Skip to main content

Sepakbola, Perlawanan, dan Revolusi: Menyingkap Dunia Radikal dalam Soccer vs. the S

Sepakbola, Perlawanan, dan Revolusi: Menyingkap Dunia Radikal dalam Soccer vs. the S

Sepakbola itu bisa menjadi cinta pertama bagi banyak orang. Mulai dari jersey pertama yang kita beli, sampai rela begadang nonton klub kesayangan kalah telak, semua punya dramanya dan kenangannya sendiri. Tapi, di balik semua itu, ada hal-hal yang jarang kita sentuh, atau bahkan meraba saja tidak. Kita sibuk ngomongin formasi, VAR, atau transfer pemain, tapi jarang nanya: sebenarnya, siapa yang punya kendali atas permainan ini?

 

Di era ketika semua hal bisa dijual-beli,mulai dari nama stadion sampai warna jersey. Namun rupanya, pemain yang menendang bola bisa menjadi bisnis miliaran dolar. Sepakbola berubah dari permainan rakyat jadi tontonan mahal. Tapi anehnya, kita masih saja jatuh cinta padanya. Mungkin karena ada sesuatu yang belum selesai kita pahami.

 

Lalu datanglah sebuah buku. Ia nggak bilang, “Nikmatilah permainannya.” Ia lebih kayak, “Hei, kalian sadar nggak sih, permainan ini udah lama dikuasai orang-orang yang bahkan nggak bisa juggling bola selama tiga detik?” Dan sebelum kamu teriak Kick Politic Out of Football!, mungkin buku ini bisa bantu kamu lihat bahwa justru sejak awal, sepakbola dan politik udah tidur sekasur.

 

Buku Soccer vs. the State bukanlah buku sepakbola biasa. Penulis, sekaligus aktivis anarkis asal Austria, yaitu Gabriel Kuhn, menyusun buku ini untuk menggali sisi politik dari permainan yang sering dianggap hanya sebagai hiburan dan permainan rakyat. 

 

Menurut Kuhn: Football is not just a game. It never has been.” Sejak awal, sepakbola telah terhubung dengan isu-isu kelas sosial, nasionalisme, rasisme, seksisme, dan kekuasaan negara. Namun, di sisi lain, juga memiliki potensi revolusioner: sebagai sarana solidaritas, pembebasan, dan perlawanan dari bawah. Maka dari itu, mari kita sedikit mengulas isi buku yang terbit pada tahun 2011 ini.

 

Asal-Usul Sepakbola – Dari Akar Rakyat ke Arena Borjuis.

 

Sepakbola memiliki perjalanan dan rentang sejarah yang sangat panjang sebelum menjadi seperti yang kita kenal sekarang. Di abad pertengahan dan awal modern, berbagai bentuk permainan yang melibatkan bola pun dimainkan oleh rakyat jelata di desa-desa Eropa. Bentuk awal sepakbola ini sering terkesan liar dan tidak terstruktur, bahkan terkesan lebih menyerupai sebuah kerusuhan ketimbang olahraga, atau hanya permainan semata.

 

Saking terkesan seperti kerusuhan semata, permainan rakyat ini kerap dilarang oleh otoritas gereja atau negara karena dianggap mengganggu ketertiban umum, membuat rakyat “terlalu bebas”, bahkan, mengalihkan perhatian dari pekerjaan. 

Namun, justru larangan itu menunjukkan bahwa sepakbola memiliki potensi subversif: rakyat berkumpul, membuat aturan sendiri, dan menolak otoritas luar.

 

Lahirnya Sepakbola Modern.

 

Rupanya, negara yang menjadi tempat lahirnya sepak bola modern adalah Inggris, tepatnya pada abad ke-19, terutama di sekolah-sekolah elite dan universitas. Pada saat ini lah peran kelas menengah dan atas turut meramaikan permainan atau olahraga rakyat ini. Mereka merumuskan aturan-aturan, membentuk klub, dan menciptakan struktur organisasi (seperti Football Association – FA tahun 1863).

 

Namun, segera muncul ketegangan antara “amateurism” (nilai-nilai aristokrat tentang permainan demi kehormatan) dan “professionalism” (nilai-nilai kelas pekerja tentang permainan sebagai penghidupan).

