 

Sebagaimana para pemain yang terus berjuang di atas permadani rumput kala peluit ditiupkan, hingga kini sepak bola masih menjadi pilihan bagi khalayak luas guna memuaskan hasrat akan libido yang sangat tinggi diatas tribun. Tidak hanya itu, permainan yang diyakini sebagai pelepas penat di akhir pekan ini juga masih menjadi pilihan bagi beberapa kelompok untuk menyuarakan apa yang mereka yakini. Hal ini pun jelas dapat mengilhami beberapa pergerakan yang masih percaya akan budaya kolektif dalam dunia sepak bola. Lalu apa hubungan sepak bola dengan budaya kolektif?  Simak ulasan singkatnya, dan tetap yakin kalau kalian bisa lebih jauh menggali informasi tentang semua ini!

 

Budaya Kolektif

Secara harfiah, kolektif memang dapat di artikan sebagai bentuk kerjasama antar individu yang memang sudah menjadi tabiat manusia sebagai makhluk sosial. Namun, perilaku kolektif adalah cara berpikir, berasa dan bertindak yang berkembang dikalangan sebaian besar warga masyarakat dan relatif baru. Menurut Bruce J Cohen (1992), perilaku kolektif (collective behaviour) adalah jenis perilaku yang relatif tidak tersusun, bersifat spontan, emosional dan tak terduga.

 

Perilaku ini juga terjadi apabila cara-cara mengerjakan sesuatu yang telah dikukuhkan secara tradisional tidak lagi efisien. Individu-individu yang terlibat dalam perilaku kolektif tanggap terhadap rangsangan tertentu yang mungkin datang dari orang lain atau peristiwa khusus.

Budaya kolektif adalah praktik atau prinsip bahwa identitas individu secara fundamental terkait dengan identitas kelompok kolektifnya. Ini merupakan preferensi untuk kerangka sosial yang terjalin erat di mana individu saling menjaga satu sama lain dan organisasi melindungi kepentingan anggotanya.

 

Secara singkat, kolektif adalah sekumpulan pribadi yang bekerja sama untuk tujuan tertentu tanpa adanya hirarki di dalamnya. Sebuah kolektif bisa merupakan kelompok yang besar ataupun kecil, berjalan dalam waktu yang singkat ataupun lama, dengan keanggotaannya yang bersifat sukarela. Kelompok apa pun, baik kelompok sosial, LSM, atau lembaga politik, yang memiliki dewan direksi, bos, manajemen, pengajar atau bahkan presiden, tidak dapat di analogikan sebagai sebuah kolektif.

 

Sepak Bola dan Budaya Kolektif

Budaya kolektif dalam dunia sepak bola memang tidak dapat dipungkiri. Bagaimana tidak, pemain yang bertanding dilapangan memiliki tujuan yang sama dan melakukan suatu tindakan atas dasar kemenangan. Tapi di sepak bola modern gak mungkin kayanya, soalnya pemain kan dibayar, walaupun gak semua pemain gitu kali ya hehe.

 

Namun kali ini, pembahasan tidak akan melulu berbicara tentang permainan di atas lapangan hijau. Lebih dari itu, budaya kolektif yang coba dijabarkan pada tulisan kali ini adalah bagaimana sepak bola menjadi salah satu alat perlawanan dari komunitas yang meyakini bahwa kekuatan kolektif menjadi senjata yang cukup ampuh untuk mengembalikan marwah sepak bola seperti sedia kala.

 

Sejak sepak bola berkembang menjadi olahraga yang di moderenisasi dalam segala aspek dan turut merubah hiburan menjadi sebuah kepentingan kapital yang dikendalikan oleh sekelompok pejabat dan kaum borjuis lainnya. Hal ini jelas menjadi sebuah ancaman tersendiri bagi kalangan tertentu, khususnya suporter.

 

Mungkin, sebagian besar dari mereka yang melabeli dirinya sebagai suporter dengan senang hati menerima berbagai kesumbangan yang terjadi begitu saja dan berjangka panjang, seperti harga tiket yang kian hari kian meroket, regulasi yang membatasi suporter untuk melampiaskan hasrat mereka di atas tribun, kesenjangan sosial, korupsi yang dilakukan manajemen klub dan federasi, hingga pengaturan skor yang semakin marak terjadi.

Mereka mengamini semua itu selama klub yang mereka cintai bermain dengan apik dan berhasil menaklukan lawan dalam setiap pertandingan. Secara tidak langsung, mereka hanya peduli dengan kemenangan klub mereka sendiri, tidak peduli dengan berbagai masalah yang selalu hinggap dalam tubuh sepak bola dewasa ini.

 

Hal ini jelas menjadi acuan tersendiri bagi kalangan suporter yang hari demi hari merasakan kejanggalan dalam permainan yang mereka cintai. Kita ambil contoh dari beberapa klub yang melakukan perlawanan atas kebijakan aneh dalam dunia sepak bola modern dengan menggunakan kekuatan kolektifitas suporter yang mengambil alih kontrol klub hingga membuat klub, guna mengembalikan budaya sepak bola yang mereka cintai.

 

Klub tersebut adalah FCUM, St Pauli, AFC Wimbledon, Clapton CFC dan masih banyak lagi. Klub tersebut memiliki sudut pandang dan pola pikir yang sama, yaitu menolak sepak bola modern yang dewasa ini semakin menunjukkan kebusukannya dan di latar belakangi oleh kepentingan kapitalis yang tidak peduli akan suara dan peran para suporter dari permainan sepak bola yang indah nan sederhana.

Tidak hanya berbicara klub tandingan, di Inggris para suporter yang merasa muak akan industrialiasasi sepak bola yang semakin brutal menggelar sebuah turnamen sepak bola alternatif yang menjadi tandingan terhadap perhelatan sepak bola yang telah dikuasai oleh para kapitalis. Turnamen tersebut rutin digelar setiap perayaan Mayday yang jatuh pada tanggal 1 Mei.

