Skip to main content

Dari Greenwashing ke Artwashing: Panggung Musik Sebagai Tirai Dosa

Dari Greenwashing ke Artwashing: Panggung Musik Sebagai Tirai Dosa

 

 

Setiap tahun, ratusan ribu orang berbondong-bondong ke festival musik. Dari padang rumput Glastonbury di Somerset, Inggris, sampai padang pasir gurun di California tempat Coachella berlangsung. Dari Primavera Sound di Barcelona, hingga festival-festival “alternatif” yang mengklaim membangun ruang bebas untuk kebebasan berekspresi. Musik jadi alasan utama, tentu saja: line-up penuh bintang, dentuman bass yang memaksa tubuh bergerak, sampai rasa kolektif yang langka ketika ribuan orang menyanyikan lirik yang sama dalam satu harmoni.

 

 

Namun, di balik kemeriahan itu, ada wajah lain festival musik yang jarang disorot. Di spanduk panggung utama, logo sponsor raksasa menyala lebih terang daripada lampu sorot. Sering kali sponsor itu bukan sekadar perusahaan minuman ringan atau brand lifestyle, melainkan perusahaan tambang, minyak, rokok, atau bahkan perusahaan dengan rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia. Festival musik, yang seharusnya menjadi ruang perayaan kebebasan, berubah menjadi tirai raksasa untuk menutupi dosa.

 

 

Kita menyebutnya greenwashing atau artwashing. Dua istilah yang lahir dari upaya korporasi membersihkan citra busuk mereka dengan meminjam wajah indah seni dan budaya. Greenwashing awalnya menunjuk pada strategi perusahaan kotor (terutama tambang, minyak, dan energi) untuk terlihat ramah lingkungan dengan slogan-slogan palsu atau sponsorship hijau. Sementara artwashing lebih luas lagi: bagaimana seni dan budaya dipakai untuk menghapus, atau setidaknya mengaburkan, jejak eksploitatif perusahaan atau rezim. Festival musik, dengan daya tariknya yang masif, adalah lahan subur bagi praktik ini.

 

 

 

Greenwashing: Dari Ladang Tambang ke Panggung Musik

 

Greenwashing dalam festival musik bukan hal baru. Sejak awal 2000-an, perusahaan minyak, tambang, dan energi besar mulai merambah ke dunia musik, menyadari bahwa publik yang kritis terhadap isu lingkungan akan lebih mudah dibungkam jika musik favorit mereka ikut menari bersama logo perusahaan.

 

 

Di Inggris, BP (British Petroleum) sudah lama terkenal sebagai sponsor seni terbesar, dari British Museum hingga Royal Opera House. Kritik terhadap BP datang keras, terutama setelah tumpahan minyak Deepwater Horizon pada 2010 yang mencemari Teluk Meksiko. Tetapi yang jarang dibicarakan: BP juga masuk ke festival musik, mendanai acara komunitas dan panggung kecil di berbagai kota di Inggris. Strateginya sama: mengasosiasikan musik dan budaya dengan “masa depan hijau” yang katanya sedang dibangun BP.

 

 

Kolektif seniman seperti Liberate Tate bahkan pernah melakukan aksi protes di tengah galeri seni untuk menolak sponsorship BP. Dalam konteks musik, protes serupa pernah meletup di beberapa gig independen di London yang menolak logo BP muncul di flyer mereka. Kritiknya sederhana: “Kalau musik adalah ekspresi kebebasan, kenapa kita membiarkan kebebasan itu dibiayai oleh perusak bumi?”

 

 

Di Australia, Rio Tinto dan BHP Billiton, dua perusahaan tambang terbesar di dunia pernah menjadi sponsor acara musik dan budaya. Rio Tinto, misalnya, mendanai Red Earth Arts Festival di Pilbara, wilayah yang kaya akan tambang besi. Festival itu menampilkan konser musik, seni visual, hingga pertunjukan keluarga. Tetapi yang tidak ditampilkan adalah fakta bahwa operasi tambang Rio Tinto telah merusak situs warisan budaya Aborigin, termasuk penghancuran gua Juukan Gorge pada 2020.