 

Atas dasar ini pula, Kuhn mencatat bahwa profesionalisasi sepakbola justru adalah bentuk perlawanan kelas pekerja terhadap dominasi kelas atas yang ingin menjaga eksklusivitas olahraga. Berbeda dengan para aktivis lainnya, yang menganggap bahwa profesionalisasi adalah bentuk modernisasi pada hiburan rakyat satu ini.

 

 

Sepakbola, Negara, dan Nasionalisme.

 

Sepakbola menjadi alat negara, baik untuk mempersatukan rakyat maupun untuk mengendalikan mereka. Dalam hal ini, Kuhn menyoroti bagaimana negara-negara menggunakan sepakbola sebagai instrumen kekuasaan seperti hal nya sepakbola dalam rezim totaliter. Contoh paling terkenal seperti Italia di bawah Mussolini yang menjadikan Piala Dunia 1934 sebagai alat propaganda fasis. Selain itu, ada juga Nazi Jerman yang mengatur sepakbola sebagai simbol kekuatan ras Arya yang mereka yakini. Dan hal tersebut juga terjadi pada Argentina 1978 ketika rezim militer menggelar Piala Dunia saat melakukan kekerasan brutal terhadap rakyatnya.

 

“Dictators love football—because football moves masses.”

Kuhn tidak mengatakan bahwa sepakbola selalu berkaitan dengan fasisme. Tetapi, jika tidak dikritisi, sepakbola bisa dengan mudah dijadikan kendaraan untuk ideologi nasionalis bahkan otoriter sekalipun.

 

Kuhn juga membahas bagaimana tim nasional menjadi alat pembentukan identitas kebangsaan. Seperti misalnya tim nasional Inggris sebagai simbol British pride”, lalu ada juga Tim Basque dan Catalonia sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi Spanyol, bahkan hingga tim nasional Palestina sebagai simbol eksistensi nasional meskipun dibawah genosida yang dilakukan oleh zionis.

 

Jika kita mengurut apa yang Kuhn tuliskan, lalu muncul sebuah pertanyaannya, “Apakah mendukung tim nasional berarti mendukung negara?” Tidak selalu, kata Kuhn. Tapi penting untuk disadari bahwa mendukung tim nasional juga berarti terlibat dalam konstruksi ideologi nasionalisme, yang bisa berbahaya.

 

 

Kapitalisme dan Komodifikasi Sepakbola

 

Sepakbola modern hari ini telah berubah drastis dari akarnya sebagai permainan rakyat. Kuhn menyebut proses ini sebagai “komodifikasi permainan” yakni ketika sepakbola berubah menjadi barang dagangan untuk dijual, bukan sekadar permainan yang dimainkan demi kesenangan dan solidaritas. 

 

“Football clubs are no longer community institutions—they are brands.”

 

Hal ini jelas mempengaruhi beberapa sektor seperti merchandising, harga tiket makin mahal yang menyebabkan kelas pekerja tersingkir dari stadion, fans lokal digantikan oleh “turis bola” atau konsumen global yang menjadikan sepakbola hanya sebatas tontonan semata. Bahkan, hal yang mungkin paling berbahaya adalah dimana stadion berubah dari ruang komunitas menjadi “mall dengan lapangan di tengah”.

 

Kuhn menyebut ini sebagai bentuk nyata dari penggusuran kelas dalam dunia bola. Fans yang memiliki kaitan emosional pada suatu klub tidak lagi mampu mengakses tim yang dulu mereka dukung dengan darah dan air mata.

 

“Supporters are no longer participants—they’re customers.”

 

Rasisme, Kolonialisme, dan Sepakbola.

 

Masalah yang ada dalam dunia sepak bola tidak berhenti disitu. Menurut Kuhn, sepakbola sering dilihat sebagai ruang multikultural. Pemain dari berbagai latar belakang, warna kulit, dan negara bermain bersama. Tapi, Kuhn menunjukkan bahwa rasisme masih sangat hidup, baik itu di dalam dan di luar lapangan.

 

“Football reflects society’s racial order—and often reinforces it.”

 

 

Warisan Kolonialisme dalam Sepakbola.

