Skip to main content

Bagaimana Jika Kita Hidup Tanpa Sepak Bola?

Bagaimana Jika Kita Hidup Tanpa Sepak Bola?

 

Pernahkah kamu membayangkan dunia tanpa sepak bola? Bukan cuma tanpa pertandingan, tapi benar-benar tanpa jejaknya. Tanpa warna, tanpa aroma, tanpa gema. Tidak ada jersey yang digantung di jemuran, tidak ada anak yang memegang bola plastik di gang sempit, tidak ada lagu-lagu tribun yang menyala dari hati. Dunia yang kehilangan denyut nadi rakyatnya.

 

 

Tidak hanya berhenti sampai disitu, sebuah sore minggu tanpa siaran langsung, tanpa sorakan dari rumah-rumah, tanpa anak kecil berlarian di lapangan tanah. Hanya ada keheningan, seperti radio yang kehabisan baterai. Stadion-stadion berdiri megah tapi kosong, kursi-kursinya berdebu, rumputnya tumbuh liar tanpa arah. Jalan menuju stadion tak lagi padat. Tak ada klakson dan nyanyian yang saling bersahutan, tak ada obrolan di warung kopi soal “wasit goblog”, tak ada alasan untuk menunggu akhir pekan dengan degup jantung yang cepat.

 

 

Rupanya, selama ini sepak bola berhasil berevolusi dari permainan rakyat menjadi bahasa universal yang tak perlu diterjemahkan. Ia dimengerti sama baiknya oleh seorang anak di Nairobi maupun kakek di Naples, oleh tukang ojek di Bandung dan nelayan di Makassar. Tapi bagaimana jika bahasa yang sangat mudah untuk diterjemahkan itu tiba-tiba menghilang? Bagaimana jika semua gol, selebrasi, air mata, rasa kecewa, dan amarah yang menyertai pertandingan, semuanya lenyap seperti mimpi buruk yang tak sempat diceritakan?

 

 

Saya mencoba untuk sedikit membayangkan jika kita hidup tanpa sepak bola, kita akan kehilangan ritme kehidupan sosial. Dunia akan terasa lebih datar, tanpa drama, tanpa tensi yang membuat kita berdebat sekaligus tertawa. Orang-orang akan mulai lupa bagaimana rasanya menanti menit ke-90 dengan harapan yang tipis tapi tak pernah benar-benar mati.

 

 

Contohnya sederhana: di Jakarta, tiap kali Persija melakukan suatu pertandingan, ratusan pedagang kaki lima menggantungkan nasib pada keramaian di sekitar stadion. Jika sepak bola lenyap, suara mereka akan lenyap juga. Anak-anak yang biasanya menonton di layar warung, kini hanya menatap kosong ke tembok. Mungkin mereka akan menemukan permainan baru, tapi tidak lagi dengan gairah yang sama.

 

 

Sepak bola bukan hanya hiburan, tapi cara manusia mengisi kekosongan. Dunia tanpa sepak bola bukan sekadar tanpa olahraga, tapi tanpa denyut kehidupan yang membuat kita merasa “terlibat” dalam sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

 

 

Sepak Bola Sebagai Identitas Kolektif

 

Hampir setiap kota di dunia ini punya klub sepak bola, meskipun sepertinya pasti ada suatu kota yang tidak memilii klub sepak bola. Namun, setiap kota yang memiliki klub sepak bola, jelas punya identitas. Di Eropa, kita mengenal rivalitas klasik seperti Celtic vs Rangers, Manchester United vs Liverpool, atau Boca Juniors vs River Plate di Argentina yang syarat benturan identitas dan melampaui batas lapangan. Di Indonesia, kita punya Arema vs Persebaya, Persija vs Persib, PSS vs PSIM, sebuah rivalitas yang bukan hanya soal menang atau kalah, tapi soal siapa diri kita, dari mana kita berasal, dan berada di sisi mana kita.

 

 

Dengan demikian, sepak bola rupanya membantu untuk membentuk semacam “komunitas imajiner” yang nyata di hati orang-orangnya, atau juga para penggemarnya. Seseorang bisa mengenakan kaos tim kesayangannya, dan orang lain akan menyapanya seolah mereka sudah lama kenal. Tak ada percakapan yang lebih cepat mencairkan suasana daripada berbagi rasa sakit karena tim yang sama kalah semalam, atau juga bebragi rasa karena kemenangan. Identitas itu bukan dibangun oleh papan skor, tapi oleh rasa.

 

 

Tanpa sepak bola, identitas kolektif itu otomatis akan tercerabut. Komunitas-komunitas suporter yang biasanya berkumpul di tribun atau warung kopi kehilangan alasan untuk berkumpul. Chant-chant yang biasa menggetarkan udara akan tinggal kenangan, dan bendera-bendera besar hanya akan menjadi kain tanpa makna. Mungkin mereka akan mencoba menggantinya dengan komunitas lain, tapi energi yang sama jarang bisa ditemukan.

