Skip to main content

Apa Itu Show Israel The Red Card?

Apa Itu Show Israel The Red Card?

 

Sudah lebih dari tujuh dekade, Palestina dikepung, dijajah, dan dikoyak tanpa jeda, dan dunia, seperti wasit di pertandingan final penuh suap, terus meniup peluit ke arah yang salah. Sejak berdirinya negara Israel tahun 1948 (meskipun tidak di akui semua negara) melalui pengusiran massal lebih dari 700.000 warga Palestina (Nakba), hingga blokade Gaza, pemukiman ilegal, dan pembantaian rutin atas nama “pertahanan diri”, sejarahnya tak pernah benar-benar berubah: satu pihak bersenjata, satu pihak terkepung. Tapi anehnya, Israel masih diterima dalam pergaulan internasional, termasuk dunia sepak bola, seolah tak ada kartu merah untuk pelanggaran kemanusiaan bernama genosida yang dilakukan oleh mereka.

 

 

Dari rumah-rumah yang runtuh karena roket, dari sekolah-sekolah yang digulung buldoser, dari rumah sakit yang dijatuhi bom, kita tahu bahwa yang terjadi di Palestina bukan sekadar konflik, tapi sistematis: penjajahan yang dibungkus diplomasi, genosida yang disiarkan langsung di televisi. Dunia bersikap ambigu, seperti VAR yang tak kunjung memutar ulang adegan kejahatan, karena terlalu sibuk menunggu sinyal dari kekuasaan. Dan sementara diplomasi gagal, kampanye melawan Israel menemukan medan perlawanan baru: stadion, tribun, dan lagu-lagu suporter.

 

Kita hidup di zaman ketika bendera Palestina lebih sering dikibarkan di stadion, di konser musik, dan dijalanan ketimbang di forum-forum resmi. Dari kota kecil di Irlandia hingga tribun keras di Maroko, solidaritas terhadap Palestina tak lagi disalurkan lewat pidato, tapi lewat nyanyian dan koreografi. Dan di titik itulah, sepak bola, dengan segala kerumunan dan kekacauannya, berubah menjadi medan politik: tempat publik menolak lupa, bahkan ketika pemerintah dan lembaga-lembaga internasional memilih untuk diam. Di sinilah kampanye Show Israel the Red Card muncul, bukan dari istana yang lega, tapi dari tribun yang penuh sesak.

 

 

Kampanye ini bukan sekadar simbolik. Ia adalah bentuk desakan langsung agar dunia olahraga, khususnya FIFA, tidak lagi memberi ruang bagi negara yang terus-menerus melanggar hak asasi manusia. Jika Rusia bisa disanksi karena invasi, mengapa Israel tetap dibiarkan berlaga di kualifikasi? Bukannya seharusnya mereka di diskualifikasi? Jika pemain bisa diskors karena selebrasi melepas baju, kenapa pembunuhan anak-anak Palestina hanya dianggap “situasi kompleks”? Show Israel the Red Card adalah panggilan moral, dari dunia suporter kepada dunia yang lebih besar: untuk berhenti memandang genosida sebagai isu netral.

 

 

Sejarah Kampanye Show Israel the Red Card

 

 

Kampanye Show Israel the Red Card lahir bukan dari ruang-ruang kekuasaan yang nyaman, melainkan dari akumulasi kemarahan, kelelahan, dan solidaritas global yang terus menguat terhadap perjuangan rakyat Palestina. Nama kampanye ini terinspirasi langsung dari kampanye sebelumnya yang diluncurkan di Inggris pada tahun 1996: Show Racism the Red Card, yang mengajak pemain dan penggemar sepak bola untuk menolak rasisme di stadion dan kehidupan sehari-hari. Namun seiring meningkatnya kesadaran politik dalam komunitas suporter, terutama setelah agresi militer Israel ke Gaza pada tahun-tahun awal 2000-an, bentuk baru dari kampanye ini pun lahir dengan fokus lebih tajam: perlawanan terhadap Israel sebagai negara apartheid.

