Skip to main content

Easton Cowboys & Cowgirls: Antara Banksy, Zapatista, dan Sepak Bola yang Tak Butuh Liga

Easton Cowboys & Cowgirls: Antara Banksy, Zapatista, dan Sepak Bola yang Tak Butuh Liga

 

Ada yang ganjil di Bristol, Inggris. Kota ini bernafas lewat kabut, mural, dan gema musik yang tak pernah benar-benar berhenti. Di antara jalan sempit dan bar tua yang catnya mulai terkelupas, ada sebuah lapangan kecil di kawasan Easton, tempat rumput tak tumbuh rata, tanahnya becek, dan garis putihnya nyaris hilang tertelan waktu.

 

 

Sore itu, sekelompok orang bermain sepak bola di sana. Tak ada tribun, tak ada sorak, hanya tawa yang sesekali pecah di antara hujan yang belum deras. Mereka tidak peduli siapa lawan mereka, tidak menghitung skor, bahkan tak semuanya memakai seragam yang sama, beberapa jersey tampak seperti potongan sejarah dari musim-musim yang terlupa, tambalan warna yang tak seragam tapi saling menguatkan.

 

 

Di dada mereka, tertera satu nama: Easton Cowboys & Cowgirls. Nama yang terasa seperti lelucon bagi sebagian orang, tapi justru jadi penanda keseriusan mereka untuk tak tunduk pada tatanan yang mapan.

 

 

Klub ini tidak punya stadion megah. Tidak punya akademi muda yang disiapkan untuk dijual ke pasar transfer. Tidak punya mimpi untuk naik kasta ke liga profesional. Tapi mereka punya sesuatu yang lebih berbahaya bagi dunia sepak bola modern: keyakinan bahwa permainan ini bukan soal menang, melainkan soal bertahan sebagai manusia.

 

 

Mereka bukan sekadar bermain bola; mereka menjaga ruang di mana hidup bisa tetap sederhana, tempat perbedaan tak butuh dijelaskan, tempat solidaritas tumbuh tanpa pengumuman. 

 

 

Ideas and commitment are the lifeblood of our community,” tulis mereka dalam pamflet kecil di situsnya. Dan seperti darah, gagasan itu mengalir di tubuh klub ini, menyusuri lorong-lorong tua Bristol, melintasi lapangan kumuh di pinggir kota, menyelinap ke dalam bar yang remang, dan menempel di mural-mural yang pelan-pelan menua bersama sejarahnya. Mereka bermain bukan untuk dikenang, tapi untuk tetap merasa hidup.

 

 

Ketika Klub Menolak Menjadi Klub

 

Di musim panas 1992, di sudut kota Easton, Bristol, lahirlah sebuah tim yang jika memakai istilah biasa, berangkat dari “kick-about” di jalanan. Beberapa punks, pekerja pabrik yang bosan, seniman jalanan, dan pengangguran kreatif berkumpul, bukan dengan mimpi trofi, melainkan dengan bola lusuh dan hasrat untuk tetap hidup. Nama itu sendiri lahir dari spontanitas seorang sekretaris berambisi country, “Easton Cowboys”. Lambat laun “& Cowgirls” ditambahkan untuk memasukkan suara perempuan dan non-biner ke dalam ruang yang selama ini eksklusif. 

 

 

Pada musim perdana mereka masuk ke divisi paling bawah liga amatir Bristol & Wessex. Hasilnya? Meh. Tapi skor bukan segalanya. Pergi ke arena itu sudah cukup sebagai simbol.  Tahun 1993 menjadi titik perubahan ketika mereka diundang ke turnamen di Stuttgart, Jerman. Perjalanan itu membuka mata mereka bahwa sepak bola bisa jadi festival, sosial, dan internasional tanpa memerlukan uang besar ataupun sponsor raksasa. 