 

 

Saya mencoba untuk mengambil contoh kecil: di Bandung, kata Bobotoh lebih dari sekadar sebutan untuk pendukung Persib. Ia adalah identitas kultural. Seorang Bobotoh bisa hidup di luar kota, bahkan di luar negeri, tapi identitas itu tetap melekat. Ia bukan sekadar penonton, tapi bagian dari narasi besar kota. Jika sepak bola hilang, identitas itu ikut terkikis.

 

 

Sepak bola memberi kita cara untuk merasa memiliki, bahkan ketika hidup terasa asing. Dalam dunia yang makin individualistis, sepak bola adalah satu dari sedikit hal yang membuat kita kembali menjadi “kita”.

 

 

Tidak hanya di lingkup kehidupan individu. Sepak bola juga berhasil menjadikan dirinya menjadi sesuatu yang penuh makna akan arti kehidupan. Seperti hal nya di sekitar stadion, hidup bergulir dengan cara yang sederhana tapi penuh arti. Di pintu masuk, ada pedagang asongan yang menenteng minuman dingin, di sisi jalan ada ibu-ibu yang menjual nasi bungkus. Mereka bukan bagian dari pertandingan, tapi pertandingan adalah bagian dari hidup mereka.

 

 

Hilangnya sepak bola berarti hilangnya sumber kehidupan bagi ribuan orang kecil. Bagi mereka, setiap pertandingan bukan sekadar hiburan, tapi peluang ekonomi. Mungkin, seorang tukang asongan di Gelora Bandung Lautan Api akan mengatakan, “Kalau Persib main, anak saya bisa makan enak.” Kalimat sederhana itu lebih jujur dari laporan ekonomi mana pun.

 

 

Sepak bola juga menggerakkan ekonomi informal yang sulit tergantikan. Mulai dari pedagang atribut, jasa transportasi dadakan, sampai warung kopi yang buka sampai dini hari saat Piala Dunia berlangsung. Tanpa sepak bola, rantai kecil ekonomi rakyat ini akan runtuh. Orang-orang yang biasa hidup dari keramaian stadion akan kembali ke rumah dengan tangan kosong.

 

 

Contoh paling nyata terjadi pada pandemi COVID-19. Saat liga dihentikan, ribuan pekerja sektor kecil kehilangan penghasilan. Dari steward stadion sampai penjual gorengan, semua merasakan dampaknya. Bukan hanya pemain yang kehilangan panggung, tapi juga rakyat kecil yang selama ini hidup di pinggirnya.

 

 

Sepak bola memberi mereka harapan sederhana: setiap laga adalah peluang baru. Tanpa sepak bola, harapan itu terputus, dan hidup menjadi lebih sempit dari biasanya.

 

 

Sepak Bola Sebagai Ruang Perlawanan

 

 

Setiap cinta yang tulus pada sepak bola, cepat atau lambat, akan bersinggungan dengan kesadaran sosial. Dari obrolan ringan di warung kopi sampai nyanyian di tribun, semua berawal dari rasa memiliki yang kemudian berubah menjadi kesadaran: bahwa ada yang salah di luar sana. Bahwa ada yang tidak adil. Dari situ, sepak bola berhenti jadi sekadar hiburan. Ia menjelma ruang perlawanan, tempat rakyat kecil menumpahkan suara yang selama ini tak terwakilkan. Di tengah sistem yang semakin menindas, di mana suara rakyat sering dikalahkan oleh kepentingan modal, stadion menjadi satu-satunya ruang di mana kejujuran masih punya tempat.

 

 

Tribun adalah ruang politik paling jujur. Di sana, orang bisa berteriak tanpa sensor, mengekspresikan kemarahan, ketidakpuasan, bahkan solidaritas. Tak ada moderator, tak ada pejabat yang mengatur nada, hanya suara rakyat yang bergemuruh dari dada. Spanduk bisa lebih tajam dari editorial koran, dan nyanyian bisa lebih lantang dari pidato di parlemen. Stadion, dalam bentuk paling jujurnya, adalah parlemen jalanan yang tak kenal protokol.

 

 

Di banyak tempat, sepak bola juga lahir dari denyut rakyat yang melawan sunyi. Di Amerika Latin, para suporter menyelundupkan pesan politik dalam teriakan mereka. Di Turki, kelompok Carsi dari Besiktas berdiri di garis depan demonstrasi Gezi Park 2013. Di Mesir, Ultras Ahlawy menjadi nyawa Revolusi Tahrir. Sementara di Palestina, sepak bola adalah bukti bahwa bangsa yang terkepung masih hidup, dan setiap gol melawan tim Israel adalah bentuk eksistensi, bukan sekadar kemenangan. Di semua tempat itu, tribun berubah menjadi altar perlawanan: tempat rakyat melawan lupa dan ketakutan.