 

Banyak negara Eropa memiliki tim yang dipenuhi pemain keturunan Afrika, Karibia, atau Asia Selatan. Namun, meski tampil membela negara, mereka tetap kerap disebut “bukan warga negara asli” saat tim kalah. Bahkan, mereka kerap menjadi kambing hitam ketika negara yang mereka bela menelan kakalahan.

 

Seperti contohnya Prancis 1998 dipuji sebagai “France of Diversity” saat menang. Namun, para pemainnya seperti Zidane, Thuram dan Desailly kerap disalahkan dan direndahkan saat Prancis menelan kekalahan. Hal ini mencerminkan paradoks kolonialisme: negara-negara penjajah masih ingin “menggunakan” mantan koloni mereka, tapi tak sepenuhnya mengakui mereka. Kuhn menyebut ini sebagai “Rasisme terstruktur dalam sepakbola global”.

 

Meskipun banyak masalah, Kuhn rupanya tidak menyerah meskipun sepakbola dirundung setumpuk masalah. Ia percaya bahwa masih ada harapan dalam sepakbola. Seperti apa yang dilakukan oleh tim-tim anti-fasis yang terbentuk dari komunitas migran, sampai gerakan suporter yang menentang rasisme dan seksisme.

 

Gabriel Kuhn mengajak kita melihat bahwa sepakbola bukan ruang netral. Ia adalah tempat pertarungan ideologi: antara komersialisasi dan komunitas, antara patriarki dan pembebasan gender, antara rasisme dan solidaritas. Sepakbola bisa menjadi alat represi, tapi juga ia bisa menjelma menjadi alat revolusi.

 

Suporter: Antara Konsumen dan Aktivis

 

Sepakbola tidak akan ada tanpa suporter, kalimat yang sering kita dengar, bahkan sering kita lihat dalam bentangan spanduk di lapangan. Tapi dalam sistem kapitalisme modern, suporter hanya dianggap konsumen pasif yang ditargetkan oleh sponsor dan pemilik klub. Kuhn menyoroti perbedaan antara dua jenis pendukung, yaitu; Konsumen komersial, mereka yang membeli jersey dan merchandise resmi, langganan streaming, dan tunduk pada aturan klub modern. Sedangkan suporter radikal/komunitas, mereka yang aktif membangun solidaritas, menolak komersialisasi, dan menghidupkan stadion sebagai ruang politik.

 

 

 

“The terraces can be battlegrounds of ideology.”

 

Selain itu, Kuhn juga menyebut sejumlah kelompok suporter yang menolak kapitalisme dalam dunia sepakbola dan membangun alternatif seperti FC United of Manchester yang didirikan oleh fans Manchester United setelah klub diakuisisi Glazer, Hamburger SV “Antira” Fans sebuah jaringan antifasis suporter di Jerman, dan Gate 9 (Omonia Nicosia, Siprus) suporter sayap kiri yang sangat aktif dalam gerakan buruh dan antifasis. Mereka tidak hanya bernyanyi di stadion, tapi juga aktif mengorganisasi aksi solidaritas pengungsi, menolak sponsor yang eksploitatif, dan mendorong struktur demokratis dalam klub.

“A true supporter fights for the soul of the game.”

 

Sepakbola Akar Rumput (Grassroots Football) – Kembali ke Komunitas

 

Kuhn memiliki keyakinan, jika sepakbola profesional telah dijual ke pasar global, Kuhn percaya penyelamat sepakbola justru ada di level akar rumput: liga komunitas, tim mandiri, dan proyek-proyek DIY (Do it Yourself).

 

Lalu, apa itu sepakbola akar rumput? sepak bola akar rumput adalah mereka yang tidak bergantung pada uang dan sponsor besar, dimiliki dan dijalankan oleh komunitas lokal, terbuka bagi semua gender, usia, dan latar belakang, dab memiliki semangat anti-hirarki dan partisipatif.

 

Selain dari itu, Kuhn juga memberi banyak contoh nyata. Beberapa klub seperti Easton Cowboys and Cowgirls (Bristol, Inggris) – klub anarkis yang main ke Zapatista di Meksiko, lalu ada juga Autônomos FC (Brasil) – tim punk-anarkis yang menolak struktur sepakbola Brasil yang sangat korup, dan Republica Internationale FC (Leeds) – klub antifasis, feminis, dan pro-imigran.