 

 

Penting dicatat bahwa munculnya kampanye ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan yang lebih besar: Boycott, Divestment, Sanctions (BDS) yang diluncurkan pada 2005 oleh lebih dari 170 organisasi masyarakat sipil Palestina. BDS menyerukan boikot terhadap institusi Israel di berbagai bidang, seperti pendidikan, ekonomi, budaya, hingga olahraga, hal ini dilakukan sebagai cara non-kekerasan untuk menekan Israel agar mematuhi hukum internasional. Kampanye Show Israel the Red Card lahir sebagai bagian dari upaya BDS dalam sektor olahraga, terutama sepak bola yang memiliki pengaruh global dan basis massa yang besar.

 

 

Pada tahun 2010, titik penting dari kampanye ini mulai menguat ketika seruan untuk memboikot Asosiasi Sepak Bola Israel (IFA) disuarakan secara lebih luas. Seruan ini muncul karena keterlibatan IFA dengan klub-klub yang berbasis di permukiman ilegal di wilayah pendudukan Tepi Barat. Menurut hukum internasional, permukiman-permukiman tersebut tidak sah dan melanggar Konvensi Jenewa. Namun, IFA tidak hanya gagal mengambil tindakan, tetapi justru memasukkan klub-klub tersebut dalam sistem liga nasionalnya. Ini menempatkan FIFA dalam posisi yang sangat kontroversial: apakah mereka akan menoleransi pelanggaran hak asasi manusia dan hukum internasional demi menjaga relasi politik, ataukah bertindak sesuai nilai-nilai sportivitas yang mereka klaim?

 

 

Kelompok suporter pertama yang secara terbuka membentangkan spanduk bertuliskan “Show Israel the Red Card” di stadion adalah suporter Celtic FC dari Skotlandia, khususnya dari kelompok Green Brigade, yang sejak awal dikenal sebagai suporter dengan kesadaran politik tinggi dan posisi anti-penjajahan yang tegas. Aksi mereka terjadi pada awal 2010-an, terutama saat tensi meningkat di Gaza. Sejak saat itu, kelompok-kelompok lain ikut bergabung dalam gelombang solidaritas ini, namun yang paling konsisten menyuarakan kampanye tersebut, bahkan di luar momen-momen eskalasi besar adalah kelompok-kelompok suporter di wilayah Italia Selatan seperti Curva B Napoli, beberapa kolektif suporter di Yunani (Gate 13 Panathinaikos), serta komunitas-komunitas ultras kiri di Spanyol, seperti Bukaneros dari Rayo Vallecano, yang menjadikan solidaritas terhadap Palestina sebagai bagian dari identitas tribun mereka.

 

 

 

 

Tahun 2015 menjadi tahun penting dalam konsolidasi kampanye ini. Sebuah mosi diajukan dalam Kongres FIFA oleh Asosiasi Sepak Bola Palestina (PFA) untuk menskors keanggotaan Israel dari FIFA. Mosi ini didukung oleh berbagai organisasi, termasuk tokoh-tokoh besar sepak bola dan aktivis HAM dunia. Namun, akibat tekanan diplomatik yang sangat kuat, terutama dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, mosi tersebut akhirnya ditarik pada detik-detik terakhir. Meski begitu, insiden ini membuka mata publik bahwa sepak bola internasional tidak netral, dan kampanye Show Israel the Red Card mendapatkan dorongan besar dari kegagalan tersebut.

 

 

Seiring berjalannya waktu, kampanye ini juga menyebar ke banyak negara. Di Eropa, dukungan datang dari berbagai kelompok suporter berhaluan politik kiri dari Glasgow hingga Napoli. Di Amerika Selatan, para suporter di Argentina dan Brasil juga menunjukkan solidaritas melalui spanduk dan aksi boikot pertandingan klub-klub yang bekerja sama dengan institusi Israel. Bahkan di negara-negara Arab dan Afrika Utara, kampanye ini telah menjadi bagian dari gerakan budaya tribun yang menolak normalisasi terhadap Israel. Di sinilah kampanye ini berkembang: tidak sebagai gerakan elit, tetapi sebagai ekspresi akar rumput yang sangat politis.