 

 

 

 

Dan gema itu tak hanya terdengar di luar negeri. Ia juga menemukan rumahnya di sini, di antara stadion-stadion kita yang berdebu, di tengah rakyat yang menjadikan sepak bola bukan sekadar hiburan, tapi bagian dari hidup mereka sendiri. Di Indonesia, semangat yang sama tumbuh dari bawah, dari lapisan masyarakat yang menjadikan sepak bola sebagai bahasa sehari-hari. Tribun di negeri ini tidak hanya diisi oleh penonton, tapi oleh warga yang membawa beban hidup, kekecewaan, dan harapan mereka ke stadion. Di sana, suara mereka menemukan bentuknya sendiri, kadang berupa nyanyian, kadang berupa spanduk yang menohok, kadang berupa diam yang penuh makna. Sepak bola menjadi ruang tempat rakyat menuntut keadilan, bukan lewat rapat atau konferensi, tapi lewat nyanyian yang dihafal bersama.

 

 

Dan seperti di tempat lain, perlawanan itu kadang lahir dari luka. Tragedi demi tragedi di stadion Indonesia menjadi cermin betapa sepak bola kita masih dikelola dengan logika kuasa, bukan logika manusia. Rakyat datang dengan cinta, tapi sering pulang dengan air mata. Namun justru dari situ, muncul kesadaran baru: bahwa sepak bola bukan milik federasi, bukan milik sponsor, tapi milik rakyat. Bahwa suporter bukan sekadar penonton, melainkan bagian dari sejarah sosial suatu bangsa, yang tahu bagaimana mencintai sekaligus melawan.

 

 

Ketika mereka menolak menolak hadir dalam suatu pertandingan di tengah ketidakadilan, ketika mereka menuntut transparansi dan keamanan di stadion, itu bukan sekadar aksi spontan. Itu adalah bentuk protes yang lahir dari cinta paling jujur terhadap sepak bola. Mereka tidak melawan karena benci, tapi karena peduli. Karena mereka tahu: tanpa keadilan, tidak ada kegembiraan yang sejati di lapangan hijau.

 

 

Tanpa sepak bola, ruang itu akan hilang. Rakyat akan kehilangan panggung paling organik untuk bersuara. Stadion bukan hanya tempat bersorak, tapi juga ruang belajar tentang menjadi warga negara: belajar mencintai, kecewa, menuntut, dan berani. Di tengah masyarakat yang makin membungkam lewat aturan, algoritma, dan moral palsu, tribun tetap menjadi tempat di mana kemarahan bisa bergema tanpa malu. Selama masih ada rakyat yang datang dengan cinta dan pulang dengan suara, saya rasa, suara itu tak akan pernah hilang.

 

 

Sepak Bola dan Imajinasi Pribadi

 

Setelah segala teriakan dan bendera yang berkibar di tribun, setelah spanduk-spanduk yang menantang kekuasaan, sepak bola juga menyimpan sisi yang jauh lebih sunyi, sisi yang personal, yang tak bisa dijelaskan dengan teori sosial atau politik apa pun. Di balik hiruk-pikuk stadion, selalu ada individu yang membangun hubungan intim dengan permainan ini, hubungan yang lahir dari kenangan, kebersamaan, bahkan kehilangan. Sepak bola, pada titik paling manusiawinya, bukan hanya milik massa. Ia juga milik setiap orang yang pernah menatap bola menggelinding dan merasakan degup yang tak bisa dijelaskan.

 

 

Setiap orang punya kisah kecil dengan sepak bola. Ada yang mengenang ayahnya mengangkatnya ke pundak saat nonton pertandingan pertama. Ada yang menonton Piala Dunia 2002 di warung, berdesakan dengan tetangga. Ada pula yang mengenal cinta pertama di tribun, di tengah hujan dan lagu yang tak berhenti dinyanyikan. Semua itu adalah bagian dari ingatan kolektif yang membentuk siapa kita hari ini.

 

 

Sepak bola adalah ruang nostalgia dan impian. Anak kecil yang menendang bola plastik di gang mungkin tak tahu teori taktik, tapi ia tahu apa itu mimpi. Ia tahu bagaimana rasanya ingin jadi seperti pemain idolanya. Ia tahu bahwa di tengah kerasnya hidup, ada hal sederhana yang membuatnya merasa hidup.

 

 

Tanpa sepak bola, masa kecil kehilangan aroma debu dan keringat. Dunia jadi lebih sunyi. Tak ada lagi perayaan liar di tengah malam setelah tim kesayangan menang. Tak ada lagi obrolan tak berujung di warung kopi. Yang tersisa hanya rutinitas tanpa denyut emosi.