 

 

Berbeda dengan klub “resmi”, Easton Cowboys & Cowgirls dibangun di atas asas demokrasi langsung. Setiap anggota, baik pemain, suporter, atau “teman tim” mendapat suara dan hak pilih. “Every player and supporter has a voice and a vote.” Mereka memiliki rapat “Full Club” dua kali setahun untuk membahas agenda besar. Nilai inti mereka tercantum jelas dalam website mereka: “The ECCSSC is anti-racist, anti-sexist, anti-fascist, anti-homophobic and anti-transphobic.” Tak hanya slogan, klub ini juga menjalankan program untuk pengungsi, inklusi sosial, dan aktif dalam gerakan keadilan komunitas. 

 

 

 

Meski lahir sebagai tim sepak bola, dalam beberapa tahun klub ini tumbuh ke berbagai cabang seperti netball, kriket, bola basket, softball, hingga klub anak-keluarga (Kids Klub). Contoh nyata: tim perempuan/non-biner (Cowgirls) mulai terbentuk resmi pada 2002 dan ikut liga wanita di Bristol. Mereka pun tak hanya bermain secara lokal, turnamen antar negara, solidaritas lintas komunitas, hingga kunjungan ke wilayah konflik menjadi bagian dari agenda mereka. Tercatat kunjungan ke Palestina, Meksiko (zona Zapatista), Brasil, Polandia, Maroko. 

 

 

Dalam sebuah turnamen di Meksiko tahun 2000an, klub ini menjadi salah satu tim Eropa pertama yang bermain di wilayah Zapatista di Chiapas. Sebuah foto yang pernah muncul menunjukkan seniman jalanan Banksy bermain sebagai kiper dalam tur tersebut, meski identitasnya tetap kabur. Kegiatan-kegiatan ini bukan “tur sepak bola” biasa, mereka membawa mural, diskusi, solidaritas, bukan hanya sepatu dan bola. Mereka bermain di lapangan tanah, bukan stadion megah; melawan kekerasan struktural dan penyisihan sosial melalui aktivitas yang sederhana namun bermakna.

 

 

Klub ini menolak untuk menjadi bagian dari mesin industri olahraga. Mereka memilih untuk menjadi jaringan manusia yang terhubung lewat permainan. Sehingga setiap lari, setiap operan bola, dan setiap tawa di bar setelah pertandingan, menjadi pernyataan bahwa sepak bola bisa lebih dari hiburan massal.

 

Di Antara Banksy dan Bristol

 

Bristol selalu punya cara untuk menyembunyikan luka di balik warna. Dari kejauhan, kota ini tampak seperti kanvas raksasa yang ditingkahi cat semprot, poster gig punk, dan coretan jalanan yang menolak diam. Tapi jika berjalan pelan di sepanjang Gloucester Road atau Stokes Croft, kita akan tahu, warna-warna itu bukan sekadar estetika, mereka adalah bentuk bertahan hidup.

 

 

Kota ini pernah jadi salah satu pusat perdagangan budak terbesar di Inggris. Kekayaannya dibangun di atas tubuh-tubuh yang dijual lintas samudra. Dan meski sejarah itu kini disembunyikan di balik kafe vegan dan toko-toko secondhand yang tampak hip, bekas lukanya masih terasa di dinding. Di sanalah generasi baru Bristol tumbuh, mewarisi rasa bersalah dan sekaligus semangat perlawanan.

 

 

Dari atmosfer itu, lahirlah musik punk dan drum’n’bass. Dari sana juga muncul Banksy, seniman yang menciptakan perlawanan dalam bentuk gambar. Ia tidak butuh galeri, dinding kota pun cukup. Ia tidak butuh tanda tangan, misteri adalah pelindungnya. Dalam banyak hal, ia adalah wajah Bristol yang paling jujur, liar, anonim, dan tak bisa dibeli.

 

 

 

Di tengah arus budaya yang terus berubah itulah, Easton Cowboys & Cowgirls muncul. Sebuah tim yang bukan hanya tim, tapi cermin dari kota yang melahirkannya, sedikit berantakan, tapi punya kehangatan yang nyata. Di lapangan, mereka bermain dengan semangat yang sama seperti anak-anak muda yang melukis mural di malam hari, spontan, tulus, dan tanpa izin dari siapa pun.