 

 

Pada masa-masa eskalasi kekerasan, seperti agresi besar Israel ke Gaza tahun 2014, 2021, dan 2023, kampanye ini kembali menjadi sorotan utama. Spanduk “Show Israel the Red Card” dibentangkan di berbagai stadion, disebarkan di media sosial, bahkan dicetak dalam bentuk kaus dan stiker oleh kolektif suporter. Kampanye ini kini bukan sekadar ajakan untuk memboikot, tetapi juga untuk menyadarkan bahwa sepak bola tidak bisa menjadi alat pelarian dari realitas kekerasan dan ketidakadilan, justru harus menjadi ruang perlawanan.

 

 

Tidak sedikit pemain profesional yang secara terbuka mendukung kampanye ini, meskipun harus menghadapi risiko seperti pembatalan kontrak atau tekanan politik. Pemain seperti Mahmoud Sarsak, mantan anggota timnas Palestina yang pernah dipenjara oleh Israel tanpa pengadilan selama tiga tahun, menjadi simbol penting dari perlawanan dalam ranah sepak bola. Kesaksiannya tentang penyiksaan, pemogokan makan, dan pembebasan setelah kampanye internasional, menjadi kisah hidup yang memperkuat argumen kampanye ini: bahwa Israel harus diisolasi dari dunia olahraga selama mereka terus melanggar hak rakyat Palestina.

 

 

 

 

Seiring membesarnya gerakan ini, Show Israel the Red Card tidak hanya menuntut boikot, tetapi juga mendesak FIFA dan organisasi sepak bola internasional lainnya untuk memperbaiki standar etika mereka. FIFA tidak bisa terus-menerus mempromosikan kampanye seperti “Respect” dan “Say No to Racism” sambil membiarkan anggotanya terlibat dalam penjajahan dan apartheid. Kampanye ini adalah upaya untuk menyeret FIFA ke dalam cermin, dan menuntut agar mereka memilih: berdiri bersama nilai-nilai keadilan, atau terus menjadi boneka diplomasi geopolitik.

 

 

Kampanye Show Israel the Red Card telah menyebar melampaui batas negara, dan tak lagi dimiliki oleh satu kelompok atau federasi, melainkan oleh ribuan suara tribun yang menolak tunduk pada narasi mainstream. Dunia sepak bola, yang selama ini dikenal steril terhadap urusan politik (setidaknya secara formal), justru menjadi lahan subur bagi perlawanan kultural terhadap normalisasi kolonialisme. Di luar Green Brigade yang memulainya, suporter dari klub-klub seperti Olympique de Marseille (Commando Ultra '84), Standard Liège (Ultras Inferno), dan FC Zürich (Zürcher Südkurve) turut membentangkan spanduk dan menyanyikan lagu solidaritas untuk Palestina. Tidak sedikit dari mereka yang menghadapi denda atau larangan dari UEFA, FIFA, bahkan klub mereka sendiri—namun justru itulah yang membuat suara mereka semakin lantang: karena bukan hanya sekadar protes, melainkan bentuk nyata dari keberanian sipil dalam medan hiburan massa.

 

 

Di beberapa negara, seperti Irlandia dan Turki, solidaritas terhadap Palestina bahkan menjadi semacam default dalam atmosfer pertandingan. Klub Bohemian FC di Dublin, misalnya, pernah mencetak jersey khusus bertema Palestina sebagai bentuk kampanye penggalangan dana. Sementara di Turki, para pendukung klub besar seperti Galatasaray, Fenerbahçe, dan Beşiktaş tak segan membentangkan bendera Palestina dan menyerukan boikot terhadap produk Israel secara kolektif. Di tribun Yunani, nyanyian “Free Palestine!” adalah bagian dari nyanyian standar sebelum pertandingan, seperti lagu wajib sebelum kick-off. Dalam konteks ini, kampanye “Show Israel the Red Card” bukan hanya slogan: ia menjelma menjadi ritus politik stadion, bagian dari budaya tanding yang melawan kooptasi industri sepak bola oleh kepentingan ekonomi dan politik imperialis.

