Ronny Pattinasarany: Sepakbola, Keluarga dan Bandar Narkoba

Ronny Pattinasarany: Sepakbola, Keluarga dan Bandar Narkoba

Sepakbola dan sejarahnya memang selalu berjalan seiringan. Cerita dibalik terbentuknya suatu klub, pemain yang mengabdikan diri dan loyalitas suporter menjadi sesuatu yang sangat amat berharga yang bisa dijumpai dalam olahraga ini. Olahraga yang memiliki sisi emosional ini menjadi media bagi banyak orang untuk menjadi sesuatu yang penuh akan nilai histori dimasa yang akan datang. Hal ini juga yang sangat menarik jika dibandingkan dengan olahraga lainnya yang ada di dunia.

 

Berbicara tentang pemain legendaris, rupanya olahraga ini memiliki sangat banyak pemain yang mengukir sejarah dan memori yang indah. Maradona, Pele, Bobby Charlton dan Franco Baresi menjadi sederet pemain yang berhasil membuat para pecinta sepakbola terkesima, tidak hanya dari negara asal mereka, para pecinta sepakbola di dunia pun mengakui kepiawaian para pemain bintang ini. Bukan hanya karena permainan yang gemilang, beberapa kisah dibalik keahlian dalam mengolah sikulit bundar pun menjadi daya jual tersendiri bagi mereka, seperti misalnya Maradona, pemain dengan segudang prestasi yang juga tidak minim akan kontroversi dalam perjalanan hidupnya sebagai pemain sepakbola.

Rupanya selain Maradona yang bersinar di Argentina, Italia dan menjadi sosok yang sangat dibenci di Inggris, Indonesia juga memiliki kisah menarik dari pemain yang memiliki permainan ciamik nan karir yang gemilang.

 

Jika kita menelisik penggalan lirik dari salah satu kelompok musik parodi asal Bandung yaitu Padhyangan Project atau yang lebih dikenal dengan nama P-Project. Band asal kota kembang ini menuliskan "Semenjak zamannya Maladi Hingga ke zaman Ronny Pattinasarany Mereka berjuang demi negeri Untuk satu nama PSSI". Lagu yang memparodikan lagu “close to heaven” milik Color Me Badd yang sangat terkenal ditahun 90-an.

 

Dalam lirik tersebut terdapat dua nama yang dituliskan. Yang pertama Maladi, penjaga gawang tim nasional Indonesia asal Surakarta yang juga menjadi menteri pada saat itu. Selain daripada Maladi, kita juga menemukan nama Ronny Pattinasarany, berbeda dengan Maladi, Ronny Pattiasarany adalah pemain sepakbola asal Makassar yang bersinar di era 70-an hingga tahun 80-an. Jika menyinggung kalimat di beberapa paragraf diatas yang membahas Maradona, kedua pemain ini pun memiliki kisah menarik dibalik aksi mereka dilapangan. Namun, kali ini kita akan sedikit mengulas kisah hidup dari Ronny Pattinasarany, pemain tengah tim nasional Indonesia yang rela mengorbankan segalanya demi keluarga.

Pria yang memiliki nama lengkap Ronald Hermanus Pattinasarany ini lebih dikenal dengan nama Ronny Pattinasarany, lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 9 Februari 1949. Berkat kegesitannya ketika bermain sepakbola membuat ia mendapatkan julukan sebagai “Sang Macan Lapangan” karena selalu Ronny selalu siap menjemput bola di mana pun berada. Dikutip dari beberapa sumber yang menceritakan bahwa sedari kecil Ronny memang sudah terobsesi untuk menjadi bintang sepak bola. Dengan adanya dukungan dari sang ayah, Nus Pattinasarany, ia berhasil mewujudkan apa yang ia impikan.

 

Selain daripada itu, rumah keluarga Pattinasarany pun ternyata berlokasi dekat dengan lapangan sepak bola Mawas yang dimana lapangan tersebut menjadi suatu tempat yang melahirkan banyak pemain handal asal Makassar. Tekad yang kuat dalam menggapai impian, talenta yang sudah tumbuh dalam dirinya dan didikan dari ayahnya yang sangat disiplin seolah menjadi jalan yang mulus bagi langkah Ronny yang menggangtungkan mimpinya dan ingin berkarier dalam dunia sepak bola.