 

 

Konon, pada tahun 2001, ketika Banksy ikut dalam perjalanan tim ini ke Chiapas, Meksiko Selatan. Di sana, di wilayah pegunungan yang dijaga oleh gerilyawan Zapatista, ia membuat mural besar, sebuah gambar bertopeng khasnya di tembok markas Zapatista. Entah benar atau tidak, mural itu nyata. Ia menjadi simbol hubungan yang aneh tapi indah antara sepak bola, seni, dan revolusi.

 

 

Kota Bristol sendiri seolah menyiapkan tanah bagi pertemuan itu. Di sini, sepak bola dan seni jalanan sama-sama lahir dari ruang yang terpinggirkan. Sama-sama menolak sistem yang menuntut bentuk sempurna. Dan di antara keduanya, Easton Cowboys berdiri sebagai perantara yang unik, sebuah klub sepak bola yang membawa semangat seniman dan etika perlawanan aktivis.

Jika klub-klub besar hidup dari uang televisi dan sponsor, Easton hidup dari warung lokal, sumbangan kecil, dan tangan-tangan sukarela. Mereka punya ruang komunitas di Easton, tempat siapa pun boleh datang untuk main bola, diskusi, atau sekadar minum bir sambil ngobrol tentang keadilan sosial.

 

 

Bagi mereka, sepak bola bukan tujuan, tapi bahasa universal untuk membangun hubungan. Ketika mereka melakukan tur ke Polandia, Palestina, atau Kuba, yang mereka bawa bukan selebaran kemenangan, tapi pesan solidaritas. Mereka datang dengan spanduk, dengan lagu-lagu sederhana, dengan mural portabel di atas kain.

 

 

Bristol yang penuh warna itu, lewat Easton Cowboys, menemukan cara baru untuk bicara tentang dunia: lewat bola yang bergulir di tanah berlumpur, lewat tawa orang-orang yang tahu bahwa permainan bisa lebih jujur daripada politik.

 

 

Di kota yang melahirkan Banksy, seni adalah senjata; tapi di klub seperti Easton, permainan menjadi perlawanan yang lebih lembut. Dan di antara keduanya, kita bisa melihat garis halus yang menghubungkan dinding yang dipenuhi grafiti dan lapangan yang penuh lumpur, dua ruang yang sama-sama menolak bersih.

 

 

Di Bristol, keindahan memang jarang steril. Ia selalu lahir dari kekacauan, dari ketidaksempurnaan, dari keinginan untuk tetap bermain meski dunia sudah terlalu serius. Dan mungkin itulah kenapa, ketika nama Easton Cowboys & Cowgirls disebut, yang terlintas bukanlah skor, melainkan cerita. Cerita tentang kota yang menolak melupakan sejarahnya, tentang orang-orang yang menolak tunduk, dan tentang bagaimana sepak bola bisa menjadi cara paling manusiawi untuk mengatakan: kami masih di sini.

 

 

Di Chiapas, Mereka Menemukan Cermin

 

Pada 2001, Easton Cowboys berangkat jauh dari Bristol, melintasi Atlantik, menuju Meksiko Selatan. Perjalanan itu bukan ekspedisi olahraga, melainkan ziarah kecil untuk memahami apa yang disebut perlawanan. Tujuan mereka hanya satu, wilayah pegunungan Chiapas, markas gerilyawan Ejército Zapatista de Liberación Nacional (EZLN), kelompok revolusioner yang muncul pada 1 Januari 1994, hari ketika perjanjian perdagangan bebas NAFTA mulai berlaku dan rakyat adat bangkit melawan.

 

 

Selama hampir satu dekade, Zapatista telah menjadi simbol global bagi perjuangan akar rumput melawan kapitalisme neoliberal. Mereka tidak punya tank atau pesawat, tapi punya wajah-wajah bertopeng dan kata-kata yang tajam, yang menyapa dunia dengan sapaan lembut: “Ya basta.” Cukup sudah.