 

 

Menariknya, gerakan ini tidak sepenuhnya berbasis pada kelompok-kelompok kiri radikal atau suporter klub dengan sejarah revolusioner. Bahkan di negara-negara yang relatif konservatif sekalipun, seperti Malaysia dan Indonesia, kampanye ini menemukan gaungnya. Di stadion-stadion Asia Tenggara, terutama saat tensi di Gaza meningkat, banyak kelompok suporter mulai membentangkan poster bertuliskan "Free Palestine", memakai kaus solidaritas, hingga melakukan koreografi khusus. Meskipun belum semuanya secara langsung mengadopsi frasa "Show Israel the Red Card", semangat dan substansinya jelas beririsan. Ini menandakan bahwa sepak bola, sebagai ranah yang begitu dekat dengan massa, bisa menjadi kendaraan paling konkret untuk memvisualisasikan solidaritas lintas batas.

 

 

Dampak Dari Kampanye Show Israel The Red Card

 

 

Efek dari kampanye Show Israel the Red Card tak berhenti di dinding stadion atau layar televisi. Ia menjalar ke media sosial, perbincangan publik, hingga ke meja-meja diskusi politik informal. Di tengah kemapanan media arus utama yang kerap mengaburkan ketimpangan, spanduk-spanduk suporter menjadi semacam billboard bawah tanah, menayangkan fakta yang sulit dibantah: bahwa yang terjadi di Palestina bukan “konflik”, melainkan kolonialisme yang terstruktur. Kampanye ini menggeser narasi. Di banyak negara Eropa, terutama di kalangan muda urban, solidaritas terhadap Palestina kini menjadi semacam badge of conscience, lencana moral yang menunjukkan posisi seseorang dalam medan etika global.

 

 

Di luar itu, kampanye ini juga mengguncang kenyamanan federasi sepak bola internasional. FIFA dan UEFA, yang selama ini alergi terhadap simbol-simbol politik, terpaksa menghadapi tekanan dari dua sisi: dari satu sisi mereka ingin menjaga bisnis tetap steril dari kontroversi, tapi dari sisi lain mereka tidak bisa menutup mata terhadap tekanan publik yang terus meningkat. Meskipun hingga kini belum ada sanksi formal terhadap federasi sepak bola Israel, tekanan untuk mendiskualifikasi atau membekukan keikutsertaan mereka dalam turnamen internasional semakin kuat, terutama setelah laporan-laporan dari Human Rights Watch dan Amnesty International yang menyebut Israel melakukan kejahatan apartheid.

 

 

Sementara itu, gerakan ini juga memperkuat jaringan solidaritas antar komunitas sipil. Kampanye ini sering menjadi jembatan antara aktivisme politik, gerakan buruh, hingga organisasi mahasiswa yang memiliki kesadaran lintas isu. Sebuah aksi bentangan spanduk di stadion bisa berlanjut menjadi aksi solidaritas di jalan, penggalangan dana, atau diskusi publik. Kampanye “Show Israel the Red Card” dengan sendirinya menegaskan bahwa politik tak bisa dikurung dalam parlemen atau ruang redaksi: ia hidup di tribun, di mural jalanan, di koreografi stadion, dan di sorak-sorai yang menolak tunduk.

 

 

Kampanye Show Israel The Red Card di Indonesia

 

 

Di Indonesia, kampanye Show Israel the Red Card tidak muncul dalam bentuk formal seperti di Eropa, namun manifestasinya terasa jelas dan penuh gairah. Dalam beberapa tahun terakhir, terutama saat agresi militer Israel ke Gaza meningkat, kelompok-kelompok suporter di Indonesia menjadi salah satu kekuatan paling vokal dalam menyuarakan solidaritas terhadap Palestina. Tidak jarang, spanduk-spanduk bertuliskan “Free Palestine”, gambar bendera Palestina, atau bahkan kutipan dari pemimpin perjuangan Palestina muncul di tribun stadion. Stadion menjadi ruang artikulasi politik yang lebih jujur ketimbang ruang-ruang resmi yang seringkali terbelenggu kepentingan diplomatik.

