Suporter Bukan Sapi Perah, Apalagi Kambing Gembala

Suporter Bukan Sapi Perah, Apalagi Kambing Gembala

Tidak bisa dipungkiri, jika hingga saat ini sepak bola menjadi satu dari sekian banyak olahraga yang dicintai oleh semua kalangan manusia di muka bumi ini. Ada yang fanatik menonton ke stadion, ada yang rela wajahnya dicat warna-warni, ada juga yang sampai isi kamarnya dihiasi bendera klub kesayangan. Tidak hanya berhenti disitu, beberapa pecinta olahraga satu ini pun ada yang rutin berlangganan koran sepak bola dan barang-barang yang berkaitan dengan klub sepak bola. Bahkan ada pula yang hingga umur tua masih suka menonton tayangan sepakbola langsung di layar kaca atau membeli produk klub tersebut.

Liga tertinggi sepakbola Indonesia kembali bergulir pada 23 Juli 2022 yang di ikuti 18 klub kontestan dari seluruh wilayah di Indonesia. Tetapi, rupanya masih banyak klub-klub di Indonesia yang hingga saat ini masih berkutat dengan konflik antara manajeman dengan supporternya sendiri.

Saat ini, olahraga tidak tampak berkaitan dengan kemanusiaan. Padahal, pada mulanya, olahraga itu lahir untuk memanusiakan manusia. Kata lainnya, untuk menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan itu misalnya kesetiaan, rasa saling menghormati, saling menghargai, kesamaan martabat, kedamaian dan persaudaraan. Ini hanya sebagiannya saja, hal lainnya bisa ditemukan lagi ketika kita benar-benar menafsirkan sepak bola sebagai hiburan bagi seluruh khlayak di muka bumi ini. Namun sayangnya, nilai-nilai ini hampir punah, pengaruhnya adalah sesuatu yang selalu mengegerogoti dunia olahraga saat ini.

Mengingat olahraga satu ini memiliki banyak penggemar, dirasa sangat amat tidak mungkin jika sepak bola akhirnya dimanfaatkan pula oleh permainan politik dan kaum borjuis lainnya, maka olahraga ini pun semakin jauh dari nilai kemanusiaan. Sepak bola dengan demikian bukan lagi menjadi kegiatan yang mengembangkan nilai kemanusiaan seperti kejujuran. Pada akhirnya, dunia sepak bola hanyalah ajang merebut kuasa dan eksistensi semata, mengeruk untung sebanyak-banyaknya, hingga menjajah kelompok yang lemah dan masih ada korban jiwa saat  peluit di tiupkan.

Hal tersebut menjadikan beberapa klub sepak bola terlalu sibuk mengejar kesuksesan yang tak jarang membuat lupa hal dasar dari hidup, memanusiakan manusia. Berjuang keras hingga tidak peduli lagi soal saling menghargai, menghormati, tidak mengadili sesama insan dan tidak mengakui kesalahan.

Padahal, mereka yang memiliki rasa cinta terhadap klub ini punya andil atas kelangsungan kehidupan suatu klub. Wujudnya memang tak kasat mata namun penting.

Sepak bola bisa dianggap juga sebagai olahraga yang hadir dan tumbuh berkat manusia. Bermula dari kumpulan jiwa-jiwa. Sebelas lawan sebelas hingga bermain sendiri terasa hambar. Maka dari itu, sudah selayaknya rasa kebersamaan menjadi pondasi. Apakah menjadi suatu hal yang sulit untuk mempercayai kebersamaan manusia merupakan hal penting di sepakbola?

Klub-klub di Indonesia rupanya harus mencontoh pada Borussia Dortmund. Ya, si kuning hitam ini telah merasakan pahit manis hingga getirnya sepak bola berkat si penggerak roda kehidupan. Pernah berada di posisi terwahid, lalu jatuh ke lubang paling dasar dalam periode singkat, lantas kembali lagi dalam lintasan semua karena barisan manusia berpredikat suporter sepakbola.

Pada medio 90-an akan dikenang bagi seluruh pencipta klub Dortmund sebagai era keemasan mereka. Bagaimana tidak, kala itu di bawah asuhan tangan dingin Ottmar Hitzfeld, Die Schwarzgelben diperhitungkan sebagai juara liga jauh sebelum Bayern Munchen mendominasi. Pesaing mereka pun hanya tetangga berisik yaitu Schalke 04 dan Hamburg SV. Gelar kampiun Bundesliga secara beruntun pun berhasil diraih pada musim 94/95 dan 95/96.

Nama besar kesebelasan kuning hitam juga harum di kancah Eropa. Tim yang berdiri tahun 1909 ini mampu berlaga di final Piala UEFA walaupun kalah 6-1 dari Juventus. Puncaknya si kuping besar sukses digondol oleh Riedle dan kawan-kawan atas Bianconeri di tanah Munich musim 1996-1997. Setahun setelahnya menjadi pelengkap tinta emas setelah status klub terbaik di dunia dengan menang 2-0 atas Cruzeiro di partai puncak Intercontinental Cup.

Di balik keemasan yang menyelimuti Dortmund di era 90-an, ada satu hal yang penting malah justru luput dari jangkauan, menjaga hubungan baik dengan para suporter. BVB kala itu belum paham betul bahwa ‘pemain ke-12’ ini adalah bagian penting dari gerak langkah kesebelasan Dortmund. Mereka yang setia mendukung ini dianggap angin lalu oleh manajemen Die Borussen.

Apa yang ada di pikiran para petinggi Dortmund pada saat itu berpaku soal mencari keuntungan yang sangat besar secara finansial. Segala cara ditempuh atas dasar uang yang berlimpah. Upaya tersebut dilakukan dengan membuat BVB sebagai firma terbuka. Kuning hitam melantai di bursa saham Jerman pada medio Oktober 2000 dan menjadikan mereka klub pertama yang berhasil melakukannya.

Hanya saja Dortmund melakukan bisnis dengan cara gegabah. Ada langkah yang keliru dimana ketika mulai masuk bursa saham berarti kepemilikan terbuka untuk publik, manajemen klub malahan tak mengindahkan unsur tersebut. Upaya suporter untuk memiliki saham dipagari betul. Ditambah lagi pemain dan suporter begitu berjarak jauh dengan tak ada sapaan ramah saat bertanding, yang secara langsung, klub pun tak ramah untuk publik dan suporternya sendiri.

Dortmund yang mengangap sepele akan pentingnya unsur publik dalam kesuksesan klub pun menerima resiko yang berujung pada kondisi pahit. Palu godam itu seakan memukul telak tim dari Lembah Ruhr ini ketika pengadilan memvonis kondisi keuangan menuju kebangkrutan pada 2003.  Sungguh ironis, Dortmund menjadi kesebelasan pertama yang go public terancam gulung tikar akan kebangkrutan pada waktu itu, karena tak mengindahkan barisan suporter yang setia mendukungnya.

Karma memang nyata bagi mereka yang menyepelekan urusan memanusiakan manusia. Bagi Dortmund ujaran tersebut benar berlaku adanya. Tak menghiraukan suporter yang setia mendukung membuat BVB merasakan kerugian teramat dalam. Tragis era keemasan hilang tak berbekas. Identitas nama stadion pun mau tak mau hilang karena harus dijual demi pemasukan dari Westfalenstadion menjadi Signal Iduna Park.

Gaji para pemain pun turut dikorbankan dengan pemotongan 20% dan rasa malu pun harus ditanggung karena sang rival Bayern, sampai harus mengulurkan tangan meminjamkan uang dua juta euro. Pada saat kesebelasan berada di jurang terdalam, barulah terasa bahwa yang benar-benar mencintai sepenuh jiwa raga tanpa pamrih adalah suporter, ketika semua para petinggi pergi, bahkan pemain bintang sekalipun, selalu ada barisan setia tanpa pamrih tetap bertahan.

Borussia Dortmund sangat beruntung memiliki The Yellow Wall, serdadu yang dengan sangat lantang berada di belakang gawang tiap Die Borussen merumput ini menunjukkan perhatian paling besar kala situasi tak berpihak. Suporter si kuning hitam ini melakukan runjuk rasa besar-besaran agar klub tidak dijual ke investor baru, walaupun dalam kondisi hampir bangkrut. Tak hanya seruan, kelompok pendukung ini juga pasang badan dan ambil bagian membiayai klub dengan bergabung sebagai pemilik saham.

Kali ini, petinggi Dortmund membuka telinga mereka dengan lebar dari seruan suporternya sendiri. Mereka sadar bahwa kesebelasan ini besar karena pendukungnya yang turut membangun. Hans-Joachim Watzke, sebagai CEO baru kala itu, membuka diri kepada masyarakat untuk membantu dan melahirkan gelombang dukungan ‘Wir sind die Dortmunder’. Berbagai lapisan masyarakat mulai dari warga, pengusaha, hingga pemerintah daerah bersatu dan berhasil menyelamatkan BVB.

Peristiwa ini menjadi titik balik bagaimana Dortmund mampu kembali ke level teratas dengan keuangan yang sehat berkat jasa para suporter. Medio 2008 menjadi titik balik bagi neraca keuangan Die Borussen kembali menemukan titik terang dan dinyatakan telah keluar dari keadaan pailit. Bangkitnya Dortmund dari kebangkrutan oleh suporter ini pula kemudian mengilhami kepemilikan klub oleh suporter di Bundesliga. Hal ini pula yang mengilhami lahirnya peraturan 50+1, sebuah aturan dengan semangat penegasan bahwa para pendukung punya posisi tawar lebih atas kesebelasan yang didukung.

Hubungan Dortmund dengan The Yellow Wall semakin beriringan setelahnya. Kedua entitas tersebut saling bekerja sama memajukan tim. Hasil disemai dengan terbentuknya identitas kesebelasan berupa permainan menyerang cepat bertumpu pada pemain muda. Tersematlah filosofi tim ‘Echte Liebe’ yang berarti cinta sejati di jersey pemain, sebagai pengingat sinergi antara tim dan para pendukung.

Dari apa yang dialami Borussia Dortmund semakin menunjukkan bahwa upaya mengolah si kulit bundar ini adalah perkara memanusiakan manusia, atau dalam hal ini barisan suporter.

Klub lain yang menghargai para supporternya adalah Chelsea. Klub asal kota London ini membuat gebrakan apik dan menjadi tim Inggris pertama yang melibatkan suporter klub dalam rapat. Tindakan ini menjadi cerminan The Blues dalam menghargai para pendukungnya. Dunia sepak bola pernah dikejutkan dengan kehadiran European Super League atau Liga Super Eropa. Munculnya gagasan ini lantas ditolak banyak pihak, terutama dari kalangan suporter yang merasa geram dengan keputusan klub mencoba untuk mengkomersilkan sepak bola. Bahkan UEFA dan beberapa tokoh ternama menyebut kehadiran European Super League bagai musuh bagi para suporter klub sepak bola.

Alhasil, aksi massa pun tak terhindarkan. Aksi protes terbesar pertama terjadi di Inggris kala ratusan atau bahkan ribuan pendukung Chelsea berkumpul di depan Stamford Bridge memprotes kebijakan The Blues yang turut bergabung ke European Super League. Aksi tersebut berjalan damai dan menjadi trigger akan keputusan mundurnya beberapa klub besar yang tergabung di European Super League tiga hari sebelumnya. Chelsea sebagai salah satu founding European Super League pun mencoba belajar dari kesalahan dan menelurkan kebijakan apik pasca kejadian tersebut.

Chelsea merilis pernyataan bahwa mereka akan melibatkan suporter dalam rapat klub ke depannya. Langkah ini bagai penebusan dosa akan keputusan The Blues yang bergabung dengan ide European Super League. Jika dipikir, Chelsea tak perlu repot-repot membawa suporter dalam rapat klub. Bukan rahasia lagi bahwa Roman Abramovich merupakan pemilik tunggal dari The Blues dan tinggal menentukan arah kebijakan klub yang ia miliki. Tapi, Chelsea ternyata memiliki kultur apik dalam membangun hubungan dengan para suporternya di mana mereka tidak bisa begitu saja mengambil kebijakan karena Stamford Bridge dan hak atas nama ‘Chelsea’ dimiliki oleh para pendukungnya.

Di mana-mana dan kapan saja, sepak bola seharusnya tetap bertujuan untuk menyatukan manusia. Seperti apa pun bentuknya, sepak bola rasanya tidak pernah menjadi ajang yang memisahkan sehingga membentuk kelompok yang saling berseteru. Sepak bola adalah aktivitas manusia yang memperkaya aspek kehidupan seseorang, yang bisa membuat manusia berbahagia, laki-laki, perempuan, tua dan muda hingga di negara mana pun, dan dari agama apa pun. Menjauhkan sepak bola dari korupsi dan manipulasi kegiatan bisnis adalah suatu keharusan yang mungkin wajib dilakukan oleh para pecintanya karena sejatinya, sepak bola adalah kegiatan bersama dan untuk semua.

Langkah Dortmund dan Chelsea  ini diharapkan dapat menjadi contoh dan tamparan bagi klub di Indonesia yang dikuasai segelintir orang dan kelompok tertentu yang hanya mementingkan keuntungan semata seiring banyaknya kebijakan klub yang bertentangan dengan keinginan suporter itu sendiri. Dan mungkin ini saatnya untuk berteriak dengan lantang, Suporter bukan sapi perah, apalagi kambing gembala!

Penulis: Ikhsan Setiawan

 

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.