 

Ketika ia menginjak usia 17 tahun, pria asal Makassar ini sudah bergabung dengan skuat PSM. Namanya mulai dikenal khalayak luas pecinta sepak bola lokal maupun nasional ketika melakoni laga pertamanya bersama PSM yang melawan Persipura di Stadion Mattoangin. Gaya permainan Ronny yang berkelas dan elegan berhasil mewarnai permainan PSM yang lebih mengandalkan permainan cepat dan keras.

 

Berkat kepiawannya dalam mengolah sikulit budar, nama Ronny Pattinasaranny pun langsung meroket, hal ini dikarenakan permainan dan umpan yang akurat, baik umpan pendek maupun umpan panjang. Tidak hanya itu, Ronny pun sangat piawai dalam merebut bola dari kaki lawan, ia melakukannya dengan sangat baik, ia melakukan cara yang halus dan tidak mencederai lawan bermainnya.

 

Pada 1970, Ronny dipanggil memperkuat Timnas Junior untuk melakoni kejuaraan Asia di Manila. Setelah itu, dia menjadi sosok yang selalu dipanggil oleh timnas diberbagai kejuaraan tingkat junior. Karir terbaik Ronny bersama PSM terjadi pada kejuaraan Piala Soeharto tahun 1974.

 

Meski pada saat itu usianya masih berusia 25 tahun, Ronny menjadi pemain senior sekaligus kapten PSM Makassar. Ketika itu, Juku Eja diperkuat mayoritas pemain muda yang diprediksi akan mendapatkan tantangan dan kesulitan untuk bersaing dengan PSMS Medan, Persija Jakarta dan Persebaya yang dihuni pemain yang berkiprah di Timnas Indonesia.

Bersama PSM Makassar, Ronny mampu mematahkan anggapan dengan berhasil mempersembahkan trofi juara bagi PSM. Juku Eja bertengger di posisi puncak setelah mengalahkan Persebaya Surabaya dan Persija Jakarta dengan skor yang sama 2-1 dan bermain imbang 1-1 dengan PSMS Medan. Pada perhelatan ini, Ronny berhasil mencetak dua gol pada tiga laga. Tidak hanya saat bertanding, Ronny pun dikenal piawai memberikan motivasi pada pemain lain sebelum bertarung di lapangan.

 

Pemain bertahan PSM saat itu, Malawing, ia memiliki kenangan tersendiri bersama Ronny, Malawing yang pada saat itu baru bergabung dengan PSM pada level nasional mendapatkan treatment khusus dari Ronny sehari sebelum menghadapi Persebaya. Kala itu, seluruh tim yang bergabung dengan kejuaraan ini melakukan makan bersama. Ronny lalu menunjuk satu pemain Persebaya dan meminta Malawing mematikan pergerakannya "Ronny mengancam, kalau pemain itu mencetak gol, dia akan minta ke pelatih PSM agar memulangkan saya ke Makassar. Saya tentu tak mau hal ini terjadi," ujar Malawing.

 

Malawing pun tampil dengan gemilang untuk mengikuti instruksi dari Ronny yang memerintahkan agar ia dapat mematikan pergerakan pemain andalan Persebaya itu dan rupanya ia berhasil melakukan itu. Setelah pertandingan usai, Ronny pun memberi ucapan selamat kepada Malawing dan menyebut nama pemain itu, "Saya terkejut bukan main. Sampai lemas rasanya. Ternyata pemain itu adalah Abdul Kadir, bintang Timnas Indonesia," kenang Malawing.

 

Setelah berhasil memberikan gelar juara pada PSM di Piala Soeharto 1974, ia memutuskan untuk hengkang dari Makassar dan memperkuat klub Galatama, Warna Agung. Bersama klub papan atas Galatama itu, Ronny memperkuat tim ini selama 4 tahun, 1978-1982.

 

Selama memperkuat Warna Agung, Ronny tetap mempertahankan kualitasnya dan era ini pula masa emas karier Ronny. Ia meraih penghargaan Pemain Terbaik Galatama dua musim berturut-turut pada tahun 1979 dan 1980. Tidak berhenti sampai disitu, bersama Timnas Indonesia, Ronny meraih Medali Perak SEA Games 1979 dan 1981.