 

 

Seringkali aksi ini dilakukan tanpa koordinasi dengan klub maupun panitia pertandingan, murni inisiatif akar rumput. Ini menandakan satu hal: bahwa empati terhadap Palestina bukanlah sekadar tren, tetapi bagian dari kesadaran politik yang tumbuh di luar institusi resmi. Tidak heran jika kampanye seperti ini berkembang pesat di Indonesia, mengingat sejarah panjang solidaritas dunia dan warisan politik anti-kolonial dalam ingatan kolektif masyarakat.

 

 

 

 

Selain Indonesia, negara-negara lain di Asia dan Afrika juga menunjukkan ekspresi solidaritas serupa. Di Malaysia, dukungan terhadap Palestina hampir menjadi kebijakan nasional: klub, asosiasi, dan bahkan sponsor tidak canggung menunjukkan posisi mereka secara terbuka. Di Tunisia dan Maroko, stadion-stadion sering menjadi lokasi demonstrasi pro-Palestina yang terkoordinasi. Sementara di Afrika Selatan, warisan perjuangan anti-apartheid membuat banyak kelompok suporter, termasuk yang di liga bawah menjadikan kampanye ini sebagai bagian dari memori kolektif perjuangan mereka. Semua ini memperlihatkan bahwa sepak bola tetap menjadi panggung global, tempat suara minoritas bisa menggema melebihi pidato para pemimpin dunia.

 

 

Penolakan Terhadap Kampanye Show Israel the Red Card

 

 

Namun tidak semua negara dan lembaga sepak bola menerima kampanye ini dengan tangan terbuka. Di banyak tempat, kampanye Show Israel the Red Card dianggap sebagai pelanggaran terhadap “aturan netralitas” dalam olahraga. UEFA dan FIFA, misalnya, secara konsisten menolak segala bentuk ekspresi politik dalam pertandingan resmi, meskipun sering kali batas antara “politik” dan “kemanusiaan” menjadi kabur. Ironisnya, seruan untuk menghentikan apartheid di Afrika Selatan pada masa lalu justru lahir dan menyebar lewat olahraga. Tapi hari ini, seruan serupa terhadap Israel justru diberangus dengan alasan menjaga sportivitas dan tidak melibatkan politik pada permainan rakyat ini.

 

 

Beberapa negara seperti Jerman, Prancis, dan Inggris bahkan bersikap ambigu atau bahkan cenderung represif terhadap kampanye ini. Di Jerman, membawa bendera Palestina atau mengenakan atribut solidaritas dalam stadion bisa dianggap sebagai “antisemitisme terselubung”. Di Prancis, beberapa suporter dilaporkan dikeluarkan dari stadion karena membentangkan spanduk “Free Palestine”. Sementara itu, di Inggris, klub-klub seperti Arsenal dan Manchester City beberapa kali mendapat tekanan dari kelompok pro-Israel agar tidak mengizinkan aksi pro-Palestina di stadion. Alhasil, suporter yang ingin menyuarakan solidaritas terpaksa melakukannya dengan cara lain seperti mengenakan kufiyah, menyanyikan lagu-lagu pro-kebebasan, atau membentangkan koreo simbolik.

 

 

Lebih parah lagi, beberapa media arus utama sering kali menggambarkan kampanye ini sebagai aksi “provokasi” atau “mengganggu kenyamanan publik”. Padahal yang lebih mengganggu kenyamanan publik adalah tayangan harian tentang pembantaian warga sipil, pengeboman sekolah, dan blokade medis yang dilakukan Israel terhadap Palestina. Sering kali, sikap ganda ini menunjukkan bahwa netralitas hanyalah kedok. Ketika UEFA menolak seruan untuk melarang federasi Israel tapi cepat bertindak terhadap Rusia, publik pun mulai bertanya: netralitas macam apa yang sedang dijaga?