 

 

Di situlah Easton Cowboys melangkah, membawa bola, kamera, dan niat baik. Mereka bukan aktivis profesional, bukan organisasi bantuan, bukan utusan pemerintah. Mereka hanyalah komunitas kecil dari Bristol yang percaya bahwa sepak bola bisa menjembatani jurang antara dunia.

 

 

 

Mereka menempuh perjalanan berhari-hari dari San Cristóbal de las Casas ke pedalaman Chiapas. Di setiap desa Zapatista yang mereka datangi, mereka disambut dengan sederhana, piring nasi, tawa anak-anak, dan senjata kayu yang diletakkan di pojokan rumah. Di tengah keheningan gunung, mereka menggelar pertandingan di lapangan tanah merah, tanpa wasit, tanpa spanduk sponsor, hanya dengan peluit yang ditiup anak kecil lokal.

 

 

Sore itu, di antara pegunungan, bola bergulir perlahan di tanah kering. Di satu sisi, petani yang baru kemarin memanggul senjata. Di sisi lain, para pekerja dan seniman yang membawa pesan solidaritas dari Inggris. Tidak ada pemenang atau pecundang, karena permainan itu bukan kompetisi, melainkan pertemuan dua dunia yang sama-sama menolak tunduk.

 

 

Salah satu anggota Easton Cowboys kemudian berkata: “It seemed that their effort to win back control of their lives mirrored our struggle to stay independent within the global economic order.” Bahwa perjuangan Zapatista untuk merebut kendali atas hidup mereka mencerminkan perjuangan kami sendiri, berjuang untuk tetap mandiri di tengah tatanan ekonomi global yang seragam dan kejam.

 

 

Di Chiapas, mereka menemukan cermin. Cermin yang tidak menampakkan wajah mereka, tapi memperlihatkan ruh yang sama, perlawanan tanpa pamrih, keinginan untuk hidup di luar sistem yang memaksa segalanya tunduk pada logika untung-rugi.

 

 

Zapatista memperjuangkan tanah, sesuatu yang konkret, penuh darah dan sejarah. Easton Cowboys memperjuangkan makna bermain, sesuatu yang sederhana, tapi sama politisnya. Karena di dunia yang telah menjadikan setiap kegiatan sebagai komoditas, bermain tanpa tujuan ekonomi adalah tindakan radikal.

 

 

Di bawah langit Chiapas, di tengah kabut pegunungan dan bau tanah basah, Easton Cowboys menyadari bahwa sepak bola yang mereka mainkan di Bristol bukan sekadar hobi, ia adalah bagian kecil dari perjuangan global melawan keterasingan.

 

 

Ketika mereka kembali ke Inggris, mereka tidak membawa piala. Mereka membawa cerita, tentang tawa anak-anak Zapatista, tentang mural di dinding bata, tentang bagaimana solidaritas bisa lahir dari sesuatu yang sesederhana bola yang terus bergulir.

 

 

Sejak saat itu, klub ini tidak lagi sama. Mereka membawa pulang bukan hanya kenangan, tapi pandangan baru, bahwa setiap permainan bisa menjadi bentuk politik, bahwa setiap ruang bermain bisa menjadi bentuk kebebasan.

 

 

Zapatista memperjuangkan tanah, Easton Cowboys memperjuangkan ruang. Keduanya memperjuangkan kehidupan yang tak ingin dijual. Dua wajah dari satu semangat, melawan dunia yang ingin menjadikan segalanya komoditas.

 

 

 

Melawan Tanpa Membenci

 

Sekembalinya dari Chiapas, sesuatu berubah di Bristol. Bukan dalam bentuk trofi atau papan peringkat, tapi dalam cara mereka memandang sepak bola itu sendiri. Di ruang ganti mereka yang sempit di bawah atap timah, seseorang menulis di dinding dengan spidol hitam: “This club doesn’t need a league to belong.” Kalimat itu kemudian menjadi semacam mantra tak resmi Easton Cowboys & Cowgirls, klub yang menolak diatur oleh sistem, tapi juga menolak menjadi sekadar romantika antikemapanan.