 

 

Protes datang dari aktivis lingkungan dan komunitas adat, tetapi sponsor tetap berjalan. Festival yang seharusnya menjadi ruang merayakan identitas lokal justru dipakai sebagai sabun pencuci tangan bagi citra perusahaan tambang.

 

 

 

Boikot dan Penolakan: Dari Musisi ke Penonton

 

Greenwashing di festival musik tidak selalu mulus. Ada banyak kasus penolakan, meski sering terpinggirkan oleh sorotan media mainstream.

 

 

  • Massive Attack, band trip-hop asal Bristol, menolak tampil di acara-acara yang disponsori perusahaan bahan bakar fosil. Mereka bahkan meluncurkan laporan sendiri tentang jejak karbon tur musik, mengkritik langsung cara industri musik berkontribusi pada krisis iklim.

 

  • Midnight Oil Band legendaris asal Australia, Midnight Oil, dikenal karena aktivisme lingkungan yang kuat. Mereka pernah melakukan aksi panggung depan kantor pusat Exxon di New York dengan slogan “Midnight Oil Makes You Dance, Exxon Oil Makes Us Sick,” sebagai bentuk protes terhadap tumpahan minyak Exxon Valdez.

 

  • Di Norwegia, Øya Festival pernah mendapat kritik ketika menerima sponsor dari Statoil (sekarang Equinor), perusahaan minyak negara. Protes keras datang dari musisi lokal dan penonton, hingga akhirnya festival mengakhiri hubungan dengan Statoil pada 2014.

 

Protes-protes ini membuktikan bahwa tidak semua seniman mau menjadi bagian dari strategi greenwashing. Tapi tentu, di sisi lain, ada banyak musisi yang memilih diam, entah karena kontrak, kebutuhan finansial, atau karena merasa “itu bukan urusan kami.”

 

 

Kalau kita tarik benang merah, pola greenwashing di festival musik selalu sama: Perusahaan kotor butuh legitimasi publik. Mereka masuk lewat musik karena musik punya daya tarik emosional yang sangat kuat. Festival butuh dana besar. Harga tiket tidak selalu cukup menutupi biaya produksi, sehingga sponsor dianggap “penyelamat.” Penonton berada di posisi ambigu. Sebagian menolak, sebagian tidak peduli, sebagian bahkan tidak sadar bahwa festival favorit mereka dibiayai oleh perusahaan perusak lingkungan.

 

 

Hasil akhirnya: festival musik berubah menjadi tirai. Di depan, kita melihat wajah kebebasan, kebahagiaan, dan kreativitas. Di belakang, perusahaan sponsor tertawa puas: dosa mereka terselubung di balik dentuman musik dan lampu sorot.

 

 

Rokok, Musik, dan Strategi Lama yang Tidak Pernah Mati

 

Kalau tambang dan minyak sering memanfaatkan festival musik untuk greenwashing, perusahaan rokok punya strategi yang lebih tua: artwashing lewat musik dan budaya pop. Bahkan, jauh sebelum kata “artwashing” populer, perusahaan rokok sudah tahu bagaimana musik bisa menjadi kendaraan untuk memoles citra.

 

 

Di abad ke-20, hampir setiap negara punya contoh. Marlboro pernah punya seri Marlboro Music Festival di Amerika, Camel punya panggung di klub jazz, Dunhill mensponsori konser musik klasik, bahkan di Asia, Indonesia, Filipina, Malaysia, nama-nama merek rokok lekat dengan festival musik rock dan pop. Sponsorship ini bukan sekadar branding, melainkan bagian dari strategi besar: mengasosiasikan rokok dengan gaya hidup muda, keren, bebas, dan penuh energi. Ironisnya, seni musik yang sering lahir dari keresahan dan perlawanan justru dijadikan etalase glamor untuk memasarkan produk adiktif. Beberapa contoh nyata bisa kita tarik dari sejarah festival musik dunia.