 

Ronny bukan pemain sembarangan, ia adalah gelandang handal di masanya. Itu terbukti dari sederet prestasi yang ia torehkan. Dalam perjalanan kariernya, Ronny pernah menyabet beberapa penghargaan seperti Pemain All Star Asia (1982), Olahragawan Terbaik Nasional (1976 dan 1981), Pemain Terbaik Galatama (1979 dan 1980), dan Medali Perak SEA Games (1979 dan 1981).

Setelah mendapatkan berbagai penghargaan, Ronny memutuskan untuk gantung sepatu dan beralih profesi sebagai pelatih. Ada beberapa klub yang pernah ditanganinya yakni Persiba Balikpapan, Krama Yudha Tiga Berlian, Persita Tangerang, Petrokimia Putra Gresik, Makassar Utama, Persitara Jakarta Utara dan Persija Jakarta. Prestasi terbaik yang pernah ditorehkan Ronny adalah ketika menangani Petrokimia Putra, ia membawa Petrokimia meraih Juara Surya Cup, Petro Cup, dan runner-up Tugu Muda Cup.

 

Pertandingan Sesungguhnya

Setelah menelan manis pahitnya dunia sepak bola, baik sebagai pemain, pelatih, dan seorang komentator, serta menjalani pertandingan demi pertandingan di berbagai stadion, Ronny akhirnya harus mengehentikan semua kegiatan yang ia geluti selama ini. Namun rupanya ia harus tetap bertarung dalam suatu pertandingan yang menantinya, yakni bertanding melawan bandar narkoba yang mencoba merenggut masa depan anak-anaknya.

 

Dari pernikahannya dengan Stella Maria, legenda sepakbola asal Makassar ini dikaruniai tiga orang anak yaitu Robenno Pattrick (Benny), Henry Jacques (Yerry), dan Tresita Diana. Dua anak laki-lakinya inilah yang terjerat narkoba.

 

Dalam "Berebut Cinta dengan Bandar Narkoba" yang diprakarsai oleh Kick Andy: Kumpulan Kisah Inspiratif (2008) disebutkan bahwa salah seorang anaknya mengenal narkoba sejak duduk di bangku SMP. Hal ini dikarenakan pada saat itu Ronny tengah menjadi pelatih Petrokimia Gresik. "Saya dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit, sepak bola atau menyelamatkan anak. Saya pun akhirnya memutuskan meninggalkan sepak bola, kembali ke Jakarta meskipun pada saat itu saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan," ungkap Ronny.

 

Kepada Stella Maria, Ronny berkata, "Mama juga jangan malu. Ini musibah. Mungkin kita sedang ditegur Tuhan." Dengan segala kemampuannya, Ronny berusaha mengendalikan Yerry terhadap kecanduannya akan narkoba, Ronny pun meminta anak pertamanya, Benny, untuk menjaga adiknya. Namun rupanya Benny juga ternyata kecanduan narkoba, dan bahkan lebih parah dari adiknya.

 

Ronny merasa sangat menderita ketika melihat anak-anaknya yang sering kesakitan karena kecanduan akan barang haram tersebut, Ronny kerap mengantar mereka ke bandar narkoba untuk membeli apa yang anaknya butuhkan pada saat itu. Bukan tanpa alasan dan bukan pula mendukung perbuatan melanggar hukum, tapi karena hatinya yang porak poranda ketika anak-anaknya kesakitan. Ronny bahkan sering berpikir untuk menghabisi para bandar narkoba, namun pikiran itu akhirnya terbantahkan ketika ia berfikir. "Ngapain ngurusin bandar, jauh lebih baik ngurusin anak. Saya berusaha berebut kasih sayang dengan bandar," ujar pemain legendari PSM Makassar dan Indonesia itu. Akhirnya perjuangan Ronny tidak sia-sia, ia berhasil melepaskan jerat narkoba dari anaknya.  Kedua anaknya dapat berhenti dari ketergantungan narkoba dan pertandingan dengan bandar ia menangkan dengan susah payah.

Pada tahun 2007, Ronny lagi-lagi harus bertanding dengan keras, kali ini ia harus melawan kanker hati yang menyerangnya. Empat pertandingan yang lakoni guna menjalani pengobatan ke Guangzhou, Cina. Namun penyakit itu terus menggerogotinya hingga Ronny tak mampu lagi bertahan. Tanggal 19 September 2008, Ronny Pattinasarany wafat di sebuah rumah sakit di Pulomas, Jakarta. Dan pertandingan pun sepenuhnya telah usai.

 

 

Penulis: Rifqi Maulana

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.