 

 

Mereka sadar bahwa perlawanan bukan hanya soal berteriak “tidak”, tapi tentang menciptakan ruang di mana “ya” untuk kebersamaan, empati, dan permainan bisa tumbuh. Karena itu, sejak 1990-an mereka membuka tim untuk siapa pun: lelaki, perempuan, queer, imigran, tunawisma, anak muda pengangguran, bahkan mereka yang baru keluar dari penjara.

 

 

Mereka tidak punya sistem seleksi. Tidak ada “trial day” seperti di klub-klub semi-profesional Inggris. Cukup datang ke lapangan, bawa sepatu, dan main. Di situlah politik mereka bekerja: melawan eksklusi dengan inklusi, melawan kebencian dengan kehadiran.

 

 

Di banyak kota Eropa, sepak bola pelan-pelan telah menjadi industri yang menjauh dari rakyatnya. Stadion menjadi ruang steril, penuh iklan, kamera, dan wajah-wajah yang sama. Tapi di Easton, di sebuah distrik kecil di Bristol yang multikultural, sepak bola masih punya aroma lumpur, teriakan, dan rokok yang padam di tanah basah.

 

 

Itu sebabnya mereka menolak banyak hal yang dianggap “kemajuan” oleh dunia sepak bola modern. Mereka tidak punya sponsor besar. Mereka menolak menjual identitas klub kepada brand global. Mereka bahkan menolak bergabung ke sistem liga yang menuntut biaya lisensi dan aturan seragam.  Bagi mereka, sepak bola bukan industri. Ia adalah bahasa sosial, cara untuk menyapa orang asing, membangun solidaritas lintas kelas dan warna kulit. Dan karena itu, sepak bola tak boleh dipagari oleh logika pasar.

 

 

Di tiap akhir pekan, lapangan mereka penuh warna. Ada pemain yang datang dengan anak kecil di gendongan, ada yang masih mabuk sisa malam sebelumnya, ada pula yang datang langsung dari kerja shift malam. Semua diterima, semua bermain. Kadang, yang mereka lawan bukan klub, tapi tim dari komunitas pengungsi, serikat buruh, atau kelompok seni jalanan.

 


Pertandingan tak selalu selesai, karena hujan sering turun deras di Easton. Tapi di sela-sela waktu itu, mereka berbicara, tentang sewa rumah yang naik, tentang kebijakan imigrasi, tentang dunia yang semakin sempit untuk orang biasa.

 

 

Salah satu kisah paling menyentuh datang dari Cowgirls, tim perempuan mereka yang berdiri pada awal 2000-an. Waktu itu, di Inggris, sepak bola perempuan belum mendapat ruang seperti sekarang. Tapi mereka tidak menunggu izin. Mereka hanya ingin bermain. Mereka membuat sendiri jadwal pertandingan, mencari lawan dari jaringan grassroots di seluruh negeri, bahkan membuat tour ke Palestina dan Polandia untuk bertemu sesama perempuan yang melawan lewat olahraga.

 

 

 

Di pub tempat mereka biasa berkumpul, The Plough, dindingnya penuh foto-foto hitam putih dari perjalanan mereka, dari Chiapas, Palestina, Polandia, hingga festival-festival alternative football di Eropa. Di pojok ruangan, ada mural bergambar anak kecil memegang bola di depan dinding kawat berduri, dipercayai sebagai salah satu karya Banksy di masa mudanya.

 

 

Banksy sendiri, konon, pernah ikut dalam salah satu tour mereka pada akhir 1990-an, sebelum ia menjadi legenda anonim. Tak ada bukti konkret, tapi banyak anggota lama yang masih menyimpan foto dengan sosok berjaket hitam dan topi, menenteng kaleng cat semprot di tengah tim. Bagi mereka, rumor itu bukan sekadar kebanggaan, tapi simbol hubungan unik antara seni jalanan dan sepak bola akar rumput: dua bentuk ekspresi yang sama-sama lahir dari pinggiran dan menolak kooptasi pasar.