 

 

Dimulai pada 1951, Marlboro Music Festival di Vermont awalnya adalah perayaan musik klasik dan jazz. Di atas kertas, festival ini adalah ruang seni berkelas tinggi, diisi musisi klasik terbaik. Tetapi jelas sekali: Marlboro menggunakan festival ini untuk membangun citra mereka sebagai brand “berkelas” yang tidak hanya menjual rokok, tapi juga gaya hidup budaya tinggi. Nama festival itu sendiri cukup menjelaskan: setiap lembar poster, tiket, hingga backdrop panggung adalah iklan raksasa Marlboro.

 

 

Sampai hari ini, festival itu masih eksis, meski sponsor resmi rokok sudah dihapus. Namun jejak sejarah menunjukkan bagaimana industri tembakau sangat sadar akan kekuatan seni untuk membersihkan citra kotor mereka.

 

 

Pada dekade 80–90-an, Camel aktif sekali di dunia musik. Mereka mendanai Camel Rock, rangkaian konser rock di Amerika, dan Camel Jazz Festival. Strateginya simpel: anak muda suka rock, kelas menengah suka jazz, semua bisa diasosiasikan dengan Camel.

 

 

Namun protes keras datang dari lembaga kesehatan publik dan aktivis anti-tembakau. Mereka menilai Camel sedang menargetkan anak muda secara langsung lewat musik. Pada 1998, perjanjian Master Settlement Agreement di AS akhirnya melarang perusahaan rokok untuk menggunakan sponsorship musik sebagai sarana promosi.

 

 

Meskipun regulasi di banyak negara mulai melarang sponsorship langsung oleh rokok, praktik ini masih bertahan dengan berbagai cara: rebranding, indirect sponsorship, atau menggunakan “event agency” sebagai perantara.

 

 

 

Resistensi: Musisi, Penonton, dan Regulasi

 

Kalau greenwashing rokok jelas mustahil (rokok tidak bisa diklaim ramah lingkungan), maka artwashing adalah jalan utama mereka. Artwashing bukan sekadar soal logo di panggung, tapi bagaimana rokok membentuk narasi budaya lewat musik.

 

 

Perusahaan rokok menanamkan kesan bahwa mereka adalah “patron seni” yang mendukung kreativitas anak muda. Bahwa tanpa mereka, tidak akan ada festival musik besar. Bahwa merekalah yang menjaga ruang alternatif tetap hidup.

 

 

Padahal, yang terjadi adalah sebaliknya: ruang alternatif menjadi tergantung pada dana rokok, membuatnya sulit mandiri. Artwashing juga menormalkan kehadiran rokok dalam ruang budaya: seolah-olah merokok adalah bagian alami dari menjadi “anak band” atau “penonton festival.”

 

 

Walaupun dominasi rokok begitu kuat, perlawanan tetap ada. Beberapa perlawanan dan alternatif yang terjadi seperti di Amerika Serikat (1998): Master Settlement Agreement resmi melarang sponsorship rokok di festival musik. Sejak saat itu, festival besar di AS tidak lagi menampilkan logo Marlboro atau Camel di panggung. Sedangkan di Eropa: Uni Eropa melarang iklan rokok, termasuk sponsorship acara musik, sejak 2005. Akibatnya, festival besar seperti Glastonbury atau Roskilde bersih dari logo rokok. Dan di Indonesia: Beberapa musisi independen pernah menolak tampil di acara yang disponsori rokok, meski jumlahnya kecil. Penonton juga punya peran. Di banyak forum musik, kritik terhadap “festival rokok” makin sering terdengar. Mereka mempertanyakan: kenapa kreativitas harus digandengkan dengan produk yang membunuh jutaan orang tiap tahun?

 

 

Kalau kita kembali ke konsep “tirai dosa,” sponsorship rokok dalam festival musik punya pola yang identik dengan greenwashing tambang atau minyak. Bedanya, di sini dosa yang ditutupi bukan perusakan lingkungan, melainkan dampak kesehatan publik dan manipulasi budaya.

 

 

Festival musik, yang seharusnya jadi ruang perayaan, berubah menjadi iklan raksasa dengan sound system. Musisi yang seharusnya bernyanyi dari keresahan, jadi figur yang menghidupkan citra glamor sebuah brand rokok. Penonton yang datang untuk merayakan musik, pulang dengan terpaan branding rokok yang halus tapi intens.