 

 

Seperti misalnya seorang pria paruh baya pernah bercerita bahwa sejak mengenal tribun, ia berhenti mabuk. Katanya, “Kalau saya mabuk, saya gak bisa nyanyi bareng teman-teman di stadion.” Sepak bola, tanpa ia sadari, telah menyelamatkan hidupnya. Mungkin itu hanya satu kisah kecil, tapi dari cerita seperti itulah kita tahu bahwa sepak bola bukan sekadar soal siapa yang menang atau kalah, melainkan tentang bagaimana seseorang belajar bertanggung jawab pada sesuatu yang ia cintai.

 

 

Sepak bola mengajari kita tentang kehilangan, ketekunan, dan harapan. Ia hadir di antara detik-detik hidup yang biasa, ketika seorang ayah mengajarkan anaknya cara menendang bola, ketika dua orang sahabat berseteru karena tim berbeda, atau ketika seseorang menatap layar televisi sendirian dan meneteskan air mata saat klub kesayangannya kalah adu penalti di partai final. Tanpa kita sadari, sepak bola adalah cara paling sederhana untuk belajar mencintai sesuatu yang tidak selalu memberi balasan.

 

 

Dunia yang Akan Pincang Tanpanya

 

Sepak bola adalah cermin kehidupan. Ia punya cinta, kebencian, tragedi, dan keindahan. Di dalamnya, kita belajar tentang kemenangan dan kekalahan, tentang solidaritas dan kesetiaan. Ia mengajarkan kita untuk merayakan bersama, dan menangis tanpa malu. Ia membuat orang yang tak saling kenal memeluk di tengah hujan, dan membuat mereka yang berbeda pandangan duduk di bangku yang sama, menatap ke arah yang sama; ke gawang, ke harapan, ke sesuatu yang membuat mereka percaya pada arti kebersamaan.

 

 

Tanpa sepak bola, dunia mungkin bisa saja melakukannya. Tapi, bagi sebagian orang, hidup hanya sekedar hidup, ada yang kurang. Tak ada lagi alasan untuk bersorak di tengah malam. Tak ada lagi jalanan penuh anak muda dengan syal di leher dan suara parau seusai bernyanyi. Tak ada lagi obrolan di warung kopi yang berujung tawa, makian, atau debat panjang yang entah mengapa justru mempererat persahabatan. Dunia tanpa sepak bola adalah dunia yang terlalu teratur, terlalu steril, terlalu sepi dari kegilaan yang membuat hidup ini terasa manusiawi.

 

 

Karena sepak bola, pada dasarnya, bukan hanya tentang siapa yang menang di papan skor. Ia adalah tentang siapa yang datang ke stadion meski timnya kalah sepuluh kali beruntun. Tentang siapa yang masih percaya bahwa ada keindahan dalam perjuangan. Tentang siapa yang tetap berdiri, menyanyikan lagu kebanggaan meski lampu stadion padam dan semua kamera sudah mati. Dalam setiap peluit, dalam setiap nyanyian, selalu ada cerita manusia yang menceritakan tentang cinta, kehilangan, dan harapan yang tak pernah benar-benar padam.

 

 

Hidup tanpa sepak bola adalah hidup yang kehilangan denyut sosial. Ia mungkin tetap berjalan, tapi pincang. Karena sepak bola adalah jantung dari banyak hal yang kita anggap sepele: pertemuan, kebersamaan, perayaan, bahkan rasa memiliki. Ia membuat kita percaya bahwa masih ada sesuatu yang bisa disembuhkan lewat sorakan bersama. Bahwa di dunia yang semakin individualistik dan dingin, ada ruang di mana orang-orang bisa kembali menjadi “kita.”

 

 

Seorang suporter tua pernah berkata, “Tanpa bola, dunia ini gak ada lagu.” Dan mungkin benar. Tanpa sepak bola, kita semua akan lupa bagaimana cara bernyanyi, bukan karena kita kehilangan nada, tapi karena kita kehilangan alasan untuk bernyanyi bersama. Mungkin dunia akan tetap berputar, tapi ia takkan lagi berdetak dengan ritme yang sama.

 

 

Sepak bola adalah lagu panjang yang dinyanyikan umat manusia, kadang sumbang, kadang indah, kadang penuh air mata. Tapi tanpa lagu itu, hidup ini hanyalah senyap yang terlalu sempurna untuk disebut kehidupan.

 

Comments

Be the first to comment.

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.
Thanks for contacting us! We'll get back to you shortly. Thanks for subscribing Thanks! We will notify you when it becomes available! The max number of items have already been added There is only one item left to add to the cart There are only [num_items] items left to add to the cart