 

“In grassroots football, the game is returned to the people.”

 

Lalu, apa itu DIY Football? Menurut Kuhn, untuk memahami DIY Football adalah dengan sesederhana kita memahami “Sepakbola Tanpa Bos” dan menjalankan klub tersebut secara kolektif. Banyak klub akar rumput dijalankan secara kolektif, beberapa cara yang mereka lakukan seperti keputusan diambil lewat rapat umum, bukan manajer tunggal, tak ada struktur hierarki tradisional seperti direktur atau presiden, dan semua anggota punya suara yang sama.

 

Tidak sedikit dari mereka juga sering mengusung prinsip antifasis, anti-seksis, dan anti-kapitalis. Sepakbola bagi mereka adalah alat pembebasan sosial, bukan sekadar olahraga dan hiburan semata.

 

“This is football as it was meant to be: open, wild, and collective.”

 

 

Sepakbola dan Gerakan Politik Radikal.

 

Bagi Kuhn, sepakbola bukan hanya bisa digunakan untuk mendukung status quo (Keadaan atau kondisi yang ada pada suatu saat tertentu, terutama dalam konteks sosial dan politik). Sepakbola juga bisa menjadi senjata revolusi. Ini menunjukkan bagaimana sepakbola terhubung dengan gerakan politik kiri, antifasisme, dan perjuangan sosial.

 

Kuhn juga percaya bahwa stadion, lapangan, dan klub bisa menjadi ruang pendidikan radikal dan bisa juga menumbuhkan solidaritas antar kelas dan ras, mengajarkan demokrasi langsung dan menantang dominasi elite dan otoritas negara.

 

“Football radicalism is not a dream—it’s already happening.”

 

Lalu, apa artinya menjadi “Pecinta Sepakbola” Hari Ini? Bagi Kuhn, mencintai sepakbola berarti juga berani mengkritisinya. Tidak cukup hanya menonton dan bersorak. Para suporter berhak bertanya, siapa yang mengontrol klub ini?, menolak ketika harga tiket tak terjangkau, hingga menyuarakan solidaritas dengan pengungsi, pekerja, dan minoritas.

 

“Loving football is not the same as loving the football industry.”

 

Dalam buku ini juga, Kuhn memperlihatkan bahwa harapan sepakbola tidak pernah mati, asal kita melihat ke bawah, ke pinggiran, ke komunitas, ke lapangan-lapangan yang tidak diliput TV. Mulai dari suporter anti-fasis, klub kolektif, hingga sepakbola jalanan, semua itu adalah bentuk perlawanan terhadap hegemoni industri olahraga modern.

 

“Sepakbola masih bisa menjadi milik kita—asal kita berjuang merebutnya kembali.”

 

Strategi dan Taktik: Mengorganisir Sepakbola yang Membebaskan.

 

Dalam pembahasan terakhir ini, Kuhn menyusun gagasan praktis tentang bagaimana kita bisa merebut kembali sepakbola dan menjadikannya alat perubahan sosial.

 

Empat Prinsip Utama yang Kuhn utarakan adalah Anti-Otoritarianisme; menolak hierarki dalam klub, federasi, dan organisasi sepakbola dan mengembangkan model horizontal, demokratis, dan kolektif. Kedua, Anti-Kapitalisme; menolak komodifikasi pemain, stadion, dan pertandingan dan mengembangkan ekonomi solidaritas: klub koperasi, tiket terjangkau, merchandise lokal. Ketiga, Anti-Nasionalisme; menolak glorifikasi negara dan identitas nasional dan memeluk identitas kolektif yang lintas-batas dan inklusif. Sedangkan yang terakhir, Anti-Diskriminasi; menolak rasisme, seksisme, homofobia, dan transfobia, dan menciptakan ruang aman bagi semua tubuh untuk bermain dan bersuara.

 

“A revolutionary football is not just possible—it already exists in fragments. Our task is to connect them.”