 

 

 

Dari Panggung ke Propaganda: Festival Sebagai Wajah Negara

 

Kalau perusahaan tambang dan rokok menggunakan festival musik untuk membersihkan citra bisnis kotor mereka, negara juga melakukan hal serupa. Bedanya, taruhannya lebih besar: bukan hanya laba, tapi legitimasi politik dan citra internasional. Festival musik dengan aura kosmopolitan, kebebasan, dan kebahagiaan kolektif sering dijadikan alat untuk menutupi represi politik, pelanggaran hak asasi manusia, atau eksploitasi ekonomi. Inilah bentuk lain dari artwashing: ketika seni dan musik dijadikan alat kosmetik politik.

 

 

Salah satu contoh paling menonjol dalam dekade terakhir adalah MDLBEAST Soundstorm, festival musik elektronik raksasa di Riyadh, Arab Saudi. Festival ini pertama kali digelar pada 2019, dengan line-up internasional berisi DJ kelas dunia: David Guetta, Tiësto, Martin Garrix, sampai Steve Aoki.

 

 

Di permukaan, MDLBEAST tampak seperti festival musik global biasa: lampu neon, dentuman EDM, ratusan ribu orang berpesta. Namun konteksnya jauh lebih gelap. Festival ini digelar hanya setahun setelah pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul (2018), sebuah peristiwa yang mencoreng nama kerajaan di mata dunia.

 

 

Banyak kritikus melihat MDLBEAST sebagai bagian dari strategi Vision 2030 Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS): mencitrakan Saudi sebagai negara modern, progresif, dan ramah pemuda sementara represi terhadap oposisi, eksekusi massal, dan perang di Yaman terus berlangsung.

 

 

Beberapa musisi bahkan mundur karena tekanan publik. DJ Hardwell dilaporkan menarik diri dari lineup, meski banyak nama besar tetap tampil. Kritik keras datang dari organisasi HAM seperti Human Rights Watch, yang menyebut MDLBEAST sebagai “festival musik di atas kuburan kebebasan berekspresi.”

 

 

Rusia punya tradisi panjang menggunakan seni dan olahraga untuk artwashing. Dalam musik, salah satu yang mencolok adalah bagaimana pemerintah mendukung festival-festival EDM dan rock untuk menampilkan wajah “liberal” Rusia di tengah represi politik.

 

 

Contoh: Alfa Future People Festival, festival EDM terbesar Rusia yang digelar di Nizhny Novgorod. Festival ini mendapat dukungan tidak langsung dari korporasi besar yang dekat dengan negara, seperti Alfa Bank. Meskipun festival itu populer di kalangan anak muda, banyak aktivis menyebutnya sebagai bagian dari soft power negara untuk menutupi kebijakan represif terhadap media independen dan oposisi politik.

 

 

Selama perang Ukraina (2022–sekarang), kritik semakin tajam. Bagaimana mungkin negara yang membombardir kota-kota tetangga bisa sekaligus merayakan kebebasan lewat festival musik? Di sinilah artwashing bekerja: dentuman musik menjadi kamuflase dari dentuman bom.

 

 

Di Tiongkok, festival musik seperti Strawberry Festival dan Midi Festival sering diklaim sebagai tanda keterbukaan budaya. Line-up menampilkan band indie lokal dan internasional, dengan citra modern, urban, dan penuh kreativitas.

 

 

Tetapi di balik itu semua, festival ini beroperasi dengan izin dan sensor ketat negara. Band-band yang dianggap “subversif” atau liriknya terlalu politis bisa dilarang tampil. Dengan kata lain, negara mendukung festival musik bukan sebagai ruang bebas, melainkan sebagai ruang terkontrol yang mengirim pesan ke dunia luar: lihat, China punya budaya pop yang keren.

 

 

Festival ini adalah etalase. Penonton lokal merasakan euforia musik, sementara dunia luar melihat citra “China modern.” Padahal, ekspresi politik tetap direpresi. Inilah artwashing dalam bentuk yang lebih halus.