 

 

Setiap kali mereka turun ke lapangan, mereka membawa pesan yang sederhana tapi tajam: bahwa bermain adalah hak, bukan hak istimewa. Dan hak itu tidak boleh diatur oleh siapa pun, tidak oleh FIFA, tidak oleh kapitalisme, tidak oleh logika liga.

 

 

Di satu sisi, Easton Cowboys tampak seperti anomali, klub kecil tanpa ambisi besar di negara yang menjadi pusat sepak bola modern. Tapi di sisi lain, mereka adalah potret masa depan yang mungkin: sepak bola yang jujur, terbuka, dan bebas dari syarat. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, mereka menunjukkan bahwa solidaritas tidak selalu datang dari ide besar, kadang ia datang dari umpan pendek, tawa di sela hujan, atau bir yang dibagi setelah kekalahan.

 

 

Kalau kapitalisme memaksa kita untuk terus berkompetisi, Easton Cowboys memilih untuk terus berbagi. Mereka melawan bukan dengan spanduk atau kekerasan, tapi dengan cara yang lebih berbahaya bagi sistem: mereka menciptakan alternatif yang berjalan, komunitas yang hidup. Mereka tidak membakar stadion, tapi membangun lapangan. Mereka tidak menulis teori, tapi menjalani kehidupan yang membuat teori menjadi nyata.

 

 

 

Membaca Perlawanan dari Jarak Jauh

 

Bagi kita di Indonesia, kisah mereka terasa seperti gema jauh dari masa depan. Tapi gema itu sampai juga, melintasi layar, lagu tribun, mural di dinding stadion, dan gerakan kecil yang berusaha mengembalikan sepak bola pada tubuh rakyatnya.

 

 

Mungkin kita tidak pernah pergi ke Chiapas, tidak pernah bertemu Zapatista, tidak pernah bermain dengan Banksy. Tapi kita tahu rasanya ditinggalkan oleh sistem. Kita tahu bagaimana rasanya mencintai permainan yang kini dimiliki oleh korporasi. Di sinilah relevansinya. Easton Cowboys adalah metafora tentang apa yang kita cari: sepak bola yang jujur, yang berpihak pada manusia, yang tak butuh pengakuan dari siapa pun.

 

 

Tentu, klub seperti Easton Cowboys tidak sempurna. Mereka tetap bagian dari dunia yang mereka kritik. Mereka juga harus berhadapan dengan kenyataan hidup, logistik, dan kenyataan bahwa idealisme tidak membayar sewa lapangan. Tapi mereka terus berjalan, karena justru di situlah letak kejujurannya, perlawanan yang tidak menunggu kemenangan.

 

 

Seperti Banksy yang melukis tanpa tanda tangan, mereka bermain tanpa nama di papan skor. Dan seperti Zapatista yang selalu menolak sorotan media, mereka memilih menjadi bayangan yang terus bergerak di antara terang dan gelap.

 

 

Pada akhirnya, sesuatu yang ganjil tapi indah yang hadir di Bristol, yang melahirkan Banksy dan Chaos UK, yang memadukan bass gelap Massive Attack dengan amarah kaum buruh, berdiri sebuah klub kecil tanpa ambisi naik kasta, Easton Cowboys & Cowgirls. Mereka bukan institusi, bukan merek dagang, bukan nostalgia masa lalu. Mereka adalah pertanyaan yang tak pernah berhenti bergulir: Apakah sepak bola masih milik rakyat?

 

 

Banksy menciptakan gambarnya diam-diam, di malam yang dingin, menertawakan dunia yang memuja uang dan kuasa. Zapatista menulis komunike-nya dari hutan Lacandon, menyerukan kemerdekaan dengan wajah tertutup dan hati terbuka. Easton Cowboys membawa keduanya ke lapangan bola, perlawanan yang tak menghunus senjata, kritik yang disampaikan lewat tawa, pelukan, dan gol yang tak dicatat siapa pun.