 

Gayung bersambut, dengan semangat yang sama, berdirilah Easton Cowboys and Cowgirls, di Bristol. Bahkan pada 1998, Easton Cowboys and Cowgirls menggelar sebuah turnamen yang mereka beri nama Piala Dunia Tandingan. Langkah yang mereka ambil pun mendapat apresiasi dari Subcomandante Marcos, hingga membuat mereka diundang untuk bermain sepak bola di Chiapas.

 

Apa yang dilakukan beberapa klub diatas adalah langkah pasti dalam mereduksi langkah para kapital yang mengeksploitasi hiburan masyarakat bernama sepak bola. Seperti apa yang kita ketahui, sepak bola modern telah berhasil menjebak para suporter dalam zona nyaman yang akhirnya menghipnotis kita agar tak menyadari eksploitasi tersebut, contohnya sebagian dari kita yang berpikir bahwa untuk mendukung suatu klub adalah berarti dengan membeli tiket yang sangat amat mahal harganya, mengamini keputusan klub dengan berdiam diri, tetap memposisikan diri dalam ketiak para pejabat klub dan federasi dan lain sebagainya.

Sepak bola modern terus menggiring kita dari suporter, menjadi sekadar penonton yang konsumtif dan hanya meyakini pada suatu kemenangan semu. Tidak berhenti sampai disitu, dewasa ini sejumlah social justice warrior di atas tribun pun semakin banyak dan tak terkendali, mereka yang selalu berteriak dan memaki “kampungan!” terhadap barisan suporter yang merayakan suatu momen dengan menyalakan suar atau bom asap, mereka yang selalu banyak melarang dengan dalih melindungi klub dari sanksi, hingga mereka yang membatasi aturan dan norma tua yang usang. Namun, di sisi lain mereka tak sadar bahwa selama ini mereka hanyalah sekelompok kuda yang dipecut oleh kepentingan kaum kapital yang memanfaatkan klub yang mereka dukung. Mereka meyakini bahwa indentias harus dijaga, tapi nyatanya identitas itu hanyalah omong kosong belaka.

 

Langkah yang dilakukan beberapa suporter yang mencoba untuk mengambil alih kebahagiaan dalam dunia sepak bola di atas mungkin juga memberi sedikit gambaran dan alasan dari mengapa sekelompok suporter memilih sepak bola sebagai alat perlawanan mereka. Mereka berusaha mengembalikan marwah dan esensi sepak bola yang sederhana dengan cara mereka masing-masing, membuat sebuah klub kolektif yang bebas dari eksploitasi industri, merebut kontrol klub dari tangan-tangan licin para pemegang modal yang tidak pernah benar-benar peduli akan kebahagiaan dalam dunia sepak bola, dan menjadikan tribun sebagai ruang sosial yang menjadi tempat untuk saling menghormati dan bergaul meski keadaannya sulit, meski sedang bersaing satu sama lain.

 

Mereka menjadikan sepak bola sebagai olahraga yang dapat dinikmati siapa saja, tak peduli ras, agama, suku mau pun gender dan latar belakang. Sepak bola tanpa diskriminasi dan eksploitasi adalah satu-satunya hiburan yang paling ideal. Maka dari itu, sepak bola bukan lagi sekadar urusan sosio-geografis, melainkan juga perihal siapa saja yang ingin merebut kembali marwah dan esensi yang telah direbut secara paksa oleh para kaum kapital dari sepak bola.

Mungkin, beberapa gerakan yang dilakukan oleh beberapa suporter diatas menjadi sesuatu yang sangat penting bagi sekelompok suporter dan gerakan lainnya untuk mempunyai pengertian yang luas tentang di mana posisi kita dan apa visi terbaiknya tentang sebuah pertandingan sepak bola yang menjadi hiburan idaman. Membentuk klub sepak bola dan menjadikan sepak bola sebagai hiburan tanpa batasan apapun sejatinya memiliki beberapa definisi prinsipil yang sangat jelas dan konteks yang lebih luas serta memberi tempat bagi prinsip-prinsip tersebut sebuah makna dan arti yang lebih dalam.

 

Maka dari itu, perlawanan dalam bentuk budaya kolektif dan sepak bola bukanlah sekadar dongeng pengantar tidur yang melukiskan oasis di gurun pasir belaka, tapi juga bisa berdampingan dan menjadi senjata untuk melawan penindasan dalam dunia sepak bola. Mengapa harus melakukan perlawanan dengan budaya kolektif guna memaknai sepak bola sebagai hiburan bagi semua kalangan? Kenapa tidak!

Sepak bola hadir untuk di nikmati sebagai olahraga rakyat tanpa batasan apapun, jika dewasa ini sepak bola telah direbut oleh para kaum borjuis, maka sebaiknya kalian melihatnya dari sudut yang lain. Buatlah tandingan dan lampaui itu semua. Selalu ada kesempatan untuk merebut apa yang sudah direbut. Rebut dan yakini selalu bahwa budaya kolektif akan merebut semua itu dan mengembalikan semuanya! Karena makanan adalah hak semua orang bukan hak istimewa segelintir orang saja!

 

Karena ada cukup hiburan untuk semua orang di mana-mana!

Karena sepak bola hanya dinikmati oleh kalangan tertentu adalah bohong!

Karena kapitalisme menjadikan sepak bola sebagai sumber keuntungan, bukan sebagai sumber kebahagiaan!

Karena sepak bola untuk semua kalangan!

Karena kita butuh hiburan bukan kendali!

Karena kita butuh hiburan bukan penjara!

Karena kita butuh hiburan bukan bom!

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.