 

 

Selain Arab Saudi, negara Teluk lain juga menggunakan festival musik untuk memperbaiki citra. Qatar dan Uni Emirat Arab (UEA) misalnya, gencar mendatangkan artis internasional lewat konser megah dan festival EDM.

 

 

Qatar, sebelum Piala Dunia 2022, menggelar rangkaian konser besar untuk menampilkan diri sebagai negara modern. UEA punya Dubai Music Festival, yang menampilkan bintang pop global. Tujuannya sama: menutupi catatan buruk soal buruh migran, represi politik, dan sistem pemerintahan otoriter.

 

 

Konser dan festival jadi strategi nation branding. Dan seperti biasa, musik dipakai sebagai tirai: dentuman beat menutupi jeritan pekerja migran yang kehilangan haknya.

 

 

Praktik artwashing negara ini tidak selalu berjalan mulus. Beberapa perlawanan seperti; Artists for Palestine UK menyerukan boikot terhadap MDLBEAST dan festival serupa di Saudi, menyebutnya “karnaval represi”. Brian Eno menolak tampil di acara yang berhubungan dengan artwashing, termasuk festival yang didanai oleh pemerintah otoriter. Di Eropa, beberapa kolektif menekan musisi agar tidak tampil di Rusia atau Arab Saudi, menyebut bahwa “bermain musik di sana berarti ikut memoles rezim.”

 

 

Meski banyak artis tetap datang (sering karena bayaran fantastis), perdebatan ini makin keras. Ada tekanan moral: apakah musisi hanya penghibur, atau mereka juga punya tanggung jawab etis atas panggung yang mereka pilih?

 

 

Jika greenwashing menutupi kerusakan lingkungan, artwashing negara menutupi represi politik dan pelanggaran HAM. Dalam beberapa hal, ini bahkan lebih berbahaya. Karena festival musik bukan hanya ruang hiburan, tapi juga simbol kebebasan. Ketika simbol kebebasan dipakai untuk melayani rezim otoriter, ada ironi yang sangat pahit: suara-suara kebebasan dipakai untuk menutupi diam yang dipaksakan.

 

 

Panggung musik yang seharusnya menjadi ruang protes malah dijadikan etalase kekuasaan. Artwashing bekerja bukan hanya di tingkat citra, tapi juga di tingkat imajinasi: ia mengubah cara orang memandang sebuah negara.

 

 

 

Apakah Semua Festival Menjadi Tirai Dosa?

 

Tidak. Banyak festival memilih jalur berbeda, beberapa festival musik seperti; Shambala Festival (Inggris) menolak sponsor besar dan berdiri dengan sistem komunitas, sambil berfokus pada keberlanjutan. Roskilde Festival (Denmark) mengusung konsep non-profit: semua keuntungan disumbangkan ke gerakan sosial, tanpa sponsor kotor. Fuji Rock Festival (Jepang) dikenal menjaga identitas hijau meski besar skalanya, mengurangi jejak karbon dan lebih selektif pada sponsor.

 

 

Contoh-contoh ini membuktikan: ada alternatif nyata, meski tidak selalu mudah. Lalu, Apa yang Bisa Dilakukan Penggemar Musik? Bertanya: siapa sponsornya?, jangan cuma lihat lineup. Lihat siapa yang membayar panggung. Pertanyaan sederhana bisa membuka diskusi. Dukung festival kecil & independen. Mungkin line-up-nya tak sebesar nama global, tapi sering kali festival komunitas lebih jujur dan bebas dari sponsor kotor. Bersuara di ruang publik.

 


Media sosial adalah panggung kita. Jika festival disponsori tambang atau minyak, tulis, kritik, tag artisnya. Tekanan publik bekerja, buktinya BP diputus kontrak oleh Edinburgh International Festival setelah desakan bertahun-tahun. Dorong musisi untuk ambil posisi.

 


Musisi punya kuasa moral. Jika mereka menolak tampil di bawah sponsor kotor, festival akan kelabakan. Tekanan dari artis ke penyelenggara terbukti efektif, seperti kasus Sydney Biennale yang kehilangan sponsor setelah seniman memboikot. 