 

 

Banksy, di sisi lain, konon pernah menyumbang karya untuk lelang amal klub ini pada akhir 2000-an. Dana yang terkumpul digunakan untuk mendukung proyek solidaritas di Palestina dan Chiapas. Tak pernah dikonfirmasi oleh sang seniman, tapi tak pernah pula dibantah. Di dunia tempat segalanya perlu validasi, Easton Cowboys hidup di wilayah abu-abu yang justru membuat mereka abadi, antara mitos dan kenyataan, antara legenda dan lapangan.

 

 

Kini, di usia lebih dari tiga dekade sejak berdiri (sekitar 1992), Easton Cowboys & Cowgirls punya lebih dari 10 tim aktif, termasuk tim laki-laki, perempuan, dan non-biner. Mereka tergabung dalam Bristol Suburban League, tapi dengan aturan sendiri, sebagian pertandingan tidak resmi, banyak yang dilakukan dalam bentuk festival alternatif, dan mereka rutin melakukan tour solidaritas internasional ke tempat-tempat yang jarang dikunjungi klub sepak bola. 

 

 

Mereka juga aktif dalam kampanye anti-rasisme, anti-seksisme, dan anti-homofobia, bekerja sama dengan jaringan Football Against Racism in Europe (FARE) dan Kicking It Out. Setiap tahun mereka menggelar Easton Invitational Tournament, semacam pesta rakyat sepak bola yang mengundang tim komunitas dari seluruh Eropa, bukan untuk perebutan piala, tapi untuk merayakan keberagaman dan kebersamaan.

 

 

Tapi di balik semua itu, yang paling menarik dari mereka bukanlah programnya, melainkan cara mereka bertahan. Di dunia di mana klub-klub berubah menjadi korporasi, di mana suporter jadi konsumen dan stadion jadi pusat belanja, Easton Cowboys tetap kecil dengan sengaja. Karena mereka tahu, kadang yang paling revolusioner bukanlah memenangkan sistem, tapi menolak untuk ikut di dalamnya.

 

 

Ada satu kutipan dari Subcomandante Marcos, juru bicara Zapatista, yang selalu mereka bawa dalam zine-nya: “We don’t want to take power, we just want to build a world where many worlds fit.” Dan mungkin, sepak bola yang dimainkan Easton Cowboys adalah salah satu dari many worlds itu, dunia kecil yang memberi tempat bagi semua orang, di mana tawa lebih penting dari skor, dan di mana setiap umpan adalah pernyataan politik tanpa kebencian.

 

 

Di antara mural Banksy yang menua di dinding Bristol dan poster Zapatista yang mulai pudar di Chiapas, nama Easton Cowboys & Cowgirls menjadi semacam jembatan sunyi, seni yang berjalan di tanah, politik yang bermain bola, utopia yang tetap kotor oleh lumpur tapi bersih dari ambisi.

 

 

Karena pada akhirnya, dunia tidak berubah oleh orang-orang yang paling kuat, tapi oleh mereka yang terus bermain meski tak ada yang menonton. Dan di sanalah Easton Cowboys berdiri, antara Banksy dan Zapatista, antara kanvas dan tanah liat, antara mimpi dan kenyataan. Mereka bukan tim yang ingin menang, mereka hanya ingin tetap bermain.

 

 

Selama bola masih bundar, selama ada lapangan, selama ada orang yang percaya bahwa solidaritas bisa dimulai dari umpan pendek, mereka akan terus ada. Bukan untuk liga, bukan untuk gelar, tapi untuk mengembalikan sepak bola kepada manusia.

 

Comments

Be the first to comment.

Your Cart

Your cart is currently empty.
Click here to continue shopping.
Thanks for contacting us! We'll get back to you shortly. Thanks for subscribing Thanks! We will notify you when it becomes available! The max number of items have already been added There is only one item left to add to the cart There are only [num_items] items left to add to the cart