 

 

Meski begitu, tekanan ini tidak serta-merta menghentikan laju kampanye. Justru sebaliknya, setiap tindakan represif melahirkan perlawanan baru. Dalam dunia sepak bola, semakin keras larangan, semakin kreatif pula bentuk ekspresinya. Solidaritas akan tetap bergema jika tidak lewat spanduk, maka lewat lagu, koreografi, dan aksi luar stadion. Suara tribun mungkin tidak bisa dilipat dalam dokumen resmi, tapi bisa mengguncang struktur yang selama ini nyaman bersembunyi di balik kata “sportif”.

 

 

 

 

Di tengah reruntuhan moral sepak bola dunia, di mana bendera perang lebih cepat berkibar daripada bendera kemanusiaan, kampanye Show Israel the Red Card menjelma sebagai salah satu bentuk perlawanan paling jujur dari suara-suara tribun. Ketika FIFA, UEFA, dan seluruh jejaring kapital global bersikeras mensterilkan stadion dari suara-suara yang dianggap “terlalu politis”, para suporter tetap bersikukuh bahwa kemanusiaan bukanlah isu yang menyalahi aturan. Seruan Free Palestine bukanlah slogan ideologis semata, melainkan jeritan nalar yang lelah melihat ketidakadilan dijadikan tontonan.

 

 

Dan di Indonesia, negara yang tiap 17 Agustus masih setia pada lomba panjat pinang tapi lupa memanjat martabat, dukungan terhadap Palestina sering kali lebih tulus datang dari tribun stadion daripada dari gedung-gedung wakil rakyat. Ironis memang, negeri yang katanya merdeka ini justru tampak lebih hidup saat membela kemerdekaan bangsa lain. Tapi mungkin di sanalah nyawanya: kemerdekaan yang sejati lahir dari empati, bukan seremoni. Maka tak heran jika ketika kemerdekaan Indonesia terasa makin abstrak dan dipenuhi utang, skandal, dan ketidakadilan struktural. 

 

 

Dalam semesta yang absurd ini, di mana suporter dilarang bernyanyi soal pembebasan Palestina, tapi wasit boleh tutup mata saat nyawa sipil Palestina melayang, kita semua tahu siapa yang layak dikartu merah. Dan barangkali, ketika politik gagal, tribun tetap jadi tempat paling masuk akal untuk menyuarakan apa yang disebut Luffy dalam One Piece:

 

 

“Aku tidak peduli jika aku mati… yang penting aku mati dalam perjuangan membebaskan teman-temanku!”

 

 

Dan masa depan tanpa Palestina yang merdeka, hanyalah perpanjangan dari masa lalu yang penuh luka. Dan bukankah itu cukup menjelaskan? Bahwa solidaritas, bahkan di dunia fiksi, masih lebih masuk akal daripada diplomasi pura-pura di dunia nyata. Jika bajak laut bisa mengerti arti pembebasan, mengapa justru mengapa para pemimpin dunia yang tersesat dalam peta?

 

 

"They kill for oil, they kill for gold,

They kill for power, they kill for control."

— Primal Scream, Culturecide

 

 

Ketika federasi sepak bola takut kehilangan sponsor, tapi tak takut kehilangan martabat, mungkin yang sedang kita saksikan adalah bentuk “Culturecide” yang lain: pembungkaman simbol, pembunuhan solidaritas, dan pembiaran terhadap genosida yang terus disulap jadi headline ambigu.

 

 

Lirik Primal Scream bukan sekadar jeritan dari ujung amplifier, tapi peringatan keras: bahwa mereka yang diam sama bersalahnya dengan mereka yang menembakkan senjata.

 

Comments

Be the first to comment.

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.
Thanks for contacting us! We'll get back to you shortly. Thanks for subscribing Thanks! We will notify you when it becomes available! The max number of items have already been added There is only one item left to add to the cart There are only [num_items] items left to add to the cart