 

 

Menuju Panggung Tanpa Tirai Dosa

 

 

Musik lahir dari keresahan dan harapan. Ia lahir dari jalanan, dari pub, dari kamar sempit para pekerja, dari amarah kelas yang tersisih. Saat musik diambil alih korporasi tambang dan minyak, ia kehilangan denyut aslinya. Namun, justru di situlah perlawanan bisa kembali bersemi. Sebab, musik bukan sekadar suara; ia adalah medium solidaritas. Panggung yang jujur mungkin lebih kecil, lebih sederhana, tapi di sanalah kebebasan terasa lebih nyata.

 

 

Bayangkan festival di mana kita bisa menari tanpa dibayang-bayangi logo perusahaan tambang. Bayangkan konser di mana sorakan penonton bukan hanya untuk lagu, tapi juga untuk solidaritas. Bayangkan musik kembali pada fungsinya: gambaran kebebasan. 

 

 

Greenwashing dan artwashing adalah dua wajah dari trik lama dengan baju baru: menggunakan seni dan musik sebagai kosmetik reputasi. Dari tambang yang mengikis gunung sampai minyak yang membakar masa depan, dari rokok yang meracuni paru-paru sampai perusahaan raksasa lain yang meracuni demokrasi, semua paham satu hal: budaya adalah jalan pintas untuk meraih simpati.

 

 

Namun, sejarah musik juga selalu mengajarkan bahwa panggung bisa berkhianat pada sponsornya. Musik tidak pernah sepenuhnya bisa dikekang. Dari lagu-lagu protes Bob Dylan di tahun 1960-an, teriakan punk yang menolak Thatcher, sampai musisi yang menolak tampil di panggung yang dibiayai perusahaan bermasalah, semua menunjukkan bahwa musik bisa menolak jadi komoditas.

 

 

Masalahnya, hari ini kompromi terasa lebih menggoda. Tiket murah, lineup internasional, tata lampu megah, semua tampak sulit ditolak. Tapi di balik kompromi itu ada harga yang kita bayar: integritas. Pertanyaan sederhana yang seharusnya menghantui kita sebagai penggemar musik adalah: apakah kita sedang menari bersama, atau justru sedang menari di atas luka orang lain?

 

 

Jawabannya tergantung pilihan kita. Kita bisa memilih diam dan menikmati festival sambil menutup mata, atau kita bisa menuntut agar musik kembali ke fitrahnya: jujur, liar, dan berani. Kita bisa membiarkan sponsor tambang menulis ulang narasi budaya, atau kita bisa merobek tirai artwashing dengan pertanyaan, kritik, dan aksi nyata.

 

 

Festival tanpa sponsor kotor mungkin tidak semegah festival besar pada umumnya, tidak semahal Coachella, atau tidak sebesar Glastonbury. Tapi di sanalah letak kebebasan: panggung yang lebih kecil, tiket yang lebih sederhana, namun energi yang lebih jujur. Karena pada akhirnya, musik bukan soal lampu dan laser; musik adalah tentang bagaimana suara kolektif bisa menggetarkan tubuh dan mengguncang hati.

 

 

Kita, penggemar musik, tidak boleh melupakan bahwa setiap tepukan tangan dan sorakan adalah legitimasi. Jika kita bersuara, festival akan berubah. Jika kita diam, festival akan tetap jadi tirai dosa yang indah.

 

 

Dan ketika suatu hari nanti sejarah menoleh, pertanyaannya bukan siapa yang headline festival, tapi siapa yang berani menolak berdiri di bawah logo korporasi.

 

 

Musik yang jujur akan selalu menemukan jalannya, meski tanpa sponsor, meski di ruang kecil, meski hanya dengan gitar butut dan pengeras suara seadanya. Karena musik lahir bukan untuk menyenangkan korporasi, tapi untuk mengingatkan kita: dunia ini bisa dan harus diubah.

 

Comments

Be the first to comment.

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.
Thanks for contacting us! We'll get back to you shortly. Thanks for subscribing Thanks! We will notify you when it becomes available! The max number of items have already been added There is only one item left to add to the cart There are only [num_items] items left to add to the cart