 

Selain dari itu, Kuhn juga memberikan ide-ide yang bisa diterapkan untuk mengubah sepakbola yang sudah dikomersialisasi dan diglobalisasi oleh para elite. Beberapa cara seperti; membentuk klub akar rumput sendiri, mendorong klub profesional agar demokratis, menolak sponsor yang eksploitatif, mengatur turnamen antifasis dan inklusif, menggunakan sepakbola sebagai alat pendidikan politik (misalnya di sekolah, komunitas, atau kamp migran). Yang penting, menurut Kuhn, adalah bahwa perubahan tidak harus dimulai dari atas—tapi dari bawah, dari komunitas, dari lapangan lokal.

 

 

Penutup Buku: “Football is Ours”

 

Kalimat penutup dari Kuhn sangat tegas:

 

“Football belongs to the people, or it belongs to no one.”

 

Ia tidak membenci sepakbola. Sebaliknya, ia sangat mencintainya, dan karena itu, ia menolak melihatnya dikuasai oleh segelintir elite. Kuhn mengajak kita untuk merebut kembali sepakbola dari negara dan pasar, dan mengembalikannya pada rakyat, pada komunitas.

 

Lalu, apa yang Ditawarkan Buku Ini dan Apa Kelemahannya?

 

Kekuatan Buku Ini:
Buku ini menawarkan kritik tajam terhadap sepakbola, tapi tetap membumi. Kuhn tidak hanya marah, ia juga memberi solusi. Gabriel Kuhn mendukung argumennya dengan contoh konkret dari berbagai negara, klub, dan peristiwa. Buku ini menunjukkan bahwa sepakbola bisa menjadi alat perjuangan sosial, bukan hanya hiburan. Mengangkat yang Terpinggirkan, dari sepakbola perempuan, queer, migran, hingga gerakan anti-fasis, semua diberi tempat dalam narasi.

 

Beberapa Keterbatasan:

 

Kurang menyentuh Asia Tenggara, buku ini banyak fokus pada Eropa dan Amerika Latin. Konteks negara seperti Indonesia hanya muncul sekilas. Selain itu, beberapa ide terlalu umum, di bab akhir, beberapa gagasan terasa idealis tanpa banyak contoh teknis implementasinya. Dan yang terakhir, tidak semua pembaca siap dengan kritik nasionalisme, bagi pembaca yang masih sangat terikat pada timnas atau simbol negara, buku ini bisa terasa “menghina” nasionalisme, padahal Kuhn hanya ingin menantang refleksi kita.

 

 

Apa yang Bisa Kita Pelajari dan Lakukan?

 

Buku ini tidak hanya untuk aktivis atau penggemar politik kiri. Ia juga relevan untuk pemuda yang mulai sadar tentang ketimpangan, fans bola yang merasa jengah dengan industri yang makin rakus, komunitas lokal yang ingin menciptakan perubahan lewat olahraga. Gabriel Kuhn, melalui Soccer vs. the State, menegaskan bahwa sepakbola adalah lahan pertempuran: antara negara dan rakyat, kapital dan komunitas, dominasi dan pembebasan.

 

Secara tidak langsung, buku ini mengajak kita untuk mencintai sepakbola tanpa menutup mata, memainkan dan mendukungnya dengan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan, dan menolak bentuk sepakbola yang memenjarakan, dan membangun bentuk sepakbola yang membebaskan.

 

Kalau kamu seorang penggemar atau pecinta sepakbola yang sudah cukup jengah, maka, pertanyaannya bukan cuma “siapa yang menang?”, tapi juga: “Untuk siapa pertandingan ini dimainkan, dan oleh siapa pertandingan ini ditentukan?” disarankan untuk membaca buku Soccer Vs the State secara keseluruhan, jika kalian memiliki keterbatasan bahasa, ada juga versi bahasa Indonesia yang diproduksi oleh Pustaka Catut dengan judul; Sepak Bola VS Negara. Jika kalian masih memiliki keterbatasan untuk membelinya, kalian bisa mengakses secara penuh dalam bentuk PDF, selamat membaca.

Comments

Be the first to comment.

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.
Thanks for contacting us! We'll get back to you shortly. Thanks for subscribing Thanks! We will notify you when it becomes available! The max number of items have already been added There is only one item left to add to the cart There are only [num_items] items